Indonesian Airways
Indonesian Airways adalah maskapai pertama Republik Indonesia yang mengoperasikan penerbangan sipil. Penerbangan komersial pertama yang dilakukan oleh Indonesia dilakukan pada 26 Januari 1949 dari Calcutta ke Rangoon menggunakan pesawat DC-3 versi militer C-47 Dakota. Maskapai Indonesian Airways didirikan untuk melayani penerbangan carter dan reguler di Burma (Myanmar). Pesawat ini merupakan hadiah rakyat Aceh kepada pemerintah Republik Indonesia dan diberi nama Seulawah yang berarti “gunung emas” dengan nomor registrasi RI-001 (Cut Zahrina 2010: 8).
Pembelian pesawat RI-001 Seulawah bermula dari pidato Presiden Sukarno tanggal 16 Juni 1948 bertempat di Aceh Hotel, Kutaraja. Presiden Sukarno berhasil menghimpun dana untuk pembelian pesawat Dakota. Dalam waktu 2 hari, telah terkumpul uang sejumlah 130.000 Straits Dollar (Mata Uang Malaya) dari masyarakat Aceh. Untuk pembelian Dakota, AURI menugaskan Opsir Udara Wiweko Supono sebagai ketua misi pembelian. Pada 1 Agustus 1948, Djuned Jusuf dan beberapa orang lainnya menyusul ke Singapura dengan membawa sejumlah uang dan 20 kilogram emas hasil pengumpulan dana Dakota (Hutabarat 1989: 22-23).
Setelah pembeliannya, Pesawat RI-001 pertama kali tiba di tanah air pada akhir Oktober 1948 di Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta. Pada awal penerbangannya, pesawat ini diberangkatkan dari Maguwo menuju Sumatera, Rangoon dan kembali lagi ke Maguwo pada 16 November 1948. Dua hari kemudian pada tanggal 18 hingga 26 November 1948, RI-001 Seulawah membawa Wakil Presiden RI Mohammad Hatta berkeliling Sumatera dan selanjutnya melakukan beberapa tugas penting (Cut Zahrina 2010: 9).
Tanggal 6 Desember 1948, pesawat itu meninggalkan Kutaraja menuju Calcutta untuk mendapatkan perawatan karena telah mencapai 50 jam terbang dengan membawa empat orang saudagar untuk menjalin hubungan dagang (Hutabarat 1989: 10). Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, maka RI-001 Seulawah untuk sementara tertahan di India. Karena situasi genting itu, Opsir Udara Sutarjo Sigit menghubungi Opsir Udara Wiweko Supono yang sedang berada di New Delhi untuk segera ke Calcutta untuk membicarakan tentang pemanfaatan RI-001 Seulawah. Mereka memutuskan untuk mengkaryakan RI-001 Seulawah sebagai modal usaha maskapai penerbangan sipil bernama Indonesian Airways (Tempo 1984: 999). Pada tahun 1949, permintaan untuk membentuk maskapai penerbagnan sipil diterima oleh pemerintah Burma dengan syarat mau membantu Burma untuk memadamkan pemberontakan dalam negerinya (Hutabarat 1989: 12).
RI-001 Seulawah kemudian berhasil berangkat ke Rangoon pada 26 Januari 1949 di bawah nama Indonesian Airways. Maskapai ini kemudian berkantor di rumah No. 30 Thamwee Road, Rangoon. Maskapai Indonesian Airways pun menjalankan usahanya dengan pembayaran tunai dari pemerintah Burma. Maskapai baru ini beroperasi dengan tiga pesawat Dakota dan 1 awak pesawat, mengangkut senjata, amunisi, bahan makanan dan logistik, melewati hutan belantara Burma, mengangkut para pejabat dan pasukan pemerintah Burma serta memeriksa dan mencoba lapangan-lapangan terbang yang baru (Hutabarat 1989: 13-14).
Indonesian Airways kemudian berhasil berkembang sangat pesat dan dalam waktu yang tidak lama, maskapai ini berhasil membeli satu armada baru yang diberi nomor registrasi RI-007 dan menyewa satu armada lagi yang diberi nomor registrasi RI-009. Selain itu, hasil yang didapat juga digunakan untuk membiayai beberapa perwakilan Republik Indonesia di luar negeri serta kadet-kadet AURI yang sedang belajar di India dan Filipina. Atas bantuan dari Jenderal Bo Ne Win, Kepala Angkatan Darat Burma, Indonesian Airways berhasil menyelundupkan senjata, amunisi dan peralatan komunikasi bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia di Aceh (SUBDISJARAH DISWATPERSAU 2004: 226-227).
Pada bulan Juni 1949, para awal pesawat RI 001 Seulawah berhasil mendarat di Pangkalan Udara Blang Bintang Aceh dan menyerahkan 150 buah pucuk senjata, amunisi dan alat komunikasi kepada pejuang republik. Setelah itu, RI 001 Seulawah kembali ke pangkalannya di Mingaladon, Rangoon. Keberhasilan penyelundupan yang pertama ini, mendorong aksi penyelundupan yang kedua. Penyelundupan kedua masih mengangkut amunisi dan mendarat dengan selamat di Pangkalan Udara Lhok Nga (SUBDISJARAH DISWATPERSAU 2004: 227).
Peran “Indonesian Airways” pun berakhir setelah disepakatinya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949 dan berdirinya Garuda Indonesia Airways (GIA) pada 31 Maret 1949. Indonesian Airways kemudian dilikuidasi dan semua kegiatan di Burma dihentikan. Seluruh awak dan pesawatnya pun baru bisa kembali ke Indonesia pada 1950. Setibanya di Indonesia, semua pesawat dan fungsinya dikembalikan kepada AURI ke dalam formasi Dinas Angkutan Udara Militer (Hutabarat 1989: 30).
Penulis: Muhamad Mulki Mulyadi Noor
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Hutabarat, Arifin (1989) Padamu Negeri: Perjalanan Garuda Indonesia. Jakarta: Ganesha PR.
Soewito, Dra. Irna H.N. Hadi dkk (2008) Awal Kegdirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.
SUBDISJARAH DISWATPERSAU (2004) Sejarah TNI angkatan Udara Jilid I (1945-1949) Indonesia: SUBDISJARAH DISWATPERSAU.
Tempo (1984) Apa & Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984. Jakarta: Grafiti Press.
Wasino dkk (2014) Sejarah Nasionalisasi Aset-Aset BUMN: Dari Perusahaan Kolonial Menuju Perusahaan Nasional. Jakarta: Kementerian Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia.
Zahrina, Cut (2010). Tugu Pesawat Maimun Saleh: Bukti Sejarah Penerbangan di Aceh. Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah Tradisional Banda Aceh.