Affandi

From Ensiklopedia
Affandi. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI. No. L.0911

Boerhanoedin Affandi Koesoema atau yang kerap dikenal dengan sebutan Affandi, adalah pelukis terkemuka di Indonesia. Ia lahir di Cirebon, Jawa Barat. Ia lahir pada bulan Mei tahun 1907. Meski begitu, tanggal lahir Affandi tidak diketahui secara pasti. Ia sendiri menetapkan tanggal kelahirannya pada tanggal 1 Mei agar bertepatan dengan hari buruh (Marzuqi, 2020).

Affandi merupakan anak dari seorang mantri ukur di pabrik gula bernama R. Koesoema. Status tersebut memberikan keuntungan bagi Affandi untuk berkesempatan bersekolah di HIS (Hollandsch-Inlandsche School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dan AMS (Algemene Middelbare School).

Saat bersekolah di AMS, Affandi mulai menyukai dunia lukis dengan mendapat pengaruh dari pelukis Yudhokusumo. Hal tersebut tidak mengherankan karena ia menumpang tinggal bersama sang pelukis selama bersekolah di sekolah menengah tersebut (Firdausi, 2018). Di Jakarta Affandi mulai mempelajari dunia melukis secara otodidak dengan membaca buku teknik melukis dan berkesempatan mengunjungi berbagai pameran lukisan.

Setelah meninggalkan dunia pendidikan formal, Affandi melakukan berbagai pekerjaan demi menyambung hidupnya. Sampai di tahun 1933 akhirnya ia menikahi seorang perempuan asal Bogor bernama Maryati. Saat itu Maryati berusia 16 tahun. Pasca pernikahannya, mereka memutuskan untuk tinggal di Bandung dan memulai hidup baru disana.

Di Bandung, Affandi memulai pekerjaannya di berbagai bidang seperti guru di HIS dan Taman Siswa, tukang gambar pesanan, serta pekerja bioskop sembari melukis poster film dan reklame. Berbagai pekerjaan tersebut dilakukan demi memenuhi kebutuhan bulanan yang seringkali tidak tercukupi. Sampai akhirnya Affandi memutuskan untuk bekerja sebagai pelukis profesional beberapa saat setelahnya.

Pada periode 1930-an tersebut, bersama dengan Hendra Gunawan, Sudarso, Wahdi, dan Barli, mereka membuat kelompok seni lukis yang dikenal dengan sebutan kelompok Seniman Lima Bandung. Affandi sendiri merupakan ketua kelompok tersebut. Meski bukan berupa organisasi formal, namun kelimanya berkomitmen untuk meningkatkan kemampuan seni—khususnya melukis—serta menghidupkan eksistensi bidang ini pada keragaman seni di Indonesia (Hendra, 2018).

Sebagai pelukis, banyak pihak yang menganggap lukisan Affandi sebagai aliran ekspresionisme baru, namun baginya aliran yang dia anut adalah humanisme. Hal ini tidak terlepas dari konteks hidup Affandi yang merasakan pendudukan Belanda dan Jepang di saat itu. Oleh karenanya, ia banyak menghasilkan karya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial, keluarga, dan potret diri (Burhan, 2013).

Sebagai contoh, salah satu lukisan yang ia sukai baik secara konsep, emosional, maupun teknik, adalah lukisan berjudul “Potret Ibuku” (Firdausi, 2018). Selain itu berbagai karya realis lainnya seperti “Burung Gereja Mati di Tangan”, “Ayam Jantan yang Mati Menggeletak”, dan “Poelang Membawa Bebek Pintjang” juga dihasilkan pada masa pendudukan Jepang yang dia anggap penuh kekerasan. Ia juga dikenal dengan cara melukis yang khas, yakni melukis menggunakan jari langsung pada media gambar. Alasannya, melukis dengan anggota tubuh akan merekatkan dirinya secara emosional dengan lukisannya tersebut.

Berbagai karya lukis yang ia hasilkan di zaman tersebut, memberikan kesempatan padanya untuk dapat menciptakan pameran tunggal pada 1943 di Gedung Poetera Djakarta. Pameran ini merupakan inisiasi bersama dengan “Empat Serangkai”—Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyoer—dalam rangka meningkatkan semangat perjuangan di masa pendudukan Jepang. Kejadian ini semakin menaikkan nama Affandi, bukan hanya sebagai seniman, namun tokoh perjuangan dalam berbagai karya seninya.

Bahkan, saat ia diminta pihak Jepang untuk menciptakan lukisan yang bertemakan keberangkatan romusha, ia malah menciptakan karya seni yang menunjukan berbagai derita rakyat terhadap romusha. Karya seni berjudul “Tiga Orang Pengemis” merupakan perwujudan dari penderitaan rakyat terhadap kekejaman tentara Jepang (Dinas Kebudayaan Kemdikbud, 2021).

Ia terus melakukan propaganda positif dengan menciptakan lukisan tentang semangat dan perjuangan untuk memompa semangat rakyat Indonesia dari keterpurukan di masa penjajahan. Puncaknya pada tahun 1945, dengan inisiatif Sukarno, pelukis Soedjojono memberikan kepercayaan kepada Affandi untuk menciptakan karya lukis yang menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia untuk melawan penjajah. Akhirnya muncullah sebuah poster berjudul “boeng, Ajo Boeng”.

Lukisan ini menggambarkan seorang lelaki dengan tangan yang terlepas dari borgol sambil memegang bendera merah putih. Judul poster ini sendiri diambil dari kata-kata yang tertulis pada poster tersebut. Chairil Anwar-lah yang diminta oleh Affandi untuk membantu memberikan kata-kata pada poster tersebut sebagai pelengkap.

Meski kata-kata itu sendiri sering dianggap berkonotasi negatif—terhubung pada cerita soal ajakan PSK pada calon pengguna jasa—namun Chairil yakin kata-kata tersebut dapat dimaknai lebih luas dengan konteks yang positif sebagai wujud perjuangan (Isnaeni, 2014). Akhirnya poster tersebut diperbanyak dan disebarkan ke seluruh penjuru negeri sebagai propaganda perjuangan di masa itu.

Pasca proklamasi, Affandi pindah ke Yogyakarta dan membangun asosiasi “Seniman Masjarakat” bersama Hendra, sebelum akhirnya bergabung dengan SMI (Seniman Muda Indonesia). Lalu ia juga turut ambil bagian pada “Pelukis Rakjat” sebelum kembali ke Jakarta, dimana ia mendirikan Gabungan Pelukis Indonesia (GPI) pada tahun 1948. Sampai akhirnya pada tahun 1949, ia mendapatkan beasiswa untuk belajar di The Art School Shantineketan Tagore University.

Awalnya ia diberi kesempatan untuk sekolah, namun karena kemampuannya dianggap melebihi kualifikasi siswa disana, akhirnya dia malah diminta sebagai pengajar. Lalu Affandi melakukan banyak perjalanan di India selama dua tahun dengan melukis kehidupan sosial dan membuat berbagai pameran lukisan di beberapa kota di India.

Sepulangnya dari India, ia melakukan berbagai pameran di benua Eropa, antara lain di Inggris, Belanda, Belgia, dan Italia. Namanya semakin melejit saat diminta oleh presiden Sukarno untuk mewakili indonesia pada beberapa kesempatan pameran internasional yang diadakan di Brazil (1952) serta Venice dan Sao Paolo (1956). Ia pun mendapat penghargaan dengan memenangkan hadiah pertama di pameran internasional tersebut (Museum Affandi, 2021).

Pada tahun 1957, ia mendapatkan kesempatan untuk mempelajari metode pendidikan seni pada program residensial Amerika Serikat selama empat bulan. Lalu, ia menggelar pameran tunggal di World House Galleries, kota New York. Lima tahun berselang, ia diminta untuk menjadi professor tamu di Ohio State University. Setelah berbagai kegiatan di Amerika Serikat rampung, ia kembali ke Indonesia dan mulai memikirkan tentang pendirian museum lukisan.

Tahun-tahun setelahnya, ia terus diberikan kepercayaan untuk berkontribusi pada dunia seni lukis di Indonesia. Sampai di tahun 1969, ia ditunjuk menjadi ketua IAPA (International Art Plastic Association)—badan seni internasional milik UNESCO untuk Indonesia— dan di tahun yang sama juga mendapatkan penghargaan Anugerah Seni dan Medali Emas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Thabroni, 2018). Affandi juga ditetapkan sebagai anggota seumur hidup ‘Akademi Jakarta’.

Tidak berhenti pada pencapain struktural dan administrasi, ia juga terus produktif dengan menciptakan banyak lukisan dan pameran di berbagai belahan dunia. Antara lain; Osaka Joint Exhibition di Bangkok (1970), Biennial Exhibition di Sydney (1973), pameran bersama anaknya sendiri, Kartika, di Victoria, Australia (1979), pameran ke beberapa kota di Indonesia seperti Medan, Surabaya, Jakarta, dan Bandung (1979-1983), pameran tunggal di Houston, Texas (1984), serta berbagai pameran lainnya sampai dirinya wafat (IVAA, 2021). Bahkan karya-karya yang ia ciptakan terus dipamerkan, meski dirinya telah meninggal di tahun 1990.

Berbagai penghargaan terus ia dapatkan baik saat ia masih hidup maupun telah meninggal, antara lain Pembukaan museum Affandi di tahun 1973, Doktor Honoris Causa dari University of Singapore (1974), International Peace Award dari Dag Hammerskjold Foundation dan gelar Grand Maestro (1977), dan Bintang Jasa Utama dari Presiden Soeharto (1978) (Thamrin, 2019). 

Pada tanggal 23 Mei 1990, Affandi meninggal di depan museumnya. Sampai saat ini karya-karyanya terus dipamerkan oleh berbagai kalangan seni. Terakhir, karyanya dipamerkan di Galeri Nasional pada Oktober-November 2020.

Penulis: Tyson Tirta


Referensi

Affandi Museum (2021). Biography of Affandi. Affandi.org

Burhan, M. Agus (2013). Seni lukis Indonesia: Masa Jepang sampai lekra. Surakarta: UNS Press

Firdausi, Fadrik Aziz (2018). Tolak bermanja-manja dengan alam, Affandi jadi penulis revolusi. Tirto.id

Isnaeni, Hendri. F (2014). Kupu-kupu malam dalam revolusi. Historia.id

IVAA (2021). Affandi. Ivaa-online.org

Kemendikbud (2021). Affandi. Kebudayaan.kemdikbud.go.id

Marzuqi, Abdillah (2020). Cara lain menikmati karya Affandi. Mediaindonesia.com

T, Agus Darmawan (2018). Surga kemelut pelukis Hendra: dari pengantin revolusi sampai terali besi. Jakarta: Gramedia

Thabroni, Gamal (2018). Affandi-Biografi, aliran & analisis karya lukis. Serupa.id

Thamrin, Mahandis Yoanata (2019). Pelukis Affandi Koesoema dan takdirnya dalam naungan daun pisang. Nationalgeographic.grid.id