Gedung Bank Indonesia (Eks-Kantor De Javasche Bank)
Gedung Bank Indonesia terletak di Jalan Pintu Besar Utara No.3, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sebelumnya, gedung ini digunakan sebagai kantor pusat dari institusi perbankan kolonial, De Javasche Bank. Kantor ini telah digunakan sejak tahun 1913 dan telah mengalami beberapa renovasi dan pemugaran dalam perjalanan sejarahnya. Pada masa kini, gedung tersebut telah beralihfungsi menjadi Museum Bank Indonesia, setelah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah DKI Jakarta pada tahun 1993 (Ratnaningtyas, et al, 2022:8).
De Javasche Bank didirikan pada 24 Januari 1828 berdasarkan Keputusan Pemerintah (Besluit) No. 25 yang dikeluarkan oleh Komisaris-Jenderal Leonard Du Bus Gisingnies. Setelah pada tahun 1818, Bank-Courant dan Bank van Leening yang telah terlebih dahulu didirikan pada abad ke-18 dinyatakan tak dapat lagi memenuhi fungsinya (Verrijn Stuart,1928:7). Raja Belanda, Wilhem I mengeluarkan Surat Kuasa No. 85 Tanggal 29 Desember 1826, yang menunjuk Du Bus untuk membentuk suatu bank di Jawa. Pada 11 Desember 1827 pemerintah menetapkan Octrooi en Reglement voor De Javasche Bank yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1828. Berdasarkan Oktroi-oktroi tersebut, De Javasche Bank diberikan tugas pokok menjadi bank sirkulasi dan komersil untuk Hindia Belanda (Bank Indonesia, 2012:24).
Pada awal pendiriannya, De Javasche Bank masih menggunakan gedung rumah sakit bernama Binnenhospital yang sudah menempati lokasi bank. Setelah dua tahun menyewa Binnenhospital, pada tahun 1830 De Javasche Bank membeli gedung tersebut. Dengan adanya beberapa kerusakan dan semakin sibuknya kegiatan perbankan, maka pada tahun 1909, diputuskan agar adanya pembangunan gedung baru yang dapat mempermudah kegiatan operasional perbankan, juga sekaligus menciptakan citra baru untuk De Javasche Bank. Untuk melaksanakan pembaruan ini, G. Vissering (Presiden Direktur De Javasche Bank) menunjuk seorang aristek Belanda, Eduard Cuypers untuk merancang pembangnan gedung baru (Bank Indonesia, 2009: 4-13)
Eduard Cuypers dengan biro konsultan arsitekturnya, Architecten Bureau Ed. Cuypers & Hulswit merancang gedung baru De Javasche Bank untuk menunjukkan kebesaran dan kemegahan institusi tersebut. Dengan dimulainya pembangunan pada 30 Oktober 1910, Eduard Cuypers mengadopsi langgam seperti Renaissance yang menonjol pada hiasan-hiasan gedung tersebut. Seperti dinding bagian bawah yang bergaris-garis horizontal, dengan tiga oculus untuk ventilasi yang menghasi dinding tersebut. Sementara itu, garis horizontal digunakan untuk memberikan kesan seperti bangunan Renaissance. Salah satu fitur utama yang menjadi daya tarik bagi gedung De Javasche Bank adalah dua menara kecil di bagian pintu masuknya. Kedua menara tersebut menunjukkan pengaruh gaya Renaissance, yang menekankan “sentralitas” dari seluruh fasade depan. Gaya ini berpengaruh pada kesan ‘massif’ dari gedung baru De Javasche Bank, layaknya bastion besar yang menyimpan isi di dalamnya. Pembangunan gedung baru ini selesai pada 30 Maret 1913 (Yulianto Sumalyo, 1993: 138-139).
Setelah pembangunan tersebut, pada tahun 1930-1935 kantor De Javasche Bank mengalami renovasi serta perluasan yang kembali lagi dilakukan oleh biro aristektur Cuypers. Gedung De Javasche Bank kembali mengalami beberapa pembaruan seperti campuran elemen kebudayaan lokal pada kolom-kolom yang terlihat begaya doric, namun tetap menggunakan keala yang berciri khas kebudayaan Buddhis di Indonesia. Kemudian ada pula perombakan di bagian depan dan juga sayap kanan gedung. Perombakan ini adalah yang terakhir dilakukan selama masa De Javasche Bank. Memasuki Perang Dunia Kedua pimpinan De Javasche Bank memutuskan untuk memindahkan kantor pusatnya ke Bandung serta memindahkan seluruh cadangan emasnya ke Australia dan Afrika Selatan.
Pada awal tahun 1942, Pemerintah Jepang yang datang menginvasi Hindia Belanda, kemudian melebur beberapa bank Belanda menjadi Nanpo Kaihatsu Kinko atau “Southern Development Bank”. Pada masa ini, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan beberapa mata uang Hindia Belanda dengan penambahan De Japansceh Regeering di dalam cetakannya (Shibata Yoshimasa, 1996: 699-700). Setelah Perang Dunia Kedua dan Konferensi Meja Bundar, penggunaan gedung dikembalikan lagi kepada De Javasche Bank, sebelum akhirnya pemerintahan Indonesia menasionalisasinya di tahun 1953. Bank Indonesia meneruskan kegiatan operasional di gedung De Javasche Bank sampai akhirnya arsitek Indonesia Fredrich Silaban ditugaskan untuk memebangun gedung Bank Indonesia yang di Jl. M.H. Thamrin sepanjang tahun 1957-1963. (van Roosmalen, 2013: 6).
Dengan terjadinya pemindahan kegiatan ke gedung yang terbaru, maka gedung eks-De Javasche Bank perlahan-lahan ditransformasi menjadi sebuah museum. Selama proses untuk menjadikannya sebagai cagar budaya DKI Jakarta, gedung ini mengalami beberapa tahap konservasi secara barangsur-angsur pada tahun 2006-2008. Konservasi ini melibatkan beberapa tim arsitek dari Pusat Dokumentasi Aristektur bersama dengan beberapa perusahaan lain yang tergabung di dalam sebuah konsorsium (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2011: 209).
Penulis: Rangga Ardia Rasyid
Referensi
Tim Penulis Bank Indonesia, 2009, Warisan De Javasche Bank, Bank Indonesia Kota, Bank Indonesia: Jakarta
Tim Penulis Bank Indonesia, 2012, Gedung Bank Indonesia Jejak Arsitektur Dalam Menanggapi Kemakmuran Negeri, Bank Indonesia: Jakarta. \
Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2011, Pengantar Panduan Konservasi Bangunan Bersejarah Masa Kolonial, Pusat Dokumentasi Arsitektur: Jakarta.
Ratnaningtyas, Heny, Nurbaeti, Fetty Asmaniati, 2022, “Pemanfaatan Peninggalan Bangunan Kolonial Belanda Sebagai Objek Wisata Budaya di Jakarta”, dalam Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya Vol. 7, No.1.
Verrijn Stuart, G. M., 1928, Het Honderjarig Bestaan van de Javasche Bank, dalam De Economist, Vol.7. No. 1.
. Yulianto Sumalyo, 1993, Aristektur Kolonial Belanda di Indonesia, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Yoshimata, Shibata, 1996, “The Monetary Policy in the Netherlands East Indies under the Japanese Administration”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, Vol. 153, No.4.
Van Roosmalen, Pauline K.M., 2013, “Confronting built heritage: Shifting perspectives on colonial architecture in Indonesia”, ABE Journal, Vol. 3.