Gunting Syafruddin
Gunting Syafruddin merupakan istilah yang merujuk pada kebijakan moneter masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat. Kebijakan ini dinamakan “Gunting Syafruddin” sesuai dengan nama pencetusnya, Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat. Kebijakan ini berlaku mulai pukul 20 malam senin, tanggal 19 Maret 1950 hingga tanggal 19 April 1950 pukul 18 (Putusan Menteri Keuangan R.I.S tanggal 19 Maret No. P.U./1)
Setelah Konferensi Meja Bundar ditandatangani, Republik Indonesia Serikat harus menanggung beban hutang pemerintah Hindia-Belanda hingga tahun 1949, termasuk biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda untuk berperang melawan Indonesia pada kurun 1945-1949. Sementara ekonomi Indonesia yang baru merdeka ini tengah dilanda krisis. Berbagai masalah seperti produksi yang rendah, mesin-mesin produksi yang rusak, perkebunan yang tidak terpelihara, hingga jalan-jalan yang tidak dapat dilalui menghambat distribusi barang di daerah-daerah. Ekonomi tidak berjalan baik berakibat pada naiknya tingkat inflasi Indonesia (Rosidi 1986:153-155).
Masalah-masalah ekonomi ini diperparah dengan banyaknya ragam uang yang berlaku di masyarakat. Terdapat ORI (Oeang Republik Indonesia), Uang pemerintahan Hindia Belanda yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank, Uang NICA yang dikeluarkan pada masa revolusi kemerdekaan, dan uang-uang daerah lainnya. Berbagai mata uang tersebut harus diganti dan disatukan menjadi satu mata uang tunggal. Dalam kebijakan Gunting Syafruddin ini, pemerintah berupaya untuk mengganti semua mata uang yang beredar dengan mata uang tunggal sekaligus mengendalikan inflasi yang tinggi (Rosidi 1986:154).
Kebijakan ini diterapkan dengan menggunting secara fisik uang NICA dan uang de Javasche Bank menjadi dua bagian. Bagian kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran dengan nilai setengah dari nilai yang tertera. Bagian kiri berlaku sebagai alat pembayaran hingga tanggal 22 Maret 1950. Setelahnya, uang tersebut harus ditukar menjadi uang baru hingga tanggal 16 April 1950. Jika tidak ditukarkan, maka setelah tanggal tersebut uang dianggap hangus. Sedangkan sisi kanan uang yang dipotong dapat digunakan untuk membeli surat obligasi pemerintah sebesar setengah dari nilai uang semula. Surat obligasi itu diberi nama Obligasi Pinjaman Darurat 1950 dengan bunga sebesar 3 persen setahun (Rosidi 1986:158).
Kebijakan ini berlaku untuk uang dengan nilai di atas 5 Gulden/Rupiah, dan tidak hanya terhadap uang kertas yang beredar di masyarakat, tetapi juga terhadap simpanan di bank. Semua simpanan yang dipandang oleh atau atas nama Menteri Keuangan sebagai simpanan di bank akan dipindahkan setengah nominalnya kepada rekening-rekening khusus bernama Pendaftaran Pinjaman Negara 3% 1950. Nominal di rekening ini hanya dapat digunakan untuk membeli obligasi negara (Rosidi 1986:158).
Kebijakan ini terbukti efektif untuk menambal defisit pengeluaran pemerintah kala itu. Melalui Gunting Syafruddin, Pemerintah diperkirakan mendapat pinjaman wajib sekitar 1.5 miliar rupiah. Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini menimbulkan efek yang beragam. Sulitnya komunikasi kala itu membuat berita pemberlakuan kebijakan ini terlambat sampai pedalaman. Karenanya pula, banyak masyarakat pedalaman tidak tahu. Banyak oknum kota yang telah mengetahui kebijakan ini terlebih dahulu, membawa uang pecahan di atas 5 Gulden/Rupiah ke pedalaman dan menukarnya dengan uang receh. Akibatnya, kerugian terjadi pada masyarakat pedalaman. Selain itu, pengusaha-pengusaha juga mengeluhkan jatuhnya harga barang akibat pemberlakuan kebijakan ini (Rosidi 160-161).
Penulis: Afriadi
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Arsip Kabinet Perdana Menteri RI Jogjakarta 1949-1950, No. 222 berisi Putusan Menteri Keuangan Tanggal 19 Maret No. P.U./1. Dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 13 Tahun 1950.
Rosidi, Ajip. 1986. Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah Swt. Jakarta: Inti Idayu Press.