Dirk Fock
Dirk Fock adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1921-1926) yang dikenal dengan sikapnya yang keras terhadap kaum pergerakan. Ia lahir di Duurstede 19 Juni 1858 dan meninggal di Den Haag pada 17 Oktober 1941. Pandangan dan kebijakan politiknya berbeda dengan pendahulunya, Johan Paul van Limburg Stirum (1916-1921), yang cenderung menaruh simpati kepada golongan nasionalis. Fock mencurigai dan bahkan bersikap tegas terhadap mereka. Karena itulah masa kepemimpinannya termasuk periode reaksioner dalam sejarah pergerakan nasional.
Sejak menjabat Menteri Urusan Daerah Jajahan di Negeri Belanda (1905-1908), Fock mengajukan gagasan tentang pendidikan teknik dan kejuruan bagi rakyat Hindia. Gagasan itu menginspirasi pendirian sekolah-sekolah kejuruan pemerintah di Batavia, Semarang, dan Surabaya pada tahun 1909. Sekolah tersebut mengajarkan kursus-kursus bagi para pandai besi, tukang kayu, tukang listrik, montir mobil, dan sebagainya. Lulusan sekolah ini umumnya bekerja sebagai karyawan pada perusahaan-perusahaan Eropa. Pada tahun 1920 dibuka Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung (Ricklefs, 1998: 238-240).
Sebelum menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, Fock adalah Gubernur di Suriname selama tiga tahun (1908-1911). Ia menggantikan van Limburg Stirum sebagai Gubernur Jenderal dengan dua tugas penting: pertama, penghematan secara besar-besaran untuk menutupi kenaikan pengeluaran karena Perang Dunia Pertama (1914-1918) dan pembangunan bangunan-bangunan umum sejak masa Stirum. Kedua, menambah penghasilan pemerintah dengan menaikkan pajak bagi rakyat. Pada masa Fock tekanan pajak penduduk Jawa dan Madura naik hingga 40 persen. Dalam rangka menyeimbangkan anggaran belanja maka pemerintah menghapuskan banyak lapangan pekerjaan sehingga mengakibatkan pengangguran pada semua lapisan dan banyak tenaga yang disia-siakan (Kartodirdjo dkk., 1975: 82; Ricklefs, 1998: 245). Dia mengeluarkan berbagai instruksi untuk berhemat. Mulai tahun 1920 pemerintah menghapuskan hadiah tambahan untuk biaya hidup kepada setiap pegawai pemerintah (Van Niel, 1984: 264).
Fock menentang pemberian perluasan kekuasaan bagi orang Indonesia, seperti dilakukan Van Limburg Stirum. Ia lebih senang dengan upaya peng-Eropa-an pemerintahan Hindia Timur. Akibat langsung politik Fock adalah radikalisasi pergerakan nasional sejak tahun 1922. Dalam Volksraad muncul gerakan non-koperasi terhadap pemerintah yang saat itu mulai meluas di kalangan kaum terpelajar. Ia menggunakan kekuasaannya untuk membatasi gerak Abdoel Moeis di pulau Jawa saja dan pada tahun berikutnya melarang H.O.S. Tjokroaminoto dan Agus Salim menghadiri kongres Sarekat Islam se-Provinsi Kalimantan (Kartodirdjo dkk, 1975: 83; Noer, 1982: 222-223).
Fock setuju dengan Van Deventer terkait emigrasi sebagai program utama kesejahteraan. Program ini berpijak dari suatu pandangan bahwa kemiskinan di Jawa adalah akibat dari kepadatan penduduk dan sebaliknya kemiskinan di luar Jawa karena kekurangan penduduk (Furnivall, 2009: 374). Pada tahun 1925 lahir Staatsinrichting (Konstitusi) baru yang memiliki tiga ciri yaitu pembatasan wewenang raja, pengakuan Volksraad sebagai organ legislatif, dan penurunan derajat Raad van Indie menjadi sekadar badan penasihat (Furnivall, 2009: 294).
Sikap anti kolonial meningkat pada akhir pemerintahan Fock. Puncaknya akhir tahun 1926 ketika terjadi pemberontakan di Banten, Sumatera Barat, dan beberapa tempat di Jawa. Pengganti Fock sebagai Gubernur Jenderal, yakni De Graeff yang pada mulanya bersikap terbuka terhadap golongan nasionalis terpaksa bertindak keras. Sekitar 4.500 orang dipenjara, di antaranya 1.300 orang dibuang ke Boven Digul Papua dan empat orang dihukum mati (Kartodirdjo dkk., 1975: 83). Masa kuasanya membuka jalan bagi tokoh-tokoh pergerakan nasional menuju tanah pengasingan.
Penulis: Abd. Rahman Hamid
Instansi: Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Van Niel, R. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kartodirdjo, S dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Depdikbud.
Ricklefs, M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Noer, D. 1982. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. Hlm. 121-170.
Furnivall, J.S. 2009. Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta” Freedom Institute.