Indonesia Menggugat
Indonesia Menggugat merupakan pidato pembelaan yang disampaikan Ir. Sukarno dalam proses pengadilannya. Saat itu Ir. Sukarno dan ketiga pemimpin Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) didakwa tengah mempersiapkan sebuah pemberontakan bersenjata melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ketiga pemimpin PNI yang lain adalah Maskoen, Soepriadinata dan Gatot Mangkoepradja. Ir. Sukarno didakwa melanggar Pasal 169 serta pasal 161, 171, dan 153 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kesemua pasal adalah Haatzaai Artikelen atau pasal-pasal untuk mencegah penyebaran kebencian. Tuduhan bagi Sukarno adalah “mengambil bagian dalam sebuah organisasi yang bertujuan menjalankan kejahatan di samping… menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda yang telah ada…” (Adams 2017: 125).
Pidato pembelaan tersebut ditulisnya di dalam penjara Banceuy. Setelah disampaikan di Landraad atau Pengadilan Negeri di Bandung, pidato ini menyebarluas tidak hanya di Hindia Belanda, tapi juga hingga ke negeri Belanda. Pidato ini semakin memperkuat rasa kebangsaan di masyarakat Hindia Belanda saat itu. Muncullah banyak kritik dari para ahli hukum mengenai proses peradilan Ir. Sukarno dan para pemimpin PNI saat itu. Dakwaan ingin melakukan pemberontakan bersenjata dinilai tidak berdasar oleh banyak pihak. Hal ini memicu protes yang meluas di Hindia Belanda sehingga Gubernur Jenderal saat itu memotong hukuman Ir. Sukarno dari empat tahun menjadi dua tahun. Ia dibebaskan pada 31 Desember 1931.
Sebagai sebuah pidato pembelaan dan renungan intelektual, Indonesia Menggugat terdiri dari empat bagian dengan argumentasi yang terstruktur rapi, yaitu Imperialisme Tua dan Modern, Imperialisme di Indonesia, Pergerakan di Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia. Pada bagian pertama, Ir. Sukarno menjelaskan mengenai hubungan antara imperialisme moderen dengan kapitalisme. Ia juga menyatakan tidak ada bedanya antara imperialisme moderen dengan imperialisme tua. Imperialisme moderen tidak hanya terjadi pada bangsa kulit putih saja. Namun, bangsa kulit berwarna, seperti Jepang, juga tengah melakukan imperialisme seiring dengan berkembangnya negara tersebut.
Pada bagian kedua, Ir. Sukarno menuliskan bahwa imperialisme di Indonesia telah dimulai sejak masa Vereenigde Oost Compagnie (VOC) yang memaksakan monopoli perdagangan kepada masyarakat yang kemudian menjadi bangsa Indonesia. Setelahnya, kesejahteraan masyarakat makin menurun. Setelah VOC dibubarkan, penindasan imperialisme berlanjut dengan sistem Cultuur Stelsel atau Tanam Paksa. Buruknya kesejahteraan telah menghalangi kemajuan ekonomi dan sosial mereka. Ia juga menekankan bahwa lebih banyak ekspor Hindia Belanda dibandingkan impor telah membuktikan eksploitasi akan hasil alam Indonesia yang dibawa keluar dan dinikmati oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Pada bagian ketiga, Pergerakan di Indonesia, Ir. Sukarno menunjukan bahwa pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia adalah konsekuensi yang muncul atas penindasan yang dilakukan oleh imperialisme Belanda tersebut. Sebuah bangsa yang ditekan dan dieksloitasi pasti menginginkan kemerdekaannya. Para pemimpin pergerakan seperti dirinya “hanyalah menunjukkan jalan” agar “banjir itu bisa dengan sesempurna-sesempurnanya mencapai Lautan Keselamatan dan Lautan Kebesaran…” (Sukarno nd.: 61).
Di bagian terakhir, ia menuliskan mengenai Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berjuang untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Menurut Ir. Sukarno, kemerdekaan sebuah bangsa adalah kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin tanpa kekuasaan politik bagi rakyat jajahan. Sebagaimana kapitalisme dan imperialisme yang membakukan aturan-aturan kenegaraan untuk kepentingannya, gerakan kemerdekaan juga harus membuat aturan-aturan kenegaraan. Pembuatan aturan-aturan ini tidak mungkin tanpa kekuasaan politik. PNI berusaha merebut kemerdekaan dengan usaha sendiri (self help) melalui penyebaran pemikiran di surat kabar, koperasi-koperasi, serikat-serikat buruh, dan menuntut konsensi-konsensi yang lebih adil bagi rakyat jajahan. Ir. Sukarno menolak dakwaan bahwa perjuangan PNI menggunakan jalur kekerasan bersenjata. Ia menjadikan Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di Belanda sebagai contoh. Dalam bagian ini, ia juga menolak jika semua pergerakan kemerdekaan dianggap ingin melakukan pemberontakan bersenjata.
Penulis: Yerry Wirawan
Instansi: Universitas Sanata Dharma
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Adams, Cindy. (2019). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Yayasan Bung Karno dan Media Pressindo.
Soekarno. (nd). Indonesia Menggugat. Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia.