Soewardi Soeryaningrat
Raden Mas Suwardi Suryaningrat, lebih dikenal Ki Hajar Dewantara, adalah tokoh pergerakan dan Bapak Pendidikan Indonesia. Terkait poin terakhir, pemikirannya tentang pendidikan telah diadopsi menjadi cikal bakal sistem pendidikan nasional Indonesia. Semboyan yang diciptakannya, “Tut Wuri Handayani”, menjadi slogan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sampai sekarang. Suwardi Suryaningrat sendiri diangkat menjadi Menteri Pendidikan (Pengajaran) pertama Republik Indonesia setelah kemerdekaan. Sebagai wujud penghargaan terhadap jasa-jasanya dalam bidang pendidikan, hari lahir Suwardi Suryaningrat tanggal 2 Mei telah ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional sejak 16 Desember 1959 melalui Keppres No. 316 Tahun 1959, yang diperingati setiap tahun.
Suwardi Suryaningrat dilahirkan di Pura Paku Alam Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Dia berasal dari keluarga bangsawan utama Paku Alam, karena ayahnya Kanjeng Pangeran Adipati Ario Suryaningrat adalah putra sulung Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam III yang merupakan keturunan Sultan Hamengkubuwono II. Ini berarti bahwa Suwardi Suryaningrat merupakan saudara laki-laki dari pahlawan nasional Suryopranoto. Kanjeng Pangeran Aryo Soerjaningrat merupakan pangeran Paku Alam yang merupakan calon pewaris tahta kerajaan. Akan tetapi, saat usianya memasuki 8 tahun dia mengalami musibah terserang penyakit mata yang menyebabkan kebutaan sehingga hak tahta tersebut hilang. Peristiwa ini menyebabkan kesempatan Suwardi dan saudara-saudaranya untuk menjadi pangeran ikut hilang (Shiraishi, 1990: 110; Soewito, 2019: 1).
Menjadi anak dari keturunan bangsawan Paku Alam memberi keuntungan tersendiri bagi Suwardi. Ia mendapat kesempatan sekolah di Europeesche Lagere School (ELS)–Sekolah Dasar Belanda tujuh tahun–tempat anak-anak kulit putih dan priayi bersekolah di Yogyakarta. Setelah tamat pada 1904, dia melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool (Sekolah Guru) di Yogyakarta. Tidak berapa lama setelah Suwardi mendaftar di Kweekschool, datang Dr. Wahidin Sudiro Husodo ke Pura Paku Alam dan menawarkan kesempatan untuk sekolah dengan beasiswa bagi putra-putra Paku Alam di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), yang sering disebut juga dengan Sekolah Dokter Jawa di Batavia. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Suwardi. Dia ikut program yang ditawarkan oleh Wahidin dan terdaftar sebagai mahasiswa di STOVIA sejak 1905. Akan tetapi, karena ada masalah dengan kesehatannya, Suwardi dikeluarkan dari STOVIA (Widodo, 2017: 145).
Meski demikian, Suwardi selama di STOVIA bergaul dengan para pemuda dari berbagai etnis yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Keadaan ini membuat wawasannya tentang kondisi di seluruh negeri semakin luas. Dia semakin memahami akibat buruk dari sistem kolonialisme terhadap rakyat di seluruh negeri. Adanya larangan bagi para pelajar dari Jawa dan Sumatra memakai pakaian Eropa (kecuali yang beragama Kristen) sangat menyinggung mereka. Akan tetapi, larangan ini tidak menjadi masalah bagi Suwardi, malah menjadi kebanggaan baginya, karena dia mendapat kesempatan memakai pakaian tradisional setiap hari. Pakaian ini nantinya menjadi pakaian kesehariannya sampai dia meninggal (Soewito, 2019: 4).
Setelah meninggalkan STOVIA, Suwardi bekerja sebagai analis pada laboratorium Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas. Dia hanya bertahan di tempat ini selama satu tahun dan setelah itu dia memutuskan keluar. Selanjutnya dia bekerja sebagai pembantu apoteker di Apotek Rathkamp, Malioboro, Yogyakarta tahun 1911. Sambil bekerja Suwardi mengikuti pelajaran yang berhubungan dengan pekerjaannya, karena dia mempunyai keinginan menjadi seorang apoteker yang ahli dalam meramu obat. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan dia juga aktif menjadi jurnalis (wartawan) di beberapa surat kabar. Aktivitas jurnalisme ini ternyata menyita banyak waktu Suwardi, sehingga dia kurang fokus dalam bekerja yang menyebabkan dia pernah salah dalam meramu obat. Akibatnya Suwardi dipecat dari pekerjaannya (Soewito, 2019: 7).
Suwardi mulai menyadari bahwa ketertarikannya pada bidang jurnalisme jauh lebih tinggi dari pekerjaan-pekerjaan yang pernah ditanganinya. Oleh karena itu, Suwardi kemudian memutuskan tetap berkecimpung dalam dunia jurnalisme. Bagi Suwardi jurnalistik merupakan perjuangan tempat dia dapat mencurahkan isi hatinya. Dia berkiprah di beberapa surat kabar dan majalah pada waktu itu. Dia aktif menulis pada Sediotomo, Midden Java, dan De Expres (Bandung), Oetoesan Hindia (Surabaya), Kaoem Moeda (Bandung), Tjahaja Timoer (Malang), dan Poesara. Melalui media inilah, dengan tulisannya yang komunikatif, halus, mengena, tetapi keras, Suwardi melakukan kritik sosial dan politik kepada pemerintah kolonial Belanda (Wiryopranoto, 2017: 10).
Surat kabar De Express memiliki arti tersendiri bagi karir dan perjuangan Suwardi. Dia bergabung dengan surat kabar itu karena diajak oleh Dr. E.F.E. Douwes Dekker tahun 1912 untuk bersama-sama mengasuh surat kabar harian tersebut. Tulisan pertamanya yang terbit di surat kabar itu berjudul “Kemerdekaan Indonesia”, dan tulisan itu sekaligus menunjukkan kenasionalisan Suwardi. Suwardi juga menerima tawaran dari H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan Cabang Serikat Islam (SI) di Bandung dan sekaligus menjadi ketuanya tahun 1912 (Widodo, 2017: 150-51).
Pengalaman sekolah di STOVIA yang siswanya berasal dari berbagai daerah telah membuka cakrawala Suwardi Suryaningrat tentang apa arti dari kesadaran nasional. Diskusi dengan teman-temannya semakin meyakinkan Suwardi tentang perlunya gerakan bersama untuk memperjuangkan nasib rakyat yang tidak menguntungan berada di bawah sistem kolonialisme. Pertemuannya dengan Douwes Dekker semakin memperkuat kesadaran tersebut. Saat Douwes Dekker mendirikan organisasi Indische Partij di Bandung pada 25 Desember 1912, Suwardi menyambut baik upaya itu dan dia sendiri ikut bergabung di dalamnya. Organisasi ini menjadi menarik baginya karena merupakan organisasi pertama di Indonesia yang mencantumkan program politik dalam anggaran dasarnya. Organisasi yang merupakan kelanjutan dari Indische Bond–organisasi campuran Eurasia dan Eropa yang didirikan tahun 1898–ini semakin kuat setelah mendapat dukungan dari Tjipto Mangunkusumo. Ketiga tokoh ini kemudian dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai” (Suhartono, 2001: 38).
Douwes Dekker melihat keganjilan-keganjilan dalam masyarakat kolonial, khususnya diskriminasi antara keturunan Belanda totok dengan golongan Indo. Dia kemudian memperluas pandangannya terhadap masyarakat Indonesia secara umum yang masih hidup dalam situasi kolonial. Oleh karena itu, Douwes Dekker berkesimpulan bahwa nasib golongan Indo tidak ditentukan oleh pemerintah kolonial, tetapi terletak pada bentuk kerjasama dengan penduduk Indonesia lainnya. Lebih jauh lagi, Suwardi berpendapat bahwa ia tidak mengenal supremasi Indo atas bumiputra. Dia malahan menghendaki hilangnya golongan Indo dengan jalan peleburan ke dalam masyarakat bumiputra (Poesponegoro, 1990: 185).
Propaganda-propaganda Indische Partij dilakukan melalui karangan-karangan di dalam Het Tijdschijft dan De Express, meliputi: pelaksanaan suatu program “Hindia” untuk setiap gerakan politik yang sehat dengan tujuan menghapuskan perhubungan kolonial dan menyadarkan golongan Indo dan penduduk bumiputra, bahwa masa depan mereka terancam oleh bahaya yang sama, yaitu bahaya eksploitasi kolonial. Propaganda ini mendapat sambutan luas di masyarakat. Propaganda juga dilakukan oleh Douwes Dekker dengan melakukan perjalanan keliling Pulau Jawa dari tanggal 15 September sampai dengan 3 Oktober 1912. Di Yogyakarta ia mendapat sambutan yang baik dari pengurus Budi Utomo. Redaktur-redaktur surat kabar Jawa Tengah di Semarang dan Cahaya Timur di Malang juga menyokong berdirinya Indische Partij. Dukungan juga diperoleh dari daerah-daerah lain di Jawa. Keberhasilan propaganda ini terbukti dengan didirikannya 30 cabang dengan anggota 7.300 orang yang sebagian besar golongan Indo, hanya 1.500 orang penduduk pribumi.
Indische Partij merupakan organisasi yang sangat tegas terkait kecintaan terhadap tanah air. Hal ini dapat dilihat dari tujuan yang terdapat dalam anggaran dasarnya yang dirumuskan dalam suatu permusyawaratan wakil-wakil daerah di Bandung pada 25 Desember 1912. “Tujuan Indische Partij ialah untuk membangunkan patriotisme semua “Indiers” terhadap tanah air, yang telah memberi lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerja sama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air “Hindia” dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka” (Poesponegoro, 1990: 186-187). Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Tjipto Mangunkusumo pemimpin Indische Partij berusaha menyadarkan rasa kebangsaan Hindia kepada rakyat dan mempersiapkan mereka menjadi bangsa yang bebas merdeka. Semangat ingin melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang telah tertanam dalam diri Tiga Serangkai ini terus ditanamkan ke dalam jiwa para pengikutnya. Semboyan Indische Partij, yang tertera pada lencananya, “Rawe-rawe rantas malang-malang putung” yang artinya “Dengan keteguhan iman, semua penghalang yang merintang akan musnah” menjadi sangat terkenal (Soewito, 2019:7).
Keberanian Indische Partij memperjuangkan hak-hak sosial-politik membuat pemerintah kolonial Belanda khawatir dan bersikap sangat tegas terhadap organisasi ini. Permohonan yang diajukan untuk mendapat pengakuan sebagai badan hukum kepada Gubernur Jenderal pada 4 Maret 1914 ditolak dengan alasan organisasi ini berdasarkan politik dan mengancam hendak merusak keamanan umum. Oleh karena itu Indische Partij menjadi organisasi terlarang, walaupun telah diadakan audiensi dengan Gubernur Jenderal dan diubah pasal 2 dari anggaran dasarnya (Poesponegoro, 1990: 188).
Kegagalan mendapatkan badan hukum dari pemerintah tidak menurunkan semangat perjuangan “Tiga Serangkai”. Mereka terus mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang tidak adil bagi rakyat. Dalam rangka memperingati ulang tahun ke-100 kemerdekaan Negeri Belanda dari penjajahan Perancis, yang jatuh pada tanggal 15 November 1913, pemerintah Belanda merencanakan peristiwa tersebut tidak hanya dirayakan oleh orang Belanda saja, tetapi penduduk pribumi. Mereka diharuskan merayakannya dengan memberi uang derma yang dipungut secara paksa. Perayaan tersebut mendapat tentangan keras dari para pemimpin Indische Partij, karena mereka merasa tidak ada alasan bagi masyarakat bumiputra untuk merayakan peristiwa tersebut. Dalam kaitan ini Douwes Dekker menulis karangan berjudul “Wij zullen niet mee”, yang artinya “Kami tidak akan turut”. Inti dari tulisan tersebut adalah Douwes Dekker memprotes agar pesta perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda diselenggarakan di tempat yang tertutup, tanpa mengikutsertakan masyarakat pribumi
Dalam kaitan dengan rencana pemerintah mengadakan perayaan tersebut, Tjipto Mangunkusumo mendirikan Inlandsche Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid atau Panitia Peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Negeri Belanda di Bandung pada bulan Juli 1913. Panitia yang disebut juga dengan Komite Bumiputra ini diketuai oleh Tjipto Mangunkusumo serta jabatan penulis dan bendahara dipegang oleh Suwardi Suryanigrat. Selain memprotes adanya pungutan derma untuk kepentingan perayaan kemerdekaan Belanda, Komite ini menanggapi persoalan didirikannya Koloniale Raad atau suatu “Dewan Kolonial”. Yang dipersoalkan adalah dari 29 orang anggotanya, yang bukan wakil orang Eropa hanya 8 orang, itupun 5 orang adalah bangsawan yang dipilih oleh pemerintah kolonial (Soewito, 2019: 12-13).
Komite Bumiputra selanjutnya mengumpulkan uang untuk mengirimkan telegram kepada Ratu Wilhelmina di Belanda yang berisi ucapan selamat merayakan pesta kemerdekaan. Selain itu, mereka menuntut agar dilakukan pencabutan Pasal 111 Reglement op het beleid der Regeering (R.R) yang melarang perkumpulan dan rapat berbau politik. Telegram juga memuat keinginan dibentuknya majelis perwakilan yang sejati dan ketegasan adanya kebebasan berpendapat di daerah jajahan. Suwardi Suryaningrat sebagai salah seorang pemimpin Komite menulis sebuah risalah yang berjudul “Als ik een Nederlander was…..” atau Seandainya Aku Seorang Belanda, yang isinya berupa sindiran tajam atas ketidakadilan di daerah jajahan. Tulisan yang membuat heboh dan membuat Suwardi terkenal ini diterbitkan oleh Komite Bumiputra dalam oplah mencapai 5.000 eksemplar. Oleh karena kegiatan Komite Bumiputra ini dipandang berbahaya, maka pada bulan Agustus 1913 Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat dijatuhi hukuman buang (Poesponegoro, 1990: 188-89).
Setelah ketiganya ditahan, pada 18 Agustus 1913 keluar Keputusan Pemerintah Hindia Belanda N0. 2a, Suwardi Suryaningrat dibuang ke Bangka, dr. Tjipto Mangunkusumo ke Banda Neira, dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker ke Timor Kupang. Namun, atas kesepakatan, mereka bertiga meminta supaya dibuang ke Negeri Belanda, dan permintaan mereka dikabulkan. Sebelum menjalani hukuman, Suwardi Suryaningrat ditawari dan dinasehati oleh Mr. Van Deventer agar bersedia menjadi guru Pemerintah Hindia Belanda di Bangka sehingga bebas dari hukuman pembuangan. Akan tetapi, tawaran tersebut ditolaknya, walaupun Dr. E.F.E. Douwes Dekker menyetujuinya. (Widodo, 2017: 153)
Masa pembuangan di Belanda digunakan Suwardi untuk mempelajari masalah-masalah pendidikan. Dengan modal itulah dia berhasil merumuskan pernyataan asas pendidikan nasional. Asas ini direalisasikannya pertama dalam Perguruan Taman Siswa, yang didirikannya pada tahun 1922 guna mendidik masyarakat bumiputra. Menurut pemikiran Suwardi, pendidikan adalah alat mobilisasi politik dan sekaligus sebagai alat untuk dapat menyejahterakan rakyat. Melalui pendidikan akan dihasilkan kepemimpinan anak bangsa yang akan memimpin rakyat dan mengajaknya memperoleh pendidikan yang merata, yang bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Cara merealisasi pemikiran tersebut dengan mengubah metode pengajaran kolonial, yaitu dari sistem pendidikan “perintah dan sanksi (hukuman)” ke pendidikan pamong. Pendidikan kolonial didasarkan pada diskriminasi rasial yang di dalamnya sudah terdapat pemahaman kepada anak-anak bumiputra yang menderita inferioritas. Kondisi seperti ini harus diubah, karena meskipun pemerintah kolonial sendiri menggunakan istilah santun “mengadabkan“ bumiputra tetapi dalam praktik cara-cara kolonial yang tidak manusiawi tetap berjalan (Wiryopranoto, 2017: 32-33).
Suwardi tidak pernah ragu menetapkan sistem dan model pendidikannya berbasis pada kebudayaan lokal-nasional. Dia hendak mengangkat model pendidikan pribumi untuk menghadapi sistem pendidikan kolonial, selanjutnya digerakkan secara serentak untuk mencapai kemerdekaan nasional. Ada empat strategi pendidikan menurut Suwardi, yaitu: Pertama: pendidikan adalah proses budaya untuk mendorong siswa agar memiliki jiwa merdeka dan mandiri; kedua: membentuk watak siswa agar berjiwa nasional, namun tetap membuka diri terhadap perkembangan internasional; ketiga: membangun pribadi siswa agar berjiwa pionir- pelopor; dan keempat: mendidik berarti mengembangkan potensi atau bakat yang menjadi kodrat alamnya masing-masing siswa (Widodo, 2017: 162-63).
Gagasan mendirikan sekolah atau pendidikan berasal dari sarasehan (diskusi) tiap hari Selasa-Kliwon). Peserta diskusi sangat prihatin (menderita batin) terhadap keadaan pendidikan kolonial yang materialistik, individualistik, dan intelektualistik, sehingga diperlukan lawan tanding, yaitu pendidikan yang humanis dan populis, yang memayu hayuning bawana (memelihara kedamaian dunia) (Wiryopranoto, 2017: 33).
Menurut Suwardi, pendidikan yang cocok untuk bangsa Timur adalah pendidikan yang humanis, kerakyatan, dan kebangsaan. Tiga hal inilah dasar jiwa Suwardi untuk mendidik bangsa dan mengarahkannya kepada politik pembebasan atau kemerdekaan. Pengalaman yang diperoleh dalam mendalami pendidikan yang humanis ini dilakukan dengan menggabungkan model sekolah Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India). Menurut Suwardi dua sistem pendidikan yang dilakukan dua tokoh pendidik ini sangat cocok untuk sistem pendidikan bumiputra. Dengan mengadaptasi dua sistem pendidikan tersebut, Suwardi menemukan istilah yang harus dipatuhi dan menjadi karakter, yaitu Patrap Guru, atau tingkah laku guru yang menjadi panutan murid-murid dan masyarakat. Perilaku guru dalam mendidik murid atau anak bangsa menjadi pegangan dan modal utama sehingga Suwardi menciptakan istilah yang kemudian sangat terkenal, yaitu: Ing ngarsa sung tulada (di muka memberi contoh); Ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita); dan Tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya) (Wiryopranoto, 2017: 33-3434).
Dengan pengalamannya bekerja sebagai guru di Perguruan “Adhidarma” milik kakaknya R.M. Suryapranoto, akhirnya pada 3 Juli 1922, Suwardi dan kawan-kawan mendirikan “Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa” di Jalan Tanjung, Pakualaman, Yogyakarta. Saat awal pembukaannya Perguruan Taman Siswa hanya membuka bagian Taman Anak atau Taman Lare, yaitu satuan pendidikan setingkat Taman Kanak-Kanak (Taman Indria). Dua tahun kemudian, tepatnya pada 7 Juli 1924 mereka mendirikan “Mulo Kweekshool” setingkat SMP dengan pendidikan guru selama 4 tahun sesudah pendidikan dasar. Selanjutnya pada tahun 1928 hampir 70 persen tamatan MULO Kweekshool dapat masuk Algemene Middelbare School (AMS), setingkat SMA Negeri. Dengan kesuksesannya itu bangsa Indonesia tergugah semangat dan makin tebal rasa harga dirinya (Widodo, 2017: 160-61).
Lahirnya Perguruan Nasional Taman Siswa mendapat sambutan luar biasa dari segala lapisan masyarakat. Setelah ditangani oleh pengurus yang bersifat kolektif kolegial yang disebut “Instituutraad” diperluas menjadi “Hoofdraad” (nama sekarang Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa), dan ditegaskan bahwa Perguruan Nasional Tamansiswa merupakan “badan wakaf merdeka”. Ratusan Perguruan Taman Siswa tumbuh di mana-mana dijiwai oleh semangat cinta tanah air. Suwardi Suryaningrat dengan Taman Siswanya terkenal di mana-mana.
Seiring dengan pesatnya perkembangan Taman Siswa, Suwardi sendiri mengalami transformasi. Saat usianya genap 40 tahun menurut tarikh Jawa (lima windu) yang jatuh pada 3 Februari 1928, Suwardi Suryaningrat berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Menurut Ki Utomo Darmadi, Hadjar berarti pendidik; Dewan berarti utusan; dan Tara berarti tak tertandingi. Jadi makna dari Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak pendidik utusan rakyat yang tak tertandingi menghadapi kolonialisme. Pergantian nama tersebut merupakan sublimasi misi hidup dari “Satriyo Pinandhito” menjadi “Pandhito Sinatriyo” (Satriyo yang sekaligus bersikap laku Pandhito–Pendidik, kemudian meningkat menjadi Pandhito–Pendidik yang secara simultan berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran–misi utama Satriyo). Sejak itu nama Ki Hajar Dewantara menjadi nama yang resmi dipakainya (Widodo, 2017: 161-62).
Menurut laporan pemerintah pada tahun 1930 perguruan ini telah memiliki 40 cabang, 3 diantaranya di Sumatra Timur dan 4 di Keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur, dengan jumlah murid 5.140 orang (Poesponegoro, 1990: 248). Perguruan Taman Siswa terus berkembang sampai ke Aceh yang merupakan wilayah paling jauh dari pusatnya di Yogyakarta. Pada 11 Juni 1932, cabang Taman Siswa pertama dibuka di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) oleh tokoh-tokoh muda terpelajar Aceh seperti Teuku Hasan Geulumpang Payong (ketua) dan Teuku Nyak Arief (wakil ketua). Selain di Kutaraja, Cabang Perguruan Taman Siswa juga dibuka di Meulaboh (Aceh Barat), Sabang, dan Jeunieb (Kabupaten Bireun) (Sufi, 1998:54-5).
Sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah Taman Siswa dan sekolah-sekolah swasta yang dikelola oleh organisasi-organisasi pergerakan, persemaian golongan nasionalis semakin meluas. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan pemerintah kolonial, karena apabila dibiarkan berkembangnya sekolah-sekolah swasta berarti memberi peluang kepada perluasan nasionalisme Indonesia yang secara tidak langsung akan menghancurkan kolonialisme. Menghadapi realitas seperti itu pemerintah kolonial tidak ada pilihan lain kecuali berusaha mencegahnya dengan mengeluarkan Undang-Undang Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonantie) pada tahun 1932. Bagi Taman Siswa, yang mempunyai prinsip pengembangan sekolah swasta, undang-undang tersebut akan sangat membatasi geraknya dan gerak perguruan swasta pada umumnya. Oleh karena itu, Ki Hajar Dewantara tampil paling depan memperjuangkan agar pemerintah mencabut undang-undang tersebut.
Perjuangan Ki Hajar Dewantara ini mendapat banyak dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Di Sumatra Barat, sekolah Kaum Muda menolak Undang-undang tersebut yang mengakibatkan pemerintah melakukan penggeledahan dan melarang para guru mengajar. Sementara itu Budi Utomo dan Pasundan akan menarik wakil-wakilnya dari Dewan Rakyat dan menutup sekolah-sekolah mereka, serta memberi bantuan kepada korban perlawanan. Di Yogyakarta diadakan rapat yang diikuti oleh perwakilan dari Budi Utomo, Perkumpulan Politik Katolik, buruh, dan lain-lain. Di Jember berdiri komite untuk membela perguruan Indonesia dan menentang undang-undang tersebut.
Perhatian yang dicurahkan oleh organisasi-organisasi pergerakan terhadap pencabutan Undang-Undang Sekolah Liar sangat besar, terbukti banyak organisasi yang menyatakan berdiri di belakang Ki Hajar Dewantara. Organisasi-organisasi tersebut adalah PSII, PNI Baru, Muhammadiyah, Budi Utomo, Partindo, Istri Sedar, dan Permi. Lahirnya persatuan dan kerjasama antar organisasi pergerakan yang menciptakan kekuatan tunggal ini akhirnya dapat menekan pemerintah kolonial terpaksa mencabut Undang-Undang Sekolah Liar pada tahun 1933 (Suhartono, 2001: 66-7).
Perjuangannya di bidang politik dan pendidikan inilah kemudian pemerintah Republik Indonesia mengapresiasi dengan melibatkannya dalam kabinet pemerintahan pasca proklamasi kemerdekaan, dia diangkat menjadi Menteri Pendidikan (Pengajaran) pertama RI (Wiryopranoto, 2017: 10-11). Setelah 37 tahun dia berkiprah memimpin dan mengasuh Perguruan Taman Siswa yang tersebar di seluruh Indonesia, Ki Hadjar Dewantara wafat pada tanggal 26 April 1959. Jenazahnya dimakamkan pada tanggal 29 April 1959 secara militer di makam Taman Wijaya Brata, Celeban, Yogyakarta, dengan Inspektur Upacara Kolonel Soeharto (Widodo, 2017: 169).
Atas jasa-jasanya tersebut, Ki Hadjar Dewantara telah dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Sukarno pada 28 November 1959 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Penulis: Mawardi
Instansi: Universitas Syiah Kuala
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho (1990) Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka.
Shiraishi, Takashi (1990) An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. Itacha and London: Cornel University Press.
Sufi (1998) Gerakan Nasionalisme di Aceh (1900-1942). Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
Suhartono (2001) Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1942. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soewito, Irna H.N. Hadi (2019) Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan. Jakarta: Balai Pustaka dan Kepustakaan Populer Gramedia.
Widido, R. Bambang (2017) “Biografi: Dari Suwardi Suryaningrat SamapiKi Hajar Dewantara” dalam Djoko Marihandono (Editor), Perjuangan Ki Hajar Dewantar: Dari Politik ke Pendidikan, Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Wiryopranoto, Suhartono (2017) “Gagasan Ki Hajar Dewantara dalam Bidang Politik” dalam Djoko Marihandono (Editor), Perjuangan Ki Hajar Dewantar: Dari Politik ke Pendidikan, Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.