Inlandsch Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid

From Ensiklopedia


Inlandsch Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Komite Bumiputera untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda), atau biasa dikenal dengan Komite Bumiputera, didirikan pada awal Juli 1919 oleh Tjipto Mangoenkoesoemo dan R.M. Soewardi Soerjaningrat. Tokoh yang disebut pertama sebagai ketua dan wakilnya adalah tokoh kedua. Anggotanya yaitu Abdul Muis dan A. Wignjadisastra. Tujuan komite ini adalah melancarkan kritik berasal dari rakyat terhadap kebijaksanaan pemerintah, menentang rencana pembentukan Dewan Kolonial, meminta supaya dibentuk parlemen Hindia yang representatif, dan menuntut kebebasan berpendapat di daerah jajahan (Surjomihardjo 1986: 56; Soeratman 1984: 40).

Pembentukan komite ini dipicu oleh rencana perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis (1813). Perayaan itu akan dilaksanakan pada bulan November 1913 oleh seluruh penduduk. Sumber biayanya diambil dari rakyat secara paksa. Ini adalah sebuah ironi, karena merayakan kemerdekaan satu negeri (Belanda) yang tidak ingin memberikan kemerdekaan kepada negeri lain (Indonesia) yang sedang dijajahnya.

Menyikapi rencana tersebut, Wakil Ketua Komite Bumiputera, Soewardi menulis sebuah artikel di De Express (19 Juli 1913) dengan judul “Als ik eens Nederlands was” (Andaikan aku seorang Belanda). Dia mengatakan bahwa “perayaan itu akan dengan bangga mengumumkan bahwa satu abad yang lalu [1813] Belanda berhasil membebaskan diri dari penindasan kekuasaan asing [Prancis], dan kemudian membangun diri mereka menjadi sebuah bangsa”. Ia menutup artikelnya dengan kalimat berikut: “Sesungguhnya jika saya seorang Belanda saya tidak akan pernah merayakan peringatan kemerdekaan di sebuah negeri yang sedang dijajah. Pertama saya akan memberikan rakyat yang masih kita jajah itu kemerdekaan mereka, dan kemudian merayakan kemerdekaan kita”. Ini merupakan artikel yang tajam dan provokatif yang pernah ditulis sampai waktu itu oleh seorang Indonesia. Artikel ini dianggap paling berbahaya oleh Belanda karena mengandung kesadaran nasional yang mendalam dari orang-orang Indonesia sebagai golongan rakyat yang masih berada di bawah dominasi asing (Scherer 1985: 93, 314-319).

Ketua Komite Bumiputera, Tjipto menulis juga satu artikel di De Expres (26 Juli) berjudul “Kracht of Vrees?” (Kekuatan atau Ketakutan?), lalu disusul oleh tulisan Soewardi lagi di De Expres (26 Juli) berjudul “Een voor Allen, maar ook Allen voor Een” (Satu untuk semua, tetapi juga semua untuk satu). Usaha dari kedua tokoh Komite Bumiputera itu sangat dipuji oleh Douwes Dekker, yang baru tiba di Indonesia dari Belanda, dengan menulis satu artikel di De Expres (18 Agustus) berjudul “Onze Helden; Tjipto Mangoenkoesoemo en R. M. Soewardi Soerjaningrat” (Pahlawan Kita; Tjipto Mangoenkoesoemo dan R. M. Soewardi Soerjaningrat) (Onze Verbanning 1913: 73-80).

Aksi Komite Bumiputera berhasil menggagalkan perayaan kemerdekaan Belanda di Indonesia. Tetapi karena aksi itu pula pada 18 Agustus 1913 pemerintah menjatuhkan hukuman buang kepada tiga tokoh tersebut: Soewardi ke Bangka, Tjipto ke Banda, dan Douwes Dekker ke Timor Kupang. Keputusan itu disertai ketetapan bahwa mereka bebas pergi keluar jajahan Belanda. Mereka memilih ke Belanda. Pada 6 September 1913, mereka meninggalkan Indonesia menuju Belanda. Setahun kemudian Tjipto diizinkan pulang ke tanah air karena sakit, kemudian Douwes Dekker pada 1918 dan Soewardi pada 1919 (Soeratman 1984: 45-48).

Penulis: Abd. Rahman Hamid
Instansi: Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

Onze Verbanning (1913) Onze Verbanniing E.F.E Doewes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemoe en R.M. Soewardi Soerjaningrat. Uitgave van “De Indier”.

Scherer, S.P. (1985) Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa awal abad XX. Jakarta: Sinar Harapan.

Soeratman, D. (1984) Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Surjomihardjo, A. (1986) Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Sinar Harapan.