Fatmawati

From Ensiklopedia

Fatmawati adalah Ibu Negara Pertama Republik Indonesia dari tahun 1945 hingga 1967. Ia adalah istri ketiga presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, dan merupakan sosok perempuan yang tegar, bijaksana, penuh pengorbanan dan perjuangan. Fatmawati dilahirkan dari rahim seorang ibu, bernama Siti Chadijah pada tanggal 5 Februari 1923, di Pesisir Pantai Tapak Paderi, Bengkulu. Kedua orang tuanya merupakan keturunan bangsawan. Ibunya Siti Chadijah merupakan keturunan Kerajaan Indrapura Mukomuko, provinsi Bengkulu, sementara ayahnya Datuk Hassan Din, memiliki garis keturunan dari Kerajaan Putri Bunga Melur, sekaligus tokoh Muhammadiyah yang terbilang aktif di Bengkulu.

Saat Fatmawati lahir, Datuk Hassan Din, telah menyiapkan dua nama, yaitu nama pertama Fatmawati yang artinya bunga Teratai yang harum, sedangkan nama kedua, adalah Siti Zubaidah, diambil dari nama salah satu istri Nabi Muhammad SAW. Akhirnya pilihan terhadap kedua nama tersebut jatuh pada kertas yang bertuliskan “Fatmawati” sebagai anak pertama Datuk Hassan Dien. 

Pada usia enam tahun Fatmawati belajar di Sekolah Rakyat, kemudian melanjutkan ke sekolah dasar berbahasa Belanda, Hollandsch – Inlandsche School (HIS). Status sosial yang dimiliki, ditambah kedudukan Datuk Hassan Dien yang pernah menjadi pegawai pemerintah kolonial (tepatnya bekerja di Perusahaan Milik Pemerintah Kolonial-Belanda, yaitu Borneo–Sumatra Maatschappij (Borsumij), memungkinkan Fatmawati melanjutkan sekolah di HIS. Terlahir dari lingkungan keluarga yang taat agama, rajin belajar membaca Al’Quran, mengaji, dan aktif di Nasyiatul Aisyiyah (organisasi remaja putri yang berada di bawah naungan Muhammadiyah) membentuk Fatmawati sebagai pribadi yang memiliki karakter.

Disamping mendalami nilai-nilai agama, Fatmawati juga melatih rasa keindahan, dengan menari tarian Melayu dan aktif dalam kelompok sandiwara bernama Monte Carlo. Meskipun Fatmawati tumbuh sebagai remaja yang memiliki jatidiri kuat dan prinsip yang teguh, taat pada tradisi dan keyakinannya, tetapi terbuka terhadap berbagai perubahan zaman. Sebagai contoh, ketika usia Fatmawati baru 15 tahun, dengan tingkat kecerdasan berpikir, bekal sosial dan kemampuannya berdiskusi, telah menjadikannya sosok yang disegani, bahkan memikat seorang Sukarno yang kemudian memberikan julukan “Sang Merpati dari Bengkulu.”

Pertemuan Fatmawati dengan Sukarno, terjadi pada tahun 1938, ketika orang tua Fatmawati mengajak berkunjung ke rumah pengasingan Sukarno di Bengkulu. Tujuan kunjungan keluarga pada awalnya adalah untuk mengelabui polisi intel Belanda yang selalu mengawasi gerak-gerik Sukarno dan juga tamu-tamu yang mengunjunginya. Fatmawati yang saat itu mengenakan baju kurung merah hati dan kerudung kuning dengan hiasan bordir, ternyata telah menarik perhatian Sukarno. Peristiwa ini menjadi momentum penting bagi Fatmawati dan Sukarno, karena  pada pertemuan awal ini antara Fatmawati dan Sukarno menumbuhkan benih-benih cinta yang pada akhirnya membawa Fatmawati menjadi ibu Negara Pertama di Republik Indonesia (Fanani, 2017: 36).

Sukarno tidak sendiri berada di rumah pengasingan, namun ditemani istrinya, Inggit Ganarsih, dan anak angkat Sukarno, Ratna Djuami. Merasa memiliki kedekatan, karena jarak usia yang tidak jauh, Ratna Djuami kemudian mengajak Fatmawati untuk bersekolah di tempat yang sama, yaitu di R.K. Vakschool Maria Purrisima, sekolah kejuruan yang berada di bawah naungan organisasi Katolik. Namun demikian, Fatmawati tidak serta merta dapat memasuki sekolah tersebut,  karena harus lulus terlebih dulu dari HIS. Sukarno berhasil menyelesaikan persoalan ini, sehingga memungkinkan Fatmawati melanjutkan ke R.K. Vakschool Maria Purrisima bersama-sama dengan Ratna Djuami. Sejak itu Fatmawati tinggal bersama keluarga Sukarno di rumah pengasingan karena jarak rumah dan sekolahnya terbilang jauh. Di sanalah benih-benih cinta antara Fatmawati dan Sukarno kian tumbuh subur.

Sukarno menyatakan cintanya secara langsung kepada Fatmawati, dua tahun kemudian, ketika Fatmawati meminta nasihatnya sehubungan dengan adanya seseorang yang meminangnya. Namun kedua orangtua Fatmawati tidak menyetujui hubungan tersebut, dengan pertimbangan Sukarno masih memiliki seorang istri. Akhirnya setelah ibu Inggit Ganarsih diceraikan, Fatmawati dan Sukarno menikah  pada bulan Juli tahun 1943. Pada tahun itu pula Fatmawati beserta kedua orangtuanya berangkat ke Jakarta dan tinggal di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Menteng Jakarta.

Setahun setelah pernikahan Sukarno dengan Fatmawati, Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Pada bulan Oktober 1944, seorang perwira Jepang bernama Hitoshi Shimizu, tiba-tiba datang ke rumah Sukarno dan memberi kain merah dan putih. Kain tersebut merupakan janji Perdana Menteri Jepang sebagai isyarat memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia di kemudian hari.

Kain tersebut yang kemudian kelak menjadi Bendera Pusaka Merah Putih. Bendera merah putih tersebut merupakan hasil jahitan tangan ibu negara pertama Republik Indonesia, Fatmawati. Fatmawati menjahit sendiri dengan menggunakan mesin jahit tangan, karena dokter melarangnya menggunakan mesin kaki. Saat itu kondisi kehamilan Fatmawati sedang hamil tua, tepatnya dua minggu sebelum kelahiran putra sulungnya, Guntur Soekarno Putra. Fatmawati seakan mengabaikan kondisi fisiknya yang tengah mengandung dan cepat lelah, baginya mempersembahkan sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu Bendera Merah Putih, jauh lebih penting dari kesehatannya sendiri.

Setahun kemudian, bendera merah putih hasil jahitan Fatmawati itu akhirnya berkibar dan digunakan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Perasaan Fatmawati sangat bahagia, karena berkibarnya Sang Merah Putih seakan menyiratkan kemerdekaan bangsa Indonesia yang sesungguhnya, dimana sebelumnya hanya sebatas impian. Atas jasanya menjahit Bendera Indonesia, Fatmawati dikenal dengan kisahnya menjahit Sang Saka Merah Putih. 

Peran Fatmawati lebih dari sekedar menjahit Bendera Pusaka Merah Putih, karena sebagai Ibu Negara, sosok dan kehadirannya memberikan kontribusi nyata untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Fatmawati bukan hanya tegar dan setia dalam mendampingi suami dan menjaga anak-anak, namun juga memberi spirit dan semangat kepada para pejuang, baik detik-detik jelang kemerdekaan dan pada saat Revolusi Fisik ketika Ibukota pindah ke Yogyakarta. Fatmawati tidak hanya berperan dalam mengatur rumah tangga kepresidenan dimana hampir setiap hari harus melayani dan menjamu para pejuang, namun juga pergi berbelanja ke pasar tanpa pengawalan.

Bertaruh nyawa bersama anak-anaknya dengan berpindah-pindah tempat selama Revolusi Fisik di Yogya, merupakan bukti ketegaran Fatmawati yang lain. Bahkan ketika Sukarno dan Bung Hatta diasingkan ke Pulau Bangka, Fatmawati harus hidup sebagai tawanan Belanda dengan penuh perjuangan. Setelah diusir dari Gedung Kepresidenan Yogyakarta, ia pernah tinggal di salah satu rumah di Kali Code dengan kondisi yang memprihatinkan yatu tidak ada daun pintu dan jendela.

Selama masa Revolusi Fisik Fatmawati setia mendampingi Sukarno, khususnya ketika Sukarno menyampaikan pidato di beberapa wilayah di Jawa. Di sana mulai terlihat, bagaimana sosok Fatmawati ternyata juga pandai bicara di hadapan massa. Pernah suatu ketika saat mendampingi Sukarno di Cirebon, ia diminta bicara oleh rakyat. Fatmawati memberi semangat kepada rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membangun negara, dengan membacakan surat Al Fatihah di depan rakyat. Suasana berubah menjadi hening tatkala ayat suci tersebut dilantunkan dan tepuk tangan riuh rendah kembali terdengar usai Fatmawati memberi semangat kepada rakyat (Fatmawati, 2016: 124).

Fatmawati juga menjadi saksi sejarah beberapa peristiwa penting perjalanan bangsa Indonesia, antara lain lahirnya Pancasila yang dicetuskan pada sidang BPUPKI, 1 April 1945, kemudian saat Sukarno dan Muhammad Hatta dibawa ke Rengasdengklok, tak lama setelah Jepang takluk kepada sekutu. Beberapa kunjungan Kenegaraan juga mewarnai perjalanan Fatmawati, baik saat melawat keluar negeri, maupun saat menerima tamu-tamu negara dari luar negeri. Kesederhanaan melekat dalam diri Ibu Negara ini, misalnya saat mempersiapkan kelahiran anak pertama, Fatmawati membeli pakaian bekas milik wanita Indo. Begitu pula saat menemani Sukarno berkunjung ke negeri, ia meminjam atau dipinjami beberapa perhiasan milik istri Sekretaris Negara. (Fanani, Burhan, 2017: 64 dan 136). 

Fatmawati meninggal dunia pada 14 Mei 1980 di General Hospital Kuala Lumpur, akibat serangan jantung setelah menjalankan ibadah umrah di Makkah dan  dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya pihak Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2000 menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Fatmawati, melalui SK Presiden Republik Indonesia No 118/TK/2000, 4 November 2000. Pada tahun 2001 namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara Fatmawati Sukarno di Bengkulu dan diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Penulis: Citra Smara Dewi


Referensi:

Fatmawati (2016).  Fatmawati Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Jakarta: Yayasan Bung Karno dan PT Media Pressindo.

Fanani, Burhan (2017). Fatmawati dan Soekarno, Kisah Cinta Penuh Pengorbanan. Yogyakarta: Araska.