Dullah

From Ensiklopedia
Dullah - Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L.2362

Dullah adalah seorang seniman terkemuka di Indonesia. Ia lahir di kota Solo pada 19 September 1919. Ibunya bernama Kati, seseorang yang tidak hanya melahirkannya, namun juga mewariskan bakat seni pada anaknya tersebut. Ayah Dullah sendiri bernama Darsoatmojo, seorang pengusaha batik di Solo (Dullah, 1982: 120). Dullah dikenal sebagai pelukis realis dengan corak lukisan yang realistik. Karya-karyanya banyak menampilkan potret wajah dan komposisi banyak orang (Setya R., 2008: 49). Ia juga banyak melukiskan pengalamannya pada masa revolusi Indonesia.

Lukisan Dullah “Potret Diri”. Sumber: Agus Dermawan T, 2020: 3

S. Sudjojono dan Affandi adalah guru Dullah dalam melukis. Perkenalan Dullah dengan dunia seni rupa dan pergerakan sendiri dimulai pada masa Jepang. Saat itu ia bergabung dalam Poetra (Poesat Tenaga Rakjat) untuk mengurusi bagian seni rupa, bersama Sudjojono, Agus Djaya, Basoeki Abdullah, dan tokoh-tokoh seniman lainnya (Dermawan T., 2004: 49). Setelah Poetra dibubarkan, Dullah menjadi bagian dalam Keimin Bunka Sidhoso, pusat kebudayaan buatan Jepang. Lembaga tersebut didirikan pada 1 April 1943 untuk mendukung propaganda Asia Timur Raya melalui bidang seni, baik seni rupa, film dan drama, sastra hingga seni tari dan suara (NN, 1942: 8-9).

Saat Indonesia merdeka, Presiden Sukarno meminta kepada S. Sudjojono agar para seniman membuat karya dalam bentuk poster. Affandi lah yang kemudian ditugaskan untuk menggambar posternya, sementara Dullah dijadikan modelnya. Poster menggambarkan sosok yang berpose memecahkan rantai dari kedua tangannya, dibubuhi teks “Boeng Ajo Boeng!”, buah pemikiran Chairil Anwar. Poster dicetak dan diperbanyak untuk disebarkan di berbagai daerah untuk menyulut semangat rakyat Indonesia (Sudjojono, 2017: 167-168).

Di masa revolusi kemerdekaan Indonesia, pergerakan Dullah dalam bidang seni terus dilakukan. Ia bergabung dalam SIM (Seniman Indonesia Muda) yang dibentuk oleh S. Sudjojono dan teman-temannya saat di Madiun. Saat Agresi Militer Belanda II terjadi di Yogyakarta, Dullah mengumpulkan anak-anak didiknya untuk melukis secara langsung peristiwa yang mereka saksikan sebagai pendokumentasian perang kemerdekaan. Karya anak-anaknya tersebut juga berhasil menarik perhatian puluhan ribu orang saat dipamerkan di Gedung Agung pada 1978 dan di Aldiron Plaza Jakarta pada 20 Desember 1979-2 Januari 1980 (Setya R., 2008: 50). Hasil karya-karya tersebut kemudian dibukukan dalam "Karya Dalam Peperangan Revolusi" pada 1982.

Poster “Boeng, Ajo Boeng” karya Affandi dan Dullah sebagai modelnya. Sumber: https://dgi.or.id/dgi-archive/1945-poster-boeng-ayo-boeng

Pada 1950 Dullah turut berpartisipasi dalam pendirian Himpunan Budaja Surakarta (HBS). Bakat yang dimiliki Dullah juga kemudian membuatnya dipercaya oleh Presiden Sukarno untuk mengurusi koleksi lukisan dan patungnya di istana. Sejak saat itulah ia bertugas sebagai seniman istana. Ia dipercaya presiden Sukarno dalam proses pembuatan lambang negara, Garuda Pancasila. Saat itu, ia diminta untuk mengubah bentuk kaki garuda yang mencengkram pita. Saat menjadi seniman istana, Dullah juga sempat menerbitkan buku berjudul Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno pada 1956. Setelah sepuluh tahun menjalani tugasnya tersebut, pada 1961, Dullah mengundurkan diri dan kembali ke Solo (Hidayat, 2008: 36; Sudarmaji, 1981: 46; Triatmono (ed.), 2010: 225).

Setelah lepas dari tugasnya di istana, Dullah terus berkesenian. Pada 1974 ia mendirikan Sanggar Pejeng di Bali. Murid-murid Dullah saat di HBS Solo menjadi anggota sanggar tersebut. Melalui Sanggar Pajeng, Dullah mempopulerkan aliran lukis realismenya art shop yang ada di Bali pada 1980-an (Burhan, 2004: 91). Pada 1 Agustus 1988 ia juga mendirikan sebuah museum untuk mewadahi koleksi karya-karyanya dan seniman Indonesia lainnya. Museum Dullah berlokasi di Jl. Tjipto Mangunkusumo 15, Solo (Dermawan T, 2008).

Dalam hidupnya, Dullah pernah menikah dengan Jan Jaerabby Fatima, seorang perempuan keturunan India. Mereka mengangkat anak bernama Sawarno. Selain melukis, Dullah juga kerap menulis feature juga puisi. Tulisannya tidak hanya ditulis dalam bahasa Indonesia, namun juga bahasa Jawa. Tulisan-tulisannya tersebut dimuat dalam surat kabar, seperti Kedaulatan Rakyat dan Minggu Merdeka. Pada 1 Januari 1996 Dullah meninggal di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Jasadnya kemudian dimakamkan berdampingan dengan makam istrinya di Purwoloyo, Surakarta.

Penulis: Siti Utami
Instansi: Universitas Tebuka
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.

Dewi Ningrum


Referensi

Agus Dermawan T. (2004), Bukit-bukit Perhatian: Dari Seniman Politik, Lukisan Palsu Sampai Kosmologi Seni Bung Karno. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

_____. “Kisah tentang Dua Museum”, dalam Kompas edisi Minggu, 2008.

Dullah (1982), Karya Dalam Peperangan dan Revolusi, Jakarta. Djaya Pirusa.

Hero Triatmono (ed) (2010), Kisah Istimewa Bung Karno. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.         

M. Agus Burhan (2013), Seni Lukis Indonesia Masa Jepang Sampai Lekra. Surakarta, UNS Press.

Nanang R. Hidayat (2020), Mencari Telur Garuda (Jilid Kedua), Bantul: I:boekoe & Rumah Garuda.

NN, “Poesat Keboedajaan Melangkan”, dalam Djawa Baroe 1 April 1943.

S. Sudjojono (2017), Cerita Tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya, Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia.

Sudarmaji (1981), Pelukis dan Pematung Indonesia. Jakarta: Penerbit Aries Alima.

W. Setya R. (2008), Aliran Seni Lukis Indonesia, Semarang: ALPRIN