Hoesein Djajadiningrat
Prof. Dr. Pangeran Aria Hoesein Djajadiningrat adalah salah seorang guru besar sejarah di Indonesia. Beliau dikenal sebagai seorang yang ahli mengenai keislaman (Islamologi). Lahir di Serang, Banten, pada 8 Desember 1886, dan meninggal di Jakarta, 12 November 1960, pada usia 73 tahun. Ia merupakan anak dari R. Bagus Jayawinata/R. Bagoes Djajawinata, wedana Kramatwatu dan Bupati Serang kelahiran Pandeglang, dan ibunya Ratu Salehah, berasal dari Cipete, Serang (Sajad, dkk. 2016:1456).
Sebagai putra bupati, Hoesein Djajadiningrat memulai pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS) Serang dan kemudian di Kok en van Diggelen di Batavia. Ia kemudian bertemu dengan seseorang yang sangat penting dalam hidupnya, yaitu Snouck Hurgronje. Pada tahun 1899, Hoesein Djajadiningrat lulus sekolah dan melanjutkan ke sekolah Hogere Burger School (HBS) Salemba. HBS adalah salah satu sekolah yang sangat diidamkan oleh anak-anak bangsawan pribumi pada masa kolonial ketika itu. Namun, bersamaan dengan itu, ayahnya, R. Bagoes Djajawinata wafat. Pada saat itu, Hoesein Djajadiningrat menjadi anak angkat Snouck Hurgronje yang juga merupakan sahabat karib ayahnya. Snouck adalah orang yang berperan penting dalam mendukung pendidikan Hoesein. Ia menulis surat kepada kakak Hoesein agar adiknya dapat melanjutkan pendidikannya ke Leiden, Belanda. Pada tahun 1904, Hoesein lulus sekolah dan berangkat ke Belanda dan berhasil menyelesaikan kuliahnya selama lima tahun di Leiden (Wildan, 2012: 14; Sajad dkk., 2016: 1456).
Hoesein Djajadiningrat menjadi orang Indonesia yang pertama kali meneliti karya sastra sejarah, dan pada tahun 1913 berhasil mempertahankan disertasi doktor dengan predikat yudisium cum laude di Rijk Universiteit Leiden dengan judul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten; Bijdrage ter Kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving (Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten; Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa). Kajiannya menjadi pembuka jalan ke arah suatu tinjauan yang lebih baik tentang Sejarah Jawa dan penulisan Sejarah Jawa (Wildan, 2012: 14). Disertasinya ini membuka jalan bagi penelitiannya tentang historiografi Indonesia. Sebagai hasilnya, ia pun dikenal sebagai “Bapak Metodologi Penelitian Sejarah Indonesia”. Ia merupakan orang pertama yang memperoleh gelar doktor dan guru besar pribumi di Indonesia pada masa kolonial. Hal tersebut dapat dilacak dari berita majalah berbahasa dan beraksara Jawa, yaitu Majalah Kajawen edisi 37 tanggal 7 Mei 1938, halaman 570 (Sajad dkk., 2016: 1456).
Hoesein Djajadiningrat juga sangat banyak menulis tentang Islam di Indonesia, seperti De Naam van den eerste Mohammedaansche vorst in West Java (1993), Critischoversich van de Maleische weken vervatte gegevens van het Sultanat van Atjeh (1911), dan Critische beschouwing van de Sadjarah Banten (1913). Dalam pandangannya mengenai sejarah daerah kelahirannya, yaitu Banten, ia mengkritisi naskah-naskah tradisional mengenai Sejarah Kesultanan Banten, terutama dalam naskah Sadjarah Banten. Beliau mencoba mencari kebenaran dari Sejarah Banten melalui naskah tradisional tersebut. Menurutnya, isi dari Sejarah Banten dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu: 1) Bagian pertama yang berisi bermacam-macam tradisi yang tidak ada sangkut pautnya satu dengan yang lain, dan tidak ada hubungannya dengan Sejarah Banten itu sendiri, dan 2) Bagian kedua yang membicarakan Sejarah Banten, dimulai dengan kedatangan Hasanuddin dan ayahnya, Sunan Gunung Jati, di Banten.
Hoesein Djajadiningrat juga berperan sebagai pembina dalam Perkumpulan Sekar Rukun (Perkoempoelan Sekar Roekoen), didirikan pada 26 Oktober 1919 di Batavia dengan nama “Perkumpulan Sekar Rukun cabang Betawi” (Hoofdbestuur, 1922). Dalam perkembangan organisasi tersebut, beberapa tokoh Sunda ikut terlibat dalam mengembangkan Perkumpulan Sekar Rukun. Dalam menjalankan organisasinya, Perkumpulan Sekar Rukun menerbitkan surat kabar Sekar Roekoen pada Januari 1922. Hoesein Djajadiningrat memfokuskan dirinya bersama dengan Iwa Kusumasumantri pada bidang pendidikan. Adapun fokus pendidikan yang dicita-citakan oleh Perkumpulan Sekar Rukun adalah pendidikan umum dan pendidikan wanita (Ar Razy, 2021: 161-163). Selain itu, ia pun juga menerbitkan Pusaka Sunda, majalah berbahasa Sunda yang membahas tentang Kebudayaan Sunda. Pada tahun yang sama, ia juga mendirikan Java Instituut. Sejak 1921, ia menjadi direktur majalah Djawa yang diterbitkan oleh lembaga tersebut bersama Raden Ngabehi Purbacaraka/Poerbatjaraka.
Pada tahun 1924, ia diangkat menjadi guru besar di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta) dan memberikan kuliah tentang Hukum Islam serta bahasa Jawa, Melayu, dan Sunda. Ia kemudian diangkat menjadi anggota Dewan Hindia pada 1935 dan 1941. Selain itu, dalam jangka waktu yang panjang ia juga pernah menjadi konservator naskah (manuskrip) di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perkumpulan Masyarakat Pecinta Seni dan Ilmu Pengetahuan). Pada awalnya Husein Djajadiningrat hanya sebagai anggota direksi, kemudian sejak 1936 menjadi ketuanya (Sajad dkk., 2016: 1457). Pada 1935, ketika Hoesein Djajadiningrat menjadi ketua Java Instituut, yaitu suatu badan yang kegiatannya berfokus pada pengkajian serta pelestarian kebudayaan Jawa, salah satu bentuk kepedulian tersebut dibuktikan dengan dibangunnya sebuah Museum Negeri Sanabudaya yang terletak di Alun-alun Utara, Keraton Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. (Nurhayati dkk., 2018:15)
Di penghujung masa Hindia Belanda, tepatnya pada 1940, Hoesein Djajadiningrat menjabat sebagai Direktur Pengajaran Agama. Pada masa Pendudukan Jepang, ia menjadi direktur Lembaga Urusan Agama (Shumubu), lembaga yang bertransformasi pada masa kemerdekaan Republik Indonesia menjadi Departemen Agama (Ali, 2009: 146). Setelah era kemerdekaan Indonesia pada 1948, ia kemudian diangkat menjadi Menteri Pengajaran, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan pada masa pemerintahan presiden Sukarno. Selanjutnya, Husein Djajadiningrat menjadi Guru Besar (Profesor) di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, pada 1952. Setelah itu, beberapa tahun kemudian pada 1957, ia menjadi pemimpin umum Lembaga Bahasa dan Aturan sejak dahulu kala istiadat/Lembaga Bahasa dan Budaya (LBB), merangkap sebagai bagian dari anggota Komisi Istilah di lembaga tersebut. Beliau kemudian wafat pada umur 73 tahun, tepatnya pada 12 November 1960 di Jakarta.
Penulis: Ida Liana Tanjung
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Sajad, Abdullah dkk (ed). 2016. Ensiklopedia Pemuka Agama Nusantara. Jakarta: Kepala Bidang Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Ali, Mufti. 2009. Misionarisme di Banten. Serang: Laboratorium Bantenologi.
Djajadiningrat, Achmad. 1996. Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat. Jakarta: Paguyuban Keturunan P. A. Achmad Djajadiningrat.
Ar Razy, Mohammad Refi Omar. 2021. “Perkumpulan Sekar Rukun: Perjuangan Pemuda Sunda Masa Pergerakan Nasional (1919-1931)”. HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, 4 (2).
Nurhayati, Endang dkk. 2018. Dunia Manuskrip Jawa “Teori, Metode dan Aplikasinya dalam Praktik Pernaskahan Jawa”. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.
Wildan, Dadan. 2012. Sunan Gunung Jati “Petuah, Pengaruh dan Jejak-jejak Sang Wali di Tanah Jawa”. Tangerang Selatan: CV. Sapta Harapan.