Gatot Mangkupraja
Gatot Mangkupraja adalah tokoh penting dalam proses pembentukan Pembela Tanah Air (PETA), organisasi militer bentuk Jepang.
Raden Gatot Mangkupraja lahir di Kampung Citamiang, Desa Panjunan Kabupaten Sumedang pada tanggal 15 Desember 1898. Beliau diketahui sebagai seorang anak dari seorang dokter terkenal di Priangan, yaitu Raden Mohamad Saleh Mangkupradja. Diketahui pula silsilahnya adalah seorang cucu dari Menak Galuh (Ciamis). Sang ayah adalah putra dari Raden H. Moehammad Tajib dan Nyimas Soewarta. Ketika Gatot lahir, sang ayah mengemban amanah untuk menjadi dokter pemerintah bagi para penduduk sipil dan militer. Pengabdian yang diselesaikan pada tahun 1910 tidak lantas menjadikan ayah Gatot menghentikan profesinya. Beliau diketahui membuka praktik kedokteran di Bandung (Mangkupradja, 1968: 106). Praktik yang dibuka tidak hanya mengandalkan obat-obatan farmasi, akan tetapi ditambahkan pula obat-obatan herbal. Melalui praktik tersebut, ayah Gatot mampu meningkatkan taraf hidup keluarganya hingga mampu menjalankan beberapa bisnis.
Pendidikan pertama Gatot Mangkupradja diawali pada tahun 1905 di Europeesche Lagere School (ELS) di Bandung. Pendidikan di sekolah tersebut pun diselesaikan di tahun 1913. Pada tahun yang sama Gatot kembali menempuh pendidikan Sekolah Dokter Jawa (STOVIA) di Jakarta. Tidak sampai tamat pendidikan di STOVIA, Gatot kembali menempuh pendidikan dengan mendaftarkan diri di Hoogere Burger School (HBS) di Bandung. Akan tetapi, kembali tidak sampai lulus. Meskipun dalam dua pendidikan yang ditempuh tidak sampai selesai, Gatot menjadi pribadi yang cukup banyak berkontribusi dalam aktivitas pergerakan nasional. Hal ini dibuktikan ketika di umur empat belas tahun, Gatot turut ambil bagian dalam berdirinya Paguyuban Pasundan (Lubis, 2003: 5).
Dalam perjalanannya, Gatot mulai bekerja di Perusahaan Kereta Api Negara. Namun, pekerjaan tersebut tidak berlangsung lama dan Gatot memilih untuk mengundurkan diri dengan alasan masalah keluarga. Ketika memutuskan untuk menetap di Bandung dengan mengandalkan penghasilan dari peninggalan bisnis sang ayah, Gatot memilih turut serta menjadi bagian dari Studi Klub Bandung. Melalui organisasi ini, Gatot bertemu dengan Sukarno muda. Mereka pun berkolaborasi dengan menjadi pendiri Perserikatan Nasional Indonesia yang pada tahun 1928 berubah nama menjadi Partai Nasional Indonesia. Gatot menjabat selaku sekretaris partai dan Sukarno menjadi ketua partai. Kegiatan politik mereka pun pada akhirnya sempat terhenti akibat tindakan penangkapan yang dilakukan polisi Belanda dan menjebloskannya ke penjara Banceuy. Gatot dijatuhi hukuman dua tahun penjara.
Dua tahun selepas keluar dari penjara, Gatot pergi ke Jepang untuk melakukan kegiatan perdagangan dan rekreasi yang dipimpin oleh wartawan Parada Harahap. Disana, beliau juga turut menghadiri Kongres Pan-Asia di Tokyo selaku perwakilan Indonesia. Di dalam kongres tersebut, Gatot menemui beberapa tokoh berpengaruh Jepang dan para pemimpin nasionalis Asia seperti Rash Behari Bose dari India dan Aguinaldo dari Filipina (Mangkupradja, 1968: 111-112). Melalui kongres tersebut, Gatot mendapatkan sebuah sudut pandang bahwa Jepang sangat bertekad untuk mewujudkan “Asia adalah untuk orang Asia”.
Sekembalinya dari Jepang, Gatot langsung melakukan kontak dengan warga negara Jepang yang berpengaruh di Bandung, Yogyakarta, Solo, Garut, dan Cianjur. Ketika lawatan keduanya ke Jepang pada tahun 1935, Gatot menjalankan tujuan rahasianya untuk membangun koneksi politik dengan orang Jepang dan melakukan perundingan dengan militer Jepang terkait persiapan perang dan skema untuk mencapai kemerdekaan Indonesia (Goto, 2003: 120-121). Usaha yang dilakukan Gatot nyatanya telah diketahui oleh penguasa kolonial dan mereka pun mengambil keputusan untuk mengawasi kegiatannya. Pada tahun yang sama pula, Gatot mengajak keluarganya untuk pindah dari Bandung menuju Cianjur (Mangkupradja, 1968: 112). Keputusan tersebut dilatarbelakangi pembukaan cabang apotek miliknya dan menghindari polisi politik yang selalu memata-matai kegiatannya.
Sikap yang ditunjukkan oleh Gatot terkait koneksinya dengan Jepang dapat dikatakan bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi Gatot memilih diam tentang kegiatan rahasianya; di sisi lain beliau menyatakan, ‘Saya harus memiliki banyak kenalan di kalangan militer Jepang sebab banyak sekali orang Jepang yang membuka toko di Jawa sebenarnya adalah para anggota militer’(Mangkupradja, 1968: 112). Memasuki masa pendudukan Jepang, Gatot sempat menjadi ketua lokal gerakan 3A yang dipimpin oleh Mr. Syamsuddin. Akan tetapi, gerakan tersebut tidak berlangsung lama dan dibubarkan oleh Jepang. Gatot mengklaim bahwa dirinya sempat membuat yang disebut surat darah. Surat ini dibuat sebagai bentuk respons terhadap artikel yang tertulis di surat kabar Tjahaja Bandung pada awal September 1943. Artikel tersebut menginformasikan bahwa Sutarjo Kartohadikusumo yang sedang dalam kunjungan ke Jepang telah menyatakan pendapatnya bahwasanya rakyat Indonesia khususnya kaum muda sangat menantikan hari ketika mereka diizinkan untuk mengangkat senjata dan pergi ke medan perang. Gatot pun membuat artikel singkat di surat kabar yang sama pada keesokan harinya sebagai bentuk respons atas berita tersebut. Respons dalam bentuk artikel tersebut nyatanya sebuah dalih. Mengapa demikian, sebab melalui pengakuan salah seorang perwira intelijen Jepang, pengajuan artikel yang nantinya berujung pada sebuah petisi ini telah diatur jauh-jauh hari sebelumnya. Pertemuan Gatot dengan beberapa tokoh militer Jepang (Letnan Satu Yanagawa Motoshige dan Kapten Maruzaki) untuk merumuskan petisi berbuah manis dengan diterimanya petisi tersebut oleh pemimpin tertinggi militer Jepang di Jakarta (Gunseikan). Melalui petisi inilah yang nantinya menjadi cikal bakal lahirnya PETA (Pembela Tanah Air) pada tanggal 3 Oktober 1943.
Diresmikannya PETA tak lepas dari janji yang pernah diberikan oleh P.M. Tojo untuk memberikan partisipasi politik bagi rakyat Indonesia. Dalam upaya memenangkan hati rakyat, penduduk diizinkan untuk membentuk kekuatan pertahanan mereka sendiri. Hal ini tentu disambut baik dan demi membangkitkan semangat rakyat, Beppan (Sambobu Takubetsu Han) di Jawa menunjuk orang Indonesia untuk mengajukan pembentukan kekuatan pertahanan. Menurut Yanagawa, Ia memilih Gatot sebab ia tahu persis bahwa Gatot telah memiliki pandangan terkait perlunya sebuah dinas wajib militer di Indonesia (Yanagawa, 1967: 129). Selain itu, petisi Gatot juga didukung oleh empat serangkai (Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansyur).
PETA pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi pasukan sukarelawan dengan tugas mempertahankan daerah-daerah yang dekat dengan tanah kelahiran prajurit masing-masing. Para perencana Jepang juga memiliki alasan sendiri terkait PETA. Mereka berencana untuk menggunakan PETA sebagai untuk pertahanan pantai. Apabila terjadi invasi sekutu, Tentara Jepang berusaha mundur ke kompleks pertahanan di Gunung Malabar. Keberadaan PETA juga dimanfaatkan sebagai penunda pengganggu invasi sekutu. Maka dari itu, PETA didistribusikan ke seluruh pulau dan diminta untuk tetap tinggal di wilayah asal mereka, di mana mereka memahami tentang medan (Morimoto, 1992: 631).
Pusat pelatihan tentara PETA pun dibuat di Bogor dan berbagai seruan-seruan untuk bergabung banyak dimuat di berbagai surat kabar. Hal ini pula yang nantinya berdampak dengan banyak dibangunnya sarana-sarana pelatihan bagi para kader PETA di berbagai daerah. Para tentara yang terlatih PETA nyatanya teruji dan menjadi tokoh-tokoh pendiri Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga akhirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Gatot tidak hanya terlibat dalam pembentukan PETA, dirinya juga ikut terlibat dalam berdirinya Barisan Pelopor (Suishintai) dan Hizbullah. Dalam memoarnya, berdirinya Hizbullah berawal dari keraguan atas Gatot untuk dapat memobilisasi pemuda Indonesia, khususnya mereka yang berlatar belakang pesantren dan madrasah (Mangkupradja, 1968: 127). Pasukan yang dikepalai oleh K.H. Achmad Sanusi memiliki cara sendiri dengan tidak melakukan saikerei pada saat pengibaran bendera Dai Nippon. Mereka cukup berteriak “Allahu Akbar” sebanyak tiga kali.
Ketika muncul tuduhan bahwa Gatot adalah seorang kolaborator dari segala pemberontakan PETA, Gatot pun secara tegas menepis tuduhan tersebut. Di dalam memoarnya beliau menulis,
“Faktanya, aksi pemberontakan yang dipimpin Alm. Soepriadi, Dr. Ismangil, Moeradi Soeparjono, Halim, Soenanto, Soedarmo dan lain-lain terjadi setelah PETA terbentuk. Begitu pula riwayat perjuangan perwira-perwira PETA di Purwakarta, Rengasdengklok, Sagalaherang, Pagaden, dan Pangkalan. Semua itu terjadi setelah ada PETA, bukan sebagai kejadian yang direncanakan sebelum dibentuknya PETA” (Mangkupradja, 1968: 125).
Terdapat dua hal menarik terkait hubungan Gatot dengan Jepang. Pertama, di dalam memoarnya, Gatot mengakui bahwa dirinya diberikan surat jalan oleh Yanagawa yang bertujuan agar memungkinkan dirinya dapat bepergian ke mana saja tanpa ada gangguan tentara Jepang (Mangkupradja, 1968: 113). Kedua, ketika pasukan Jepang tiba di tanah Nusantara, Gatot tidak hanya menyambut baik pasukan penjajah. Lebih daripada itu, diketahui Gatot mempersiapkan pesta penyambutan secara besar-besaran. Dilansir di dalam surat kabar Pandji Poestaka (15-9-1943:16), Gatot menyiapkan dan membagikan banyak bendera Jepang kecil kepada penduduk setempat untuk menyambut Angkatan Darat, demi memfasilitasi invasi Angkatan Darat Jepang. Melihat akan hal tersebut, tentara Belanda secara spontan panik dan memilih melarikan diri dari daerah tersebut. Kondisi yang dibuat seakan semuanya berjalan secara kebetulan nyatanya dapat dipatahkan dengan dua fakta tersebut.
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, Gatot yang kala itu menjadi pimpinan BKR ditahan oleh pihak sekutu di Pulau Onrust dengan tuduhan kejahatan perang dan kolaborator perang. Dirinya pun dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Namun, berkat campur tangan Sukarno, Gatot kembali bebas pasca perjanjian Linggarjati. Gatot yang kembali melibatkan diri di dalam PNI mengemban jabatan sebagai Sekjen PNI. Gatot pun memutuskan untuk keluar dari PNI di fase Pemilihan Umum tahun 1955 akhirnya bergabung dengan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang didirikan Kolonel A.H. Nasution, Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel Aziz Saleh. Di tahun 1962, Gatot menjabat sebagai anggota MPRS dan kariernya pun terhenti pasca peristiwa 30 September 1965 atas tuduhan bahwa dirinya berafiliasi dengan Sukarno dan PKI. Tiga tahun setelahnya, Gatot pun meninggal dunia pada 4 Oktober 1968 di Bandung.
Penulis: Satriono Priyo Utomo
Instansi: Overseas Research Assistant, National University Of Singapore
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Goto, Ken’ichi (2003) Tensions of empire; Japan and Southeast Asia in the Colonial and Post Colonial World. With an introduction by Paul H. Kratoska. Athens, OH: Ohio University Press. (Research in International Studies, Southeast Asian Series 108).
Lubis, Nina H (2003) Gatot Mangkoepradja (1898-1968). Bandung: Satya Historika.
Mangkupradja, Raden Gatot (1968) The Peta and My Relations with the Japanese: A Correction of Sukarno's Autobiography. Indonesia 5: 105-134
Morimoto, Takeshi (1992) Jawa boei giyugun shi (History of PETA). Tokyo: Ryukei Shosha.
Yanagawa, Motoshige (1967) Rikugun chohoin Yanagawa Chui (Army Intelligence Officer First-Lieutenant Yanagawa). Tokyo: Sankei Shinbunsha.