Djamaluddin Malik

From Ensiklopedia
Djamaluddin Malik. Sumber: Repro dari buku Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia, Hal. 155


Djamaluddin Malik adalah seorang pelopor industri perfilman nasional. Ia lahir di Padang pada 13 Februari 1917 (Bintang, 2007:199). Putra Minang ini mengenyam pendidikan di MULO dan AMS di Jakarta. Saat di AMS Djamaluddin Malik bertemu dengan Usmar Ismail, seseorang yang nantinya menjadi partnernya sebagai dwi tunggal perfilman nasional.

Sumber: Misbach Yusa Biran, 2009: 78.

Djamaluddin Malik memulai kariernya di Koninklijke Pakertvaart Maatschappij (KPM). Ia berdagang kayu hingga pengangkutan perjalanan haji ke Mekah. Dari bisnis tersebut Djamaluddin Malik mengumpulkan modal untuk mendirikan industri film modern. Pada 23 April 1951, Djamaluddin Malik mendirikan Persari (Perseroan Artis Indonesia). Perusahaan ini berlokasi di Polonia dengan fasilitas yang cukup mewah, seperti studio, taman dan kolam renang, laboratorium hitam putih hingga studio perekaman suara. Selama berdiri lebih dari 10 tahun, perusahaan ini berhasil membuat 59 judul film, dengan tiga film berwarnanya berjudul Rodrigo de Villa (1952), Leilani (1953), dan Tabu (1953) (Terbit, 1979). Selain tiga film tersebut pada 1962 Persari bekerjasama dengan Sampuguita untuk membuat film Holiday in Bali. Film tersebut menggunakan tiga bahasa, yaitu Bahasa Indonesia-Tagalog-Inggris. Dalam pembuatannya, terlibat pula pemain dari Indonesia dan Filipina. Film karya Persari yang terakhir berjudul Menyusuri Jejak Berdarah, dibuat pada 1967 atas kerja sama dengan Ifdil dan Perfini.

Dalam dunia internasional, pada 1954 Djamaluddin Malik berusaha mengikutsertakan film Indonesia dalam Festival Film Asia I (FFA) di Jepang, namun gagal. Hal ini dikarenakan adanya ketegangan hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dengan Jepang akibat adanya urusan mengenai rampasan perang saat itu. Kegagalan tersebut berhasil dibayar pada 1955, saat Djamaluddin Malik berhasil mengikutsertakan film Indonesia pada FFA II di Singapura. Pada tahun yang sama, filmnya yang berjudul Tarmina dan Lewat Jam Malam terpilih menjadi film terbaik versi Festival Film Indonesia I (FFI) (Chisaan, 2008: 161-162)

Sebagai seorang muslim, Djamaluddin Malik terlibat dalam beberapa organisasi Islam. Sejak 1933, ia tercatat menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Ia juga pernah menjadi Ketua III Pengurus Besar NU dalam Muktamar ke-21 pada 1956 di Medan. Pada 1962 Djamaluddin, Usmar Ismail dan Asrul Sani membentuk organisasi bernama Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia), sebuah organisasi dengan sikap jalan tengah dalam perpolitikan yang berada di bawah naungan partai NU. Melalui Lesbumi, Djamaluddin Malik dapat menunjukan bahwa santri dapat bergaul dengan kalangan seniman dan budayawan dengan lingkup bidang seni-budaya dan keagamaan dapat menyatu. Mewakili NU, Djamaluddin Malik  menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada 1966 (Bintang, 2007: 199).

Di usia senjanya Djamaluddin Malik sakit dan berobat ke Jerman Barat. Dalam pengobatan tersebut, ia meninggal pada 7 Juni 1970. Jenazahnya kemudian diterbangkan ke Jakarta dan dimakamkan di Kawasan Pekuburan karet Jakarta (Aula, 2021: 54). Pada tahun 1973, pemerintah menganugerahi Djamaluddin Malik Bintang Mahaputra melalui istri beliau, Elly Yunara, sekaligus dikukuhkan sebagai pahlawan nasional (Terbit, 1979).

Penulis: Siti Utami
Instansi: Universitas Tebuka
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.

Dewi Ningrum


Referensi

Bintang. (2007). Mengamati Daun- daun Kecil Kehidupan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Choirotun Chisaan (2008), LESBUMI: Startegi Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS, 2008

Misbach Yusa Biran (2009),  Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia. Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga: Jakarta.

Purnama, 10 Mei 1970

Sinar Harapan, Senin, 24 Juli 2006

Terbit 1 Desember 197