Darsono Notosudirdjo

From Ensiklopedia
Darsono Notosudirdjo. Sumber: Koleksi International Institute of Social History (IISH). No. Panggil - IISG BG A59358

Raden Darsono Notosudirdjo atau biasa disebut Darsono adalah salah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia yang penting pada saat awal kelahirannya pada dekade 1920-an. Ia lahir pada 15 November 1897 di Pati, Jawa Tengah. Keluarga bangsawan rendah, putra seorang anggota kepolisian Kota Pati, Jawa Tengah. Setelah mengikuti Pendidikan ala Eropa, ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pertanian di Sukabumi, mengajar pertanian di Bojonegoro. Selanjutnya ia meninggalkan pekerjaannya tersebut dan pindah ke Semarang. Di Semarang itulah ia mulai tertarik pada kaum sosialis revolusioner, bekerja di koran kiri Sinar Djawa. Saat ISDV pusat pindah ke Surabaya tahun 1918, Darsono, yang ditunjuk sebagai anggota eksekutif partai, juga dikirim ke sana. Selanjutnya ia ditetapkan oleh Gerakan bekerja penuh sebagai propagandis Indonesia (Ruth McVey, 2010: 62).

Pada tahun 1919 pemerintah Hindia belanda melakukan pembersihan pada lawan politik mereka yang galak, mengusir para pemimpin ISDV (orang Belanda) satu per satu dari Hindia Belanda. Pemimpin pertama yang diusir ialah Sneevliet. Proses ini dilakukan segera setelah pemerintah yakin bahwa kekuasaan di negeri Belanda tetap tegak. Kaum revolusioner ini telah lama mengganggu para pemimpin Indonesia maupun petinggi pemerintah, tapi pada saat keadaan memanas November 1918, kelompok oposisi menganggap mereka sebagai martir (Ruth McVey, 2010: 59). Darsono adalah salah satu dari beberapa tokoh yang ditahan oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal ini justru memperkuat perasaan solidaritas orang-orang Indonesia terhadap Sneevliet. Tidak menjadi buntu bagi ISDV setelah ditinggalkan para pemimpin Eropa tersebut, karena sejumlah anggota orang Indonesia mempunyai kemampuan atau pengalaman untuk menggantikannya. Selain Semaun, ISDV memiliki pemimpin terbaiknya yakni Darsono, seorang bangsawan Jawa muda yang hadir pada pengadilan Sneevliet pada 1917 dan segera menjadi seorang sosialis revolusioner. Ia salah satu rekan kerja terdekat Sneevliet selama akhir tahun kepemimpinannya di Hindia dan berhubungan dekat dengan Baars dan organisator buruh Bergsma. Darsono salah satu dari sedikit pemimpin komunis Indonesia yang secara serius mendalami ilmu Marxisme. Namun demikian ia terkadang menghadapi masalah dalam menerapkan gagasan-gagasan komunis Barat yang dipelajarinya dengan kondisi yang ada di negara Timur. Ia pengagum berat Revolusi Bolshevik dan dengan penuh semangat mendesak para pengikut untuk menandingi. Hal ini menyebabkan ia ditahan dan dihukum selama setahun pada November 1918 (Ruth McVey, 2010: 63).

Perluasan slogan ISDV mendapatkan tanggapan luas yang ditandai oleh sikap kongres Sarekat Islam 1918 yang dengan jelas bersifat revolusioner. Kongres tidak hanya memprotes keras para penguasa, tapi juga memprotes Tindakan pemerintah sebagai pelindung kapitalisme yang “penuh dosa”. Anggota-anggota ISDV yang tergabung dalam Sarekat Islam terus memperbaiki posisi di dalam Sarekat Islam, karena mendapat ancaman dari Semarang untuk memecah pergerakan sama seperti kongres SI tahun sebelumnya. Sebelum pertemuan SI pada 1918, Darsono telah menulis serangkaian artikel yang mengkritik pemimpin terkemuka CSI anti-Semarang, Abdul Muis. Semaun juga menerbitkan pamflet yang menuduh muis menggunakan kekayaan untuk mendanai Indie Weerbar (Semaun, Anti Indie Weerbaar, Anti Militer dan 3e Nationaal Congres Sarekat Islam, Semarang, 1918).

Pertentangan yang semakin memanas antara kelompok CSI Semarang dengan Muis dan mulai meletus saat setelah kongres dimulai. Tjokroaminoto memutuskan untuk menunda kongres tersebut sebelum situasi menjadi tidak terkendali. Hasilnya Darsono dan Semaun akhirnya memutuskan untuk Bersama-sama menghentikan serangan pribadi mereka terhadap Abdul Muis. Sementara itu, cabang Semarang puas atas penunjukan Darsono sebagai anggota propagandis resmi CSI. Hal ini menunjukan kemajuan yang berarti bagi ISDV (Ruth McVey, 2010: 64).

Darsono juga melakukan kritik keras terhadap Tjokroaminoto ketika meminjamkan uang sebesar 2.000 gulden kepada SI. Mobil yang dibeli Tjokro seharga 2800 gulden sebagai bendahara untuk ketua yang kebetulan dijabat dirinya sendiri menjadi jaminan utang itu. Dan, inilah yang kemudian digunakan Darsono sebagai bahan serangan. Serangannya bertepatan ketika Sarekat Islam mulai memperkenalkan gagasan disiplin partai untuk membersihkan unsur-unsur komunis di organisasi itu dengan larangan memiliki keanggotaan rangkap. Sebagai organisasi yang menyatukan berbagai elemen pergerakan tanpa batasan ideologi, SI langsung terpecah begitu gagasan itu diperkenalkan. Mereka terbelah dalam faksi SI Yogyakarta yang ditopang Muhammadiyah melawan SI Semarang yang kiri (Darsono, Sinar Hindia 6, 7 dan 8 Oktober 1920).

Aktivitas politik Darsono yang sangat mencolok juga ketika tergabung dalam Gerakan Buruh di Semarang. Organisasi buruh bumiputera yang penting dalam pergerakan buruh di Semarang adalah VSTP. Organisasi ini didirikan di Semarang pada tahun 1908, oleh dua orang tokoh sosialis Belanda C.J. Hulshoff dan H.W Dekker. Walaupun semula dipimpin orang-orang Belanda, VSTP merupakan serikat buruh pertama di Semarang yang beranggota orang-orang pribumi, baik yang belum maupun yang sudah berpendidikan Barat. Organisasi ini lalu berkembang sebagai wadah persatuan seluruh pegawai kereta api baik swasta maupun pemerintah. Dalam sejarah pergerakan buruh di Semarang, VSTP dikenal sebagai organisasi pelopor (Sayuti Hasibuan, 1968: 15).

Masuknya anggota bumiputra dalam VSTP tak bisa lepas dari peranan Sneevliet. Pada pertengahan tahun 1913, VSTP masih beranggota orang Eropa dan kepemimpinan pusat dipegang oleh para propagandis serikat buruh Eropa. Dengan melihat kenyataan bahwa pada saat itu jumlah pekerja bumiputra yang terampil dan tidak buta huruf seperti masinis dan karyawan administratif bertambah, atas usul Sneevliet pada akhir 1913, VSTP memutuskan menerima anggota bumiputra dan memberi mereka hal yang sama dan anggota Eropa. Pada tahun 1918 kongres VSTP menetapkan bahwa paling banyak 3 orang dari 7 orang pemimpin VSTP adalah orang bumiputra (Takashi Shiraishi, 1990: 98-99).

Pekerja-pekerja pribumi yang ada di distrik semarang kemudian ikut terjun dalam kesadaran kelas buruh yang kemudian berkembang menjadi anggota-anggota perserikatan. Pesatnya perkembangan pekerja pribumi dan perkembangan berbagai sarana dan prasarana ekonomi serta besarnya jumlah penduduk Eropa yang bergerak di sektor ekonomi dan birokrasi, maka pemerintah kolonial Hindia Belanda mengadakan suatu reorganisasi administrasi pemerintahan yang semakin menambah pemikiran yang memunculkan kesadaran kelas buruh di Semarang.

Kristalisasi kesadaran kelas buruh Semarang tak hanya terjadi di lingkungan pegawai pemerintahan, tapi juga di perusahaan swasta. Kesulitan ekonomi akibat Perang Dunia I semakin mendorong kaum buruh Semarang untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya. Selain VSTP, pada perempat pertama abad ke-20 di Semarang terbentuk berbagai organisasi buruh yaitu: Typografenbond (Sarekat Buruh Percetakan), Koetsiersbond (Serikat Kusir), Pasarbond (Serikat Buruh Pasar), Chauffeursbond (Serikat Sopir), Bediendenbond (Serikat Pembantu Rumah Tangga), Sarekat Boeroeh Electrisch (SBE), dan Sarekat Boeroeh Bengkel (SBB). Menurut laporan residen Semarang, Van Gulik, organisasi-organisasi buruh ini dipengaruhi para pemimpin komunis (Sandra, 1961: 7-8).

Di antara organisasi-organisasi buruh tersebut, Typografendbond adalah organisasi yang paling berperan dalam sejarah pergerakan buruh di Semarang. Organisasi ini berdiri di Semarang dalam rapat Vakcentrale PPKB tanggal 24 April 1920. Rapat dikunjungi oleh kaum buruh percetakan dari Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Pembentukan Typografendbond itu segera disusul pembentukan cabang-cabangnya di Kudus, Magelang, Solo, Pekalongan, Tegal, Cirebon, Malang, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya (Soeara Bekelai, 30 April 1921: 40).

PPKB tak memiliki persatuan anggota yang solid karena dalam organisasi itu tumbuh dua kubu. Kelompok komunis atau kelompok Semarang (Semaoen dan kawan-kawan) yang menghendaki pergerakan revolusioner untuk mencapai kekuasaan politik, dan kelompok nasionalis atau kelompok Jogja (Agus Salim, Abdul Muis, dan Soerjopranoto) yang menghendaki pergerakan demokratis (melalui dewan perwakilan) Gejala perbedaan ideologis tampak dalam rapat pertama PPKB di Semarang tanggal 1 agustus 1920 di Semarang.

Permasalahan yang muncul adalah perlu tidaknya penambahan kata-kata revolutionair pada nama Vakcentrale atau tidak. Pendukung penambahan kata revolutionair pada nama organisasi ini adalah kelompok Semarang: Semaoen, Darsono, Najoan, dan P. Bergsma. Sebaliknya kelompok Jogja: Soerjopranoto, H. Agus Salim, dan Tjokroaminoto tak menghendaki itu. Permasalahan penambahan nama revolutionair tersebut belum dapat diselesaikan dalam rapat di Semarang tersebut (Robert van Niel, 1984: 127). Dalam rapat itu kelompok Semarang menyatakan keluar dari PPKB dan mendirikan persatuan organisasi-organisasi buruh baru bernama Revolutionaire Vakcentrale. Pada tahun 1921-1923 Darsono meninggalkan Hindia untuk melakukan perjalanan ke Eropa Barat melalui Siberia. Selama perjalanan itu, pada tahun 1921, ia mewakili PKI pada Kongres Komintern ketiga di Moskow. Setelah itu ia bekerja untuk Komintern dan Berlin. Ia juga berbicara pada kongres Partai Komunis Belanda di Groningen pada tahun 1921. Dalam pidato itu ia menyerukan kerja sama yang lebih erat antara partai-partai komunis Belanda dan Indonesia demi mengurangi kebencian rasial (De Waarheid, 24 April 1982).

Pada 1922 Darsono kembali ke Moskow. Saat Darsono berada di luar negeri, penguasa Belanda di Hindia Belanda membahas bahwa ia harus diperlakukan sama dengan Semaun dan tidak diizinkan masuk kembali ke koloni ketika ia kembali dari Eropa. Namun, ia berhasil masuk kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1923. Pada tahun 1923 penguasa Semarang dan Gubernur Jenderal memperdebatkan apakah Darsono dan Semaun harus di deportasi dari Hindia, tetapi memutuskan untuk sementara waktu tidak. Meskipun mereka secara agresif mengorganisir pemogokan dan menyebarkan pesan komunis, pihak berwenang berpikir bahwa mendeportasi mereka mungkin tidak mengubah apapun (Kwantes, RC De Ontwikkeling van de nationalistische beweging di Nederlandsch-Indi No.8, bronnenpublikatie:  566).

Tulisan Darsono persis sebelum terjadi pemberontakan di Jawa pada tahun 1926 membuat Darsono menjadi terlibat dalam semua urusan. Darsono mengatakan PKI harus mengembangkan disiplin partai secara besar-besaran, demikian halnya dengan tingkat ideologinya. Ia mendesak partai berkonsentrasi terhadap pembangunan basis massa revolusioner nasional berdasarkan contoh partai di Cina dengan blok di dalamnya. “Tugas kaum komunis Indonesia pada periode ini sama dengan kawan-kawan di Cina. Mereka harus mendukung pergerakan revolusioner nasional Indonesia dengan seluruh kekuatan mereka dan setelah itu mengambil kepemimpinan untuk diri mereka sendiri” (Darsono, Die Kommunistische Internationale, 9 November 1926, 419).

Dibandingkan dengan Semaun, Darsono termasuk relatif moderat sebagai seorang komunis, dalam hal ia tidak percaya pada penggunaan bom, teror atau metode lainnya. Darsono akhirnya ditangkap pada tahun 1925 dan diusir dari Hindia Belanda pada tahun 1926. Jika dia adalah seorang tokoh yang lebih moderat, dengan dia dan pendiri PKI lainnya pergi, partai menjadi jauh lebih radikal (Edi Cahyono 2003: xxix–xxx). Pemberontakan PKI tahun 1926 yang naas terjadi ketika Darsono berada di luar negeri, dan meskipun mereka mencoba untuk berunding atas nama komunis Indonesia dengan pihak Soviet, mereka semakin kehilangan kontak dan tidak dapat dihubungi. bantuan dari tempat mereka berada (Ruth McVey 2010: 334-337).

Menurut Adolf Baars dalam sebuah bukunya tahun 1928 yang diterbitkan tentang kehidupan di Uni Soviet, juga seorang komunis Belanda yang telah terlibat pada tahun-tahun awal ISDV tetapi telah dideportasi dari Hindia sejak awal. Semaun dan Darsono bahwa perwakilan asing yang bekerja di negara tersebut seringkali memiliki lingkaran sosial yang sangat terbatas, dan bahwa orang-orang seperti Semaoen dan Darsono bekerja di kantor, menerima surat-surat asing dan kliping pers, dan tinggal di sebuah hotel, tidak tahu banyak tentang negara tempat mereka tinggal (Adolf Baars, 1928, 9).

Saat kembali ke Uni Soviet melalui Singapura dan Cina, Darsono menggunakan nama samaran Samin, ia bekerja untuk Komintern selama beberapa tahun. Darsono masih di Berlin pada tahun 1935 ketika Hukum Nuremberg disahkan. Pada saat ini banyak komunis melarikan diri dari Jerman, tetapi dia tidak dapat melarikan diri untuk sementara waktu, jadi dia meninggalkan putranya Alam Darsono untuk tinggal Bersama Bran Bleekrode, seorang pemain biola Yahudi yang tinggal di Amsterdam yang sepupunya Bram Bleekrode mengatur tempat tinggal bagi para komunis yang melarikan diri. Jerman. Namun, Darsono ternyata dapat bergabung kembali dengan putranya di Amsterdam kemudian pada tahun 1935, di mana ia tinggal selama beberapa tahun (Nieuw Israeletisch weekblad, 10 Februari 1984). Setelah Indonesia merdeka dari Belanda, Darsono akhirnya kembali ke tanah air pada tahun 1950, setelah dua puluh tahun dilarang masuk. Ia memutuskan hubungan dengan pandangan komunis sebelumnya dan menjadi penasihat di Kementerian Luar Negeri Indonesia sampai tahun 1960. Darsono meninggal tahun 1976 di Semarang.

Penulis: Satriono Priyo Utomo
Instansi: Overseas Research Assistant, National University Of Singapore
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Daftar Referensi

Baars, Adolf (1928) Sowjet-Rusland in de practijk: Indi tot leering. Rotterdam: Nieuwe Rotterdamsche Courant.

Cahyono, Edi (2003) Jaman Bergerak di Hindia Belanda: Mosaik Bacaan Kaoem Pergerakan Tempo Doeloe. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah bekerja sama dengan Yayasan Penebar.

Darsono, Die Lage der Volksbewegung Indonesiens (Situasi Gerakan Rakyat Indonesia), Die Kommunistische Internationale, 9 November 1926.

De waarheid. 24 April 1982.

Feith, Herbert dan Lance Castles (1988), Pemikiran politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.

Hasibuan, Sayuti (1960) Political Unionism and Economic Development in Indonesia: Case Study. North Sumatra: University of California.

Kwantes, R. C. De Ontwikkeling van de nationalistische beweging in Nederlandsch-Indië No.8: bronnenpublikatie. Groningen: H. D. Tjeenk Willink. p. 464. ISBN 9001519709.

Kwantes, R. C. De Ontwikkeling van de nationalistische beweging in Nederlandsch-Indië No.8: bronnenpublikatie. Groningen: H. D. Tjeenk Willink. p. xxviii. ISBN 9001519709.

Kwantes, R. C. De Ontwikkeling van de nationalistische beweging in Nederlandsch-Indië No.8: bronnenpublikatie. Groningen: H. D. Tjeenk Willink. p. 566. ISBN 9001519709.

Nieuw Israeletisch weekblad, 10 Februari 1984.

Sandra (1961) Sedjarah Pergerakan Buruh Indonesia. Djakarta: Pustaka Rakyat.

Semaoen. Antic indie Weebar, Antie Militie dan 3e National Conggres SI. Semarang: Sinar Djawa. 1918.

Siraishi, Takahashi (1990) Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: PT. Pustaka Gramedia Utama Grafiti.       

Soeara Bekelai, Orgaan Vakcentrale: Persatoaean Perkoempoelan, 30 April 1921.

T. Mc Vey, Ruth, (2010) Kemunculan Komunisme Indonesia, Depok: Komunitas Bambu.

Van Niel, Robert (1984) Munculnya Elite Modern di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya