Hubertus Johannes van Mook

From Ensiklopedia
Hubertus Johannes van Mook. Sumber: Nationaal Archief Nederlands. Kode Panggil - NL-HaNA 2.24.01.09 0 902-0279-groot

Hubertus Johannes van Mook merupakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir yang menjabat setelah Jepang menguasai Indonesia. Seorang Belanda kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 30 Mei 1894 tersebut lahir dari pasangan Matheus Adrianus Antonius van Mook dan Cornelia Rensina Bouwman. Ayahnya meninggalkan Belanda menuju Hindia Belanda tidak lama setelah menikah dengan ibunya pada tahun 1893. Selama di Hindia Belanda, ayah van Mook pernah menjabat sebagai inspektur atau penilik Sekolah Rakyat di Surabaya. Di kota inilah, van Mook menyelesaikan studinya di HBS (Hogere Burgerschool), Sekolah Menengah Atas yang sama seperti halnya Bung Karno. Van Mook merupakan seorang yang aktif dalam studi maupun dalam kegiatan umum di luar studinya. Setelah lulus dari HBS, Van Mook melanjutkan studinya ke negeri asalnya, Belanda. Ia mengambil jurusan Indologi di Universitas Leiden pada tahun 1916. Selama menjalani studi di Belanda, Can Mook pernah menjabat sebagai Ketua Perserikatan Pelajar-Mahasiswa Indonesia (Het Indonesische Verbond van Studeerenden), organisasi yang mewadahi pelajar-mahasiswa asal Indonesia dengan konsentrasi studi yang sama. Tujuan organisasi ini adalah untuk menjaga hubungan sebagian pelajar-mahasiswa Indonesia di Belanda (Swantoro, 2002: 266-267).

Selama menempuh studi dan menjadi ketua pada perserikatan mahasiswa Indonesia di Belanda, van Mook cukup dekat dengan kelompok mahasiswa Indonesia di sana. Hal tersebut dapat dilihat pada sikap van Mook dalam mendukung terlaksananya Kongres Mahasiswa Hindia (Indische Studenten Congres) pada tanggal 23 dan 24 November 1917 di Leiden. Kongres tersebut disebut-sebut sebagai “dua hari propaganda bagi penyatuan Mahasiswa Hindia dalam arti yang seluas-luasnya”. Dalam kongres ini dibicarakan mengenai kemungkinan untuk membangun Hindia. Gagasan tersebut menarik perhatian kaum muda disana, terbukti dengan dikirimkannya perwakilan-perwakilan dari beberapa perhimpunan mahasiswa di Belanda, yakni Perhimpunan Cina Chung Hwa Hui dan Perhimpunan Hindia masing-masing mengirimkan juru bicaranya, perhimpunan-perhimpunan mahasiswa dari Utrecht, Delft, Leiden, dan Wegeningen juga mengirimkan perwakilan pada kongres tersebut. Van Mook membuka kongres yang dihadiri oleh 200 orang peserta tersebut dengan seruan untuk bersama-sama ebagia membangun Hindia. Dalam kongres tersebut Van Mook membayangkan Hindia yang berdiri sendiri, tetapi saat itu waktunya dianggap belum tepat. Alasannya adalah karena jumlah kaum elite di Hindia masih terlalu kecil, sedangkan daerah-daerah di Hindia berbeda satu sama lain. Atas dasar itu, yang masuk akal menurut Van Mook adalah dengan mengembangkan secara perlahan pembentukan organ-organ demokrasi di tingkat ebag dan kemudian regional. Namun gagasan yang dikemukakan Van Mook ditentang oleh mahasiswa Indonesia dalam kongres yang menilai bahwa kedudukan negeri terjajah lebih rendah dari penjajah. Menerima itu, van Mook tidak memaksakan gagasannya (Poeze, 2008: 122).

Pada tahun 1918, van Mook berhasil menyelesaikan studinya di Belanda dan ebagia ke Hindia. Sekembalinya ke “tanah air”, Van Mook menempati beberapa jabatan di Hindia. Pada tahun-tahun awal sekembalinya dari Belanda, van Mook mendapat tugas sebagai inspektur yang mengurusi distribusi pangan di Semarang. Selanjutnya pada tahun 1921, van Mook diangkat menjadi penasihat urusan pertanahan di Yogyakarta. Kemudian pada tahun 1927 ia diangkat menjadi Asisten Residen Urusan Kepolisian di Batavia. Sekitar tahun 1930-an van Mook menduduki jabatan sebagai Ketua Departemen Urusan Ekonomi (Cribb, 1993: 240). Di awal tahun 1942 menjelang masuknya Jepang ke Indonesia, van Mook menjadi Letnan Gubernur-Jenderal dan berusaha mendapatkan dukungan militer dari Amerika Serikat untuk pengadaan persenjataan melawan Jepang, namun bantuan yang dinanti-nantikan terlambat ebagi, meskipun telah dibayar tunai. Saat Jepang mendarat di Jawa, Van Mook mengungsi ke Australia, sementara Gubernur-Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer tetap berada di Indonesia (Bataviadigital, 2021).

Pada saat Jepang mulai menduduki Indonesia pada tahun 1942, van Mook diangkat sebagai Gubernur Jenderal oleh pemerintah Hindia Belanda di pengasingan di dekat Brisbane, Australia (Bayly, 2010: 231). Pada tahun-tahun akhir Perang Pasifik, van Mook yang berada di Australia tetap menyandang pangkat Letnan Gubernur Jenderal meskipun secara de facto bertindak selaku Gubernur Jenderal karena Tjarda van Starkenborgh Stachouwer ditawan Jepang dan setelah dibebaskan diangkat menjadi Duta Besar Belanda di Perancis. Pangkat van Mook tetap Letnan Gubernur Jenderal tetapi secara de facto dia melakukan tugas sebagai Gubernur Jenderal. Dia menjabat dari tanggal 14 September 1944 sampai 1 November 1948 (Bataviadigital, 2021).

Kembali dari pengasingan di Australia pada tahun 1945, van Mook tidak mendapatkan sambutan baik oleh bangsa Indonesia. Van Mook ebagi bersama pasukan Belanda dan sekutu yang membuat kemarahan masyarakat yang melihat kedatangannya (NatGeo Indonesia, 2021). Kembalinya van Mook ke Indonesia bukan untuk kemerdekaan Indonesia, tetapi untuk menawarkan konsep pemerintahan liberal dengan tetap menjalin ebagian dengan Belanda dalam ekonomi dan politik karena Indonesia dianggap belum cukup kuat dalam hal ekonomi dan politik (Kahin, 2003: 107). Sementara itu di negeri Belanda, ia dianggap sebagai seorang yang radikal akibat pandangan objektifnya terhadap Hindia dan cenderung mendukung kemerdekaan Indonesia, meski hal tersebut berjalan dengan lambat dan bersyarat bagi sebagian besar nasionalis Indonesia (Kahin, 2003: 24).

Selama menjabat ada berbagai kebijakan kontroversial salah satunya ia mempunyai gagasan untuk mengajukan garis imajiner yang memisahkan wilayah Belanda dan Indonesia pada masa Revolusi Kemerdekaan. Garis batas itu diciptakan setelah Agresi Militer satu yang melanggar isi dari Perjanjian Renville (Kahin, 2003: 133). Garis van Mook ini bertujuan untuk membentuk masa depan Indonesia sebelum tercapainya persetujuan terakhir antara Indonesia dan Belanda bagi anggota KTN dari Amerika dan Australia maupun banyak kaum Republikan yang ingin melakukan berbagai perundingan. Terjadinya berbagai bentrokan kecil di garis van Mook juga menjadi tanggung jawab kedua belah pihak terutama sering terjadi di wilayah barat Surakarta. Van Mook menginginkan kemerdekaan terbatas Hindia Belanda. Hingga terjadinya pemberontakan Madiun 1948, van Mook ditugaskan menyelesaikannya sebelum ia melepas jabatannya. Hubertus Johannes van Mook menghabiskan sisa hidupnya bukan di negeri asalnya atau di negeri yang dicintai. Van Mook meninggal di L’Isle-sur-la-Sorgue, Perancis, pada tanggal 10 Mei 1965.

Penulis: Azrohal Hasan
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

Christopher Bayly: Tim Harper. (2007). Forgotten Wars: Freedom and Revolution in Southeast Asia. London: Penguin Books, Ltd.

https://bataviadigital.perpusnas.go.id/tokoh/?box=detail&id_record=72&npage=6&search_key=&search_val=&status_key=&dpage=1, diakses pada 29 Oktober 2021, pukul 21:50 WIB.

https://nationalgeographic.grid.id/read/132837443/hubertus-van-mook-dan-garis-demarkasinya-di-indonesia-tahun-1948?page=all, diakses pada 29 Oktober 2021, pukul 22:35 WIB.

Kahin, George McT. (2003). Southeast Asia: A Testament. London: RoutledgeCurzon.

Harry A. Poeze, Cornelis Dijk, Inge van der Meulen. (2008). Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia; KITLV-Jakarta.

Robert Cribb. (1993). Development Policy In The Early 20th Century. Selected Works.

Swantoro, P. (2002). Dari Buku Ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.