Hamka

From Ensiklopedia

Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah adalah seorang tokoh Islam Indonesia yang terkenal, seorang ulama, sejarawan, sastrawan, dan juga politikus (Pratami, 2020), yang memiliki banyak karya, seperti Tasawuf, Filsafat, Sejarah, Sosial, Budaya, Sastra, dan Pendidikan (Burhanuddin, 2021: 11). Ia pernah menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama di Indonesia yang dilantik pada tahun 1975 (Haryanto, 2021). Buya Hamka adalah tokoh yang kuat pendiriannya akan perihal Aqidah Islamiyyah yang dia pegang erat, seperti disampaikan pada saat pertama kali dilantik menjadi ketua MUI, “Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun!”. Sebuah ungkapan tegas yang menjadi gambaran sosok dirinya yang nyata (Haryanto, 2021).

Buya HAMKA lahir pada 17, versi lain tanggal 16 di bulan dan tahun yang sama (Pratami, 2020: 21), Februari 1908 M/14 Muharram 1326 H (Zahroh, 2021: 34; Aditia, 2020: 48-49). (versi lain menyatakan ia lahir pada 13 Muharram 1362 H (Fahrudin, 2021: 47), di Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat (Fahrudin, 2021, 47; Zahroh, 2021: 34). Atau berdasarkan sumber yang lain menyatakan dengan lebih lengkap beliau lahir di Ranah Minangkabau, desa Kampung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian danau Maninjau, Luhak Agam, Sumatra Barat (Pratami: 21; Aditia: 49; Hidayat, 2015: 51). Panggilan Buya adalah sebuah panggilan untuk menyebut sosok orang yang dihormati. Kata itu berasal dari akar kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau bisa juga berarti seseorang yang dihormati (Todanga, 2019: 35). Adapun nama HAMKA adalah singkatan dari nama beliau Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Fahrudin, 47). Ia adalah anak dari seorang tokoh terkenal yang bernama Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah yang juga dikenal sebagai Haji Rasul, seorang Ulama’ yang terkenal memiliki gerakan-gerakan Islam yang dikenal dengan Gerakan “Kaum Muda” (Zahroh: 34; Fahrudin: 47), dan juga dikenal sebagai pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau (Todanga, t.t.: 35). Haji Rasul juga seorang yang terpandang dan disegani karena telah menunaikan ibadah haji pada waktu itu (Zahroh: 34). B Buya HAMKA adalah seorang anak yang lahir dari seorang ibu Istri Haji Rasul yang bernama Safiyah.

Ketika Buya Hamka lahir pada zaman itu sedang terjadi pertentangan besar antara kaum tua dan kaum muda di sekitar tahun 1908, sehingga sejak kecil ia telah terbiasa mendengarkan perdebatan luar biasa antara kaum muda dan kaum tua yang membahas masalah cara pemahaman di dalam agama (Zahroh, t.t.: 34). Buya Hamka remaja pergi ke kota Istimewa Yogyakarta. Di sana ia tidak menyia-nyiakan waktunya selama di Jawa dengan cara mencari banyak pengetahuan dan pengalaman seperti berorganisasi. Ia belajar pergerakan dengan cara terjun langsung ke politik Islam seperti Perserikatan Muhammadiyah dan Syarikat Islam Hindia Timur. Selama di Jawa ia juga sempat mengunjungi guru yang sekaligus iparnya bernama Sutan Mansur. Ketika Buya Hamka ke sana, Sutan Mansur sedang menjabat sebagai ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Pada sekitar tahun 1925 Buya Hamka kembali ke Padang Panjang yang tak lama kemudian disusul oleh iparnya dalam rangka mendirikan Tabligh Muhammadiyah di sana. Setelah acara tabligh itu, Buya Hamka menjadi pengiring Sutan Mansur dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah. Kemudian sekitar tahun 1927 ia sempat berangkat ke Makkah dan tinggal sekitar tujuh bulan. Selama di Makkah, ia sempat bekerja di percetakan yang ada di sana (Zahroh, t.t.: 34-35).

Sekitar tahun 1928, Buya Hamka dijodohkan dengan Siti Raham binti Raja Endah, oleh pamannya yang bernama Haji Yusuf. Pernikahan keduanya dilaksanakan pada tahun berikutnya, pada 5 April 1929. Setelah menikah Buya Hamka tetap produktif dan berkat pernikahan itu, beliau bisa lebih menjaga pandangan, dan merasakan hikmah yang luar biasa dari pernikahan tersebut, sehingga setelah menikah beliau tetap aktif dalam organisasi Muhammadiyah, terlebih di Muhammadiyah cabang Padang Panjang.   Di tempat itu, ia disibukkan untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau. Kemudian beliau ditugaskan menjadi seorang juru dakwah di Sulawesi Selatan. Pada saat Hamka menginjak usia ke-23 tahun ia dikaruniai seorang anak setelah dua tahun lamanya menikah. Kemudian Buya Hamka kembali lagi ke kampung halamannya di Padang Panjang (Zahroh, t.t.: 35).

Memasuki tahun 1936, tepatnya pada 22 Januari 1936, Buya Hamka pindah ke Medan. Ia mendapat tawaran pekerjaan dari Muhammad Rasami dan Haji Asbiran Ya’kub untuk menjadi pemimpin majalah “Pedoman Masyarakat” dan terlibat aktif secara langsung ke dalam organisasi “Muhammadiyah Sumatra Timur”. Majalah yang dipimpin Buya Hamka berkembang sangat pesat di lingkungan masyarakat. Akan tetapi, ketika pemerintahan Jepang datang,  majalah itu diberedel. Jepang bahkan melarang pengibaran bendera merah putih, dan mengawasi aktivitas masyarakat dengan ketat. Di samping pekerjaanya di Pedoman Masyarakat, Buya Hamka juga menerbitkan lain seperti majalah Semangat Islam, tetapi majalah itu tidak bisa setenar Pedoman Masyarakat.

Pada 1944, pemerintah pendudukan Jepang pada mengangkat Buya Hamka sebagai anggota Syu Sangi Kai atau Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukan itu Buya Hamka menjadi sosok yang dibenci sekaligus dikucilkan masyarakat Medan, sehingga menjadikan Hamka kembali ke kampung halaman di Padang Panjang (Zahroh, t.t.: 35-36).

Memasuki tahun 1950, Buya Hamka mulai bekerja sebagai pegawai Kementerian Agama golongan F. Ia ditugasi untuk mengajar atau menjadi dosen di beberapa kampus Islam, seperti Universitas Islam Jakarta, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, dan juga Universitas Islam Sumatra Utara. Selain bekerja sebagai pegawai Kementerian Agama, pada saat yang bersamaan Buya Hamka juga menjabat sebagai seorang anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia (Zahroh, t.t.: 36).

Pada acara sidang konstituante yang dilaksanakan di Bandung, Buya Hamka dalam pidatonya mengucapkan penolakan kepada gagasan Presiden Sukarno yang ingin memberlakukan bentuk sistem pemerintahan “Demokrasi Terpimpin”. Pada 1959, Buya Hamka menerbitkan sebuah majalah Panji Masyarakat yang berisi tentang kebudayaan dan pengetahuan Islam. Akan tetapi, pada 17 Agustus 1960, majalah itu dilarang dan dihentikan pasca memuat karangan “Demokrasi Kita” yang di dalamnya berisikan komentar kritis Mohammad Hatta terkait konsep demokrasi terpimpin dan tentang pelanggaran konstitusi yang telah dilakukan Presiden Sukarno. Kemudian pada 1962, Buya Hamka menerbitkan lagi majalah Gema Islam untuk menggantikan Panji Masyarakat (Zahroh, t.t.: 36).

Tahun 1964, Buya Hamka ditangkap dan ditahan karena beliau dianggap melanggar undang-undang PenPres Anti-Subversif. Ia dibebaskan setelah berakhirnya Orde Lama pada tahun 1966. Setelah pemerintahan berpindah tangan ke Orde Baru (pemerintahan Soeharto), pada 1967 majalah Panji Masyarakat diterbitkan lagi dan ia ditunjuk untuk menjadi pemimpin umum majalah tersebut. Seluruh perkembangan ini membentuk pribadi Buya Hamka yang dicetak oleh bangkit dan berkembangnya pergerakan kaum muda di tanah Minangkabau dan keterlibatan serta peranannya di organisasi Muhammadiyah (Zahroh, t.t.: 36).

Pada  26 Juli 1975 (Melia, 2018: 57), Buya Hamka dilantik menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (Haryanto, t.t.: 2021). Ia menjabat sebagai ketua MUI Pusat dua kali berturut-turut, yaitu mulai dari tahun 1975 hingga tahun 1981. Belum selesai dari tugas amanah yang dia emban, beliau mengundurkan diri dari jabatannya karena memiliki perbedaan prinsip dengan pemerintah saat itu. Sekitar dua bulan setelah beliau mengundurkan diri dari jabatannya tersebut, ia jatuh sakit sehingga mengharuskannya untuk dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Setelah kira-kira seminggu dirawat, Buya Hamka meninggal dunia di usianya yang ke-73 tahun, tepatnya pada hari Jumat jam 10.41.08 tanggal 24 Juli 1981 M/22 Ramadhan 1401 H (Zahroh, t.t.: 37; Todanga, t.t.: 35; Sani, 2017: 13).

Dari segi pendidikan formal, Buya Hamka bisa dianggap tidak menjalani pendidikan tinggi. Pendidikannya secara otodidak dimulai di rumah. Ia mulai belajar al-Qur’an yang dibimbing kakaknya kandungnya. Memasuki tahun 1916 terdapat setidaknya tiga jenis sekolah di Padang Panjang, yaitu yang pertama ada Sekolah Government yang di dalamnya terdapat enam kelas, kemudian terdapat pula Sekolah Desa yang hanya memiliki tiga kelas dan Europese Lagere School yaitu sekolah khusus untuk anak pegawai yang berasal dari Belanda dan Indonesia. Pada awalnya, Buya Hamka akan didaftarkan ke Sekolah Government. Akan tetapi karena banyaknya orang-orang yang berminat untuk masuk ke Sekolah Government, dia akhirnya kehabisan kursi, dikarenakan kuotanya telah habis akhirnya masuklah Buya Hamka ke Sekolah Desa (Zahroh, t.t.: 37).

Ketika Buya Hamka pulang ke Padang Panjang, di tempat ayah beliau mengajar telah terjadi sebuah perubahan sekolah yang tempat pengajaran barunya menggunakan kelas dengan nama Madrasah Thawalib (Sumatra Thawalib). Akhirnya mengetahui hal tersebut Buya Hamka memutuskan keluar dari Sekolah Desa, dan masuk ke Thawalib. Jadi pada saat itu paginya Buya Hamka ke sekolah Diniyah dan lalu malamnya dia ke sekolah Thawalib. Ilmu yang dipelajari di sekolah Thawalib masih menggunakan kitab-kitab kuno klasik, dan model pengajarannya masih seperti halaqoh, tidak terdapat kursi maupun meja dan  semua murid duduk bersila. Model sistem pendidikan yang diterapkan di Sumatra Thawalib/Madrasah Thawalib masih menggunakan cara tradisional, yakni belum menggunakan kursi, meja, papan tulis, dan kapur. Materi atau kurikulum pendidikan yang diajarkan di dalamnya masih menggunakan pembelajaran klasik yaitu dengan mengkaji kitab-kitab kuning seperti mantiq, nahwu, shorof, fiqh, dan lain-lain (Zahroh, t.t.: 38).

Selain belajar di sekolah Thawalib dan Diniyah, Buya Hamka juga aktif mempelajari bahasa Inggris di malam hari. Namun, kursus bahasa Inggris tersebut sayangnya tidak dapat berlangsung dalam waktu lama dikarenakan guru yang mengajar beliau harus pindah ke Padang. Malam hari yang seharusnya beliau gunakan untuk kursus bahasa Inggris itu kemudian digunakan untuk membaca buku-buku milik Engku Zainuddin Labai yang sengaja disewa untuk belajar. Adapun buku-buku sewaan tadi membahas seputar buku-buku sastra, agama, dan filsafat dari Pythagoras, Plato, Aristoteles, dan lainnya. Dari beberapa guru yang mengajarnya, metode pengajaran Engku Zainuddin Labai-lah yang paling menarik baginya. Pendekatan ilmu yang diterapkan Engku Zainuddin Lubai bukan hanya sebatas mengajar tetapi juga mendidik (Zahroh, t.t.: 38).

Saat berumur sekitar 16 tahun, Buya Hamka remaja izin kepada ayahnya untuk pergi ke Jawa. Ia ingin mengunjungi rumah iparnya Sutan Mansur. Dalam perjalanan sebelum sampai ke rumah iparnya di Pekalongan, ia sempat singgah di Yogyakarta terlebih dahulu. Di Yogyakarta ia mempelajari kitab tafsir Baidhawi selama dua tahun kepada Ki Bagus Hadikusumo. Di samping itu, ia juga belajar tentang pergerakan Islam modern kepada sosok hebat seperti H.O.S. Tjokroaminoto, R.M. Soejopranoto, Ki Bagus Hadikusumo, dan H. Fakhruddin. Dari para tokoh hebat tadi Buya Hamka mengenal partai politik Islam dan organisasi Islam seperti Sarekat Islam dan Muhammadiyah.

Setelah Buya Hamka kembali lagi ke kampung halamannya, ia mendirikan sebuah kursus pidato di desanya untuk dia ajarkan kepada para pemuda di surau milik ayahnya. Akan tetapi, hal tersebut tidaklah berjalan dengan mudah. Banyak muncul kecaman yang menghampirinya baik yang berasal dari ayahnya sendiri ataupun dari orang lain, bahwa ia hanya sekedar pandai berpidato saja. Namun di sisi lain, ilmu tata bahasa (nahwu dan shorof) dalam pidato yang disampaikan banyak salah. Ia juga dianggap tidak memiliki bekal ilmu yang memadai. Karena hal tersebut, Buya Hamka akhirnya memutuskan pergi belajar ke Makkah (Zahroh, t.t.: 39).

Pada saat umurnya memasuki 19 tahun, Buya Hamka pergi ke tanah Arab sendirian. Di Makkah, ia bekerja di sebuah percetakan yang dimiliki Tuan Majid, mertua Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Pekerjaan beliau adalah menyusun huruf-huruf ke dalam bahasa Melayu. Tempat percetakan tersebut juga memiliki gudang kitab sendiri. Jika kewajiban pekerjaan yang harus dia kerjakan telah dia selesaikan dengan baik, ia kemudian pergi ke gudang kitab yang ada di dekat tempatnya bekerja untuk membaca kitab-kitab yang ada di sana. Perlu diingat bahwa Buya Hamka sebenarnya pergi ke Makkah karena beliau ingin membuat ayahnya bangga. Ayahnya berharap Hamka dapat menjadi seorang ahli ilmu agama Islam, meskipun sebenarnya Hamka lebih berminat mempelajari buku-buku sastra dan politik daripada kitab-kitab klasik agama Islam (Zahroh, t.t.: 39).

Berdasarkan pengalaman ini, Buya Hamka adalah sosok yang meski  tidak memiliki latar belakang sekolah formal tinggi, tetapi adalah seorang yang sangat alim dan menguasai banyak ilmu. Bukti pengakuan keilmuan dan perannya di dunia pendidikan membawanya untuk mendapatkan gelar Ustaziyah Fakhiriyah (Doktor Honoris Causa) dari Majelis Tinggi Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir pada 1959. Sejak saat mendapatkan gelar inilah kemudian nama beliau menjadi bergelar “Dr (Doktor)” (Zahroh, t.t.: 40).

Karya

Sebagai alim ulama yang menguasai banyak ilmu, Buya Hamka memiliki banyak karya yang membahas banyak hal, mulai dari politik, agama, filsafat, tasawuf, roman, dan lainnya. Diantara kitab-kitab/buku-buku yang berhasil adalah sebagai berikut (Melia, t.t.: 54-58):

  • Khathibul Ummah
  • Si Sabariyah
  • Agama dan Perempuan
  • Pembela Islam
  • Adat Minangkabau
  • Agama Islam (buku-buku disita polisi)
  • Kepentingan Tabligh
  • Ayat-ayat Mi’raj
  • Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
  • Di bawah lindungan Ka’bah
  • Merantau ke Deli
  • Terusir
  • Keadilan Ilahi.
  • Dalam hal ini agama dan Filsafat ialah Tasawuf Modern
  • Falsafah Hidup
  • Lembaga Hidup
  • Lembaga Budi
  • Pedoman Muballigh Islam.
  • Semangat Islam Dan Sejarah Islam Di Sumatera
  • Revolusi Pikiran
  • Revolusi Agama
  • Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi
  • Negara Islam
  • Sesudah Naskah Renville
  • Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman
  • Dari Lembah Cita-Cita
  • Merdeka
  • Islam dan Demokrasi
  • Di Lambung Ombak Masyarakat
  • Menunggu Beduk Berbunyi.
  • Empat Bulan di Amerika
  • Mandi Cahaya di tanah Suci
  • Di Tepi Sungai Dajlah
  • Di Tepi Sungai Nil
  • Urat Tunggang Pancasila
  • Riwayat Perjalanan Ke Negeri-Negeri Islam
  • Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad
  • Ayahku
  • Kenang-Kenangan Hidup
  • Pelajaran Agama Islam
  • Sejarah Hidup Jamaluddin al-Afghany
  • Pandangan Hidup Muslim
  • Sejarah Ummat Islam
  • Soal Jawab (tentang agama Islam)
  • Do’a-Do’a Rasullah
  • Kedudukan Perempuan dalam Islam
  • Muhammadiyah di Minangkabau, dst.


Buya Hamka memiliki banyak peran ketika dia bergabung sebagai anggota Muhammadiyah. Sejak remaja sudah pergi ke Jawa untuk berkunjung ke rumah iparnya, Sutan Mansur, dan ditengah-tengah perjalanan ia memutuskan untuk mampir dan menetap sementara untuk belajar kepada H.O.S. Tjokroaminoto, R.M. Soejopranoto, Ki Bagus Hadikusumo, dan H. Fakhruddin di Yogyakarta. Di tempat itu, ia belajar banyak tentang pergerakan Islam dan menjadi anggota Syarikat Islam Hindia Timur (Zahroh, t.t.: 39). Kemudian, setelah Buya Hamka tinggal di rumah iparnyadi sana ia juga banyak belajar kepada iparnya yang menjabat sebagai ketua cabang Muhammadiyah di Pekalongan (Zahroh, t.t.: 39; Isnaeni, 2021. https://historia.id/agama/articles/buya-hamka-di-bawah-panji-muhammadiyah-PRgn9/page/2, diakses 6 November 2021).

Buya Hamka selalu menyertai Sutan Mansur di dalam berdakwah, terutama dalam lingkup Muhammadiyah. Ia membantu dan menemani Sutan Mansur mendirikan Muhammadiyah Pagar Alam, Sumatera Selatan. Buya Hamka sempat menjadi wakil ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang di mana pada saat itu yang menjadi ketua adalah Syekh Jalaluddin Rajo Endah IV Angkat. Sepulang dari Makkah disekitar tahun 1928, ia dilantik menjadi ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang dan sekaligus memimpin sekolah Tabligh School di Padang Panjang, bahkan cara mengajarnya beliau yang dilakukan setiap selasa malam memiliki banyak pengikut karena dianggap baru dan berbeda dari biasanya (Isnaeni, 2021. https://historia.id/agama/articles/buya-hamka-di-bawah-panji-muhammadiyah-PRgn9/page/2, diakses 6 November 2021).

Pada Kongres Muhammadiyah ke-19 (1930 M) di Bukittinggi, pidato Hamka tentang Agama Islam dalam Adat Minangkabau menjadikan hadirin menitikan air mata ketika menyampaikan perkembangan Muhammadiyah di Sumatera. Kemudian pada 1934 ia diangkat menjadi anggota majelis konsul Muhammadiyah di Sumatera Tengah. Pasca H.R. Mohammad Said meninggal setelah kongres ke-28 (1939) di Medan, Buya Hamka menjadi konsul Muhammadiyah Sumatra Timur. Kemudian pada tahun 1946 sampai 1949, Buya Hamka menjadi ketua majelis pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Pada Kongres Muhammadiyah ke-31 (1950 M), Buya Hamka ikut andil di dalam menyusun Anggaran Dasar dan rumusan Kepribadian Muhammadiyah. Sejak kongres yang diadakan di Purwokerto (Kongres ke-32) tahun 1953, Buya Hamka selalu terpilih ke dalam jajaran pimpinan pusat Muhammadiyah sampai ketika beliau mengundurkan diri pada tahun 1971 (Isnaeni, 2021. https://historia.id/agama/articles/buya-hamka-di-bawah-panji-muhammadiyah-PRgn9/page/2 diakses 6 November 2021).

Penulis: Martina Safitry
Instansi: UIN Raden Mas Said Surakarta
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Aditia, Rafinita. “Pribadi Hebat dalam Pandangan Hamka: (Analisis Wacana Dakwah Bil Qolam Dalam Buku Pribadi Hebat).” Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu, Skripsi S-1, 2020.

Fahrudin, Wildan. “Pemikiran Buya Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar tentang Ummah.” Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, Skripsi S-1, 2021.

Haryanto, Alexander. “Biografi Singkat Buya Hamka: Sejarah, Latar Pendidikan & Pemikiran.” Diakses 6 November 2021. https://tirto.id/biografi-singkat-buya-hamka-sejarah-latar-pendidikan-pemikiran-gaxL.

Hidayat, Usep Taufik. “Tafsir Al-azhar : Menyelami Kedalaman Tasawuf Hamka.” Buletin Al-Turas 21, no. 1 (28 Januari 2015): 49–76. http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/al-turats/article/download/3826/2803.

Isnaeni, Hendri F. “Buya Hamka di Bawah Panji Muhammadiyah.” Diakses 6 November 2021. https://historia.id/agama/articles/buya-hamka-di-bawah-panji-muhammadiyah-PRgn9/page/2.

Kurniawan, M Agung. “Pandangan Hamka Terhadap Urgensi Pendidikan Islam dalam Kehidupan Manusia.” Universitas Islam Negeri (UIN)Raden Intan Lampung, Skripsi S-1, 2018.

Melia, Nelly. “Kebahagiaan Dalam Perspektif Tasawuf: Analisis Perbandingan antara Al-Ghazali Dan Buya Hamka).” Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu, Skripsi S-1, 2018.

Pratami, Hidayah. “Karakteristik Dakwah Buya Hamka.” Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro, Skripsi S-1, 2020.

Sani, Akbar. “Konsep Buya Hamka Dalam Pembinaan Akhlak (Perspektif Pemikiran Tasawuf Buya Hamka).” Universitas Muhammadiyah Makassar, Skripsi S-1, 2017.

Todanga, Sukmawati. “Pemurnian Tasawuf Menurut Pandangan Hamka.” Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, Skripsi S-1, 2019.

Yusuf, Burhanuddin. “Mengungkit Batang Terpendam: Khazanah Pemikiran Buya Hamka dalam Pendidikan.” Jurnal Hamka: Studi Agama Islam dan Kebudayaan 01, no. 01 (2021): 10–18.

Zahroh, Septiana Umi. “Konsep Pendidikan Islam Perspektif Buya Hamka.” Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, Skripsi S-1, 2021.