John Lie
John Lie adalah tokoh pejuang revolusi dari kesatuan angkatan laut dan pahlawan nasional keturunan Tionghoa. Bernama lengkap John Lie Tjeng Tjoan, ia lahir di Kanaka, Manado, Sulawesi Utara, pada 9 Maret 1911 sebagai anak kedua dari delapan bersaudara dari pasangan Lie Kae Tae (ayah) dan Oei Tjeng Nie Nio (ibu). Ayahnya seorang pengusaha di bidang transportasi. Karena itu, dapat dikatakan John Lie terlahir di tengah keluarga yang berkecukupan. Pada usia tujuh tahun, ia mengawali pendidikan formalnya di Hollandsche Chineesche School (HCS). Belum sempat selesai di sekolah ini, pada 1920 ia dipindahkan ke Christelijke Hogere School (CHR) dan tamat pada 1927 (Muthakin, 2015: 69–71). Di samping pengetahuan umum, nilai-nilai nasrani yang didapatkan melalui pendidikan formal membentuk pribadi John Lie sebagai pemeluk agama yang taat (Nursam, 2008: 39–40). Masa kecil John Lie bukan hanya akrab dengan sungai, laut dan aktivitas bongkar-muat di pelabuhan Manado. Besar di lingkungan masyarakat pesisir juga membuat dirinya telah terbiasa dengan sifat-sifat yang egaliter, toleran dan terbuka terhadap dunia luar. Beberapa hal itulah yang mendasari sifat dan pemikiran John Lie di masa kemudian.
Pada suatu hari, dermaga pelabuhan Manado kedatangan sebuah kapal eskader milik Angkatan Laut Belanda. John Lie yang terkagum kemudian mengutarakan niat kepada kru kapal agar diberi izin menaikinya. Permintaannya tidak dikabulkan. Karena rasa penasaran, ia lalu nekat berenang ke laut dan menghampiri kapal tersebut seraya berkata, “Kelak saya ingin jadi Kapten, suatu saat akan pimpin kapal begini” (Noviandani, Swastika, dan Handayani, 2017: 232). Konon peristiwa ini mengilhami John Lie sehingga dirinya bercita-cita menjadi seorang pelaut.
Pada awal 1928, John Lie hijrah meninggalkan kampung halaman menuju Batavia. Di pusat pemerintahan Hindia Belanda ini ia memulai segalanya demi mewujudkan cita-citanya. Setelah bekerja sebagai buruh pelabuhan Tanjung Priok selama setahun, ia mengikuti kursus navigasi selama tiga bulan. Beberapa pengetahuan dasar dipelajarinya, seperti ilmu pelayaran, menjangka peta, navigasi dan semboyan, keselamatan dasar, pengetahuan dasar keselamatan hukum maritim, dan hukum internasional (Nursam, 2008: 54–55). Pada November 1929 perusahaan pelayaran KPM merekrut John Lie untuk dipekerjakan sebagai Klerk Muallim III (Muthakin, 2015: 72). Sejak itu hingga menjelang Perang Dunia II, ia lebih sering menghabiskan waktunya mengarungi lautan dari satu pulau ke pulau lain sehingga cukup mengenal seluk beluk wilayah perairan Kepulauan Nusantara.
John Lie memperoleh ilmu dan pengalaman yang berharga saat Perang Dunia II berlangsung. Hal ini berawal ketika posisi pemerintah kolonial Belanda mulai terpojok menghadapi serbuan tentara Jepang yang telah berlangsung sejak Januari 1942. Selain mengamankan orang Belanda militer dan sipil, pemerintah kolonial juga menghimbau agar kapal-kapal milik perusahaan Belanda, termasuk KPM, segera meninggalkan wilayah perairan Hindia Belanda. Dalam kondisi itu, Cilacap menjadi benteng terakhir sekaligus tempat evakuasi guna menghindari serbuan tentara Jepang. Pada 27 Februari 1942, sebanyak 23 kapal Belanda yang memuat para pengungsi berlayar meninggalkan pelabuhan Cilacap menuju Australia atau Kolombo (Zuhdi, 1994: 85). Kapal MV Tosari, kapal milik KPM di mana John Lie bekerja saat itu, juga ikut mengungsi dan pada akhirnya berlabuh di Khorramshahr (Iran). Di tempat ini, Kapal MV Tosari dan John Lie tergabung dalam Logistic Task Force Royal Navy yang bertindak melayani pasokan kapal-kapal sekutu selama Perang Dunia II berlangsung. Di barisan angkatan laut Inggris inilah John Lie mengikuti practice training guna mengasah kemampuannya, seperti pengenalan taktik perang laut, pengoperasian senjata, administrasi pengapalan, sistem komunikasi, pengenalan jenis kapal dan ranjau laut (Santosa, 2014: 143–44).
Mendengar Perang Dunia II berakhir dan Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, John Lie memutuskan pulang ke tanah air dan ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan bergabung di kesatuan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) sejak Juni 1946. Pangkat awalnya ialah Kelasi III dengan lokasi penugasan pertamanya di pelabuhan Cilacap. Ia sukses menjalankan beberapa misi penting saat itu, termasuk membersihkan pelabuhan dari ranjau laut dan mengajar nautika. Tidak butuh waktu lama, prestasi itu membuat M. Pardi, selaku kepala staf umum ALRI, memberi pangkat baru untuk John Lie, yakni Mayor Laut pada November 1946 (Muthakin, 2015: 92–93).
Nama John Lie mulai populer saat dirinya terlibat dalam operasi penyelundupan senjata dan berbagai keperluan Republik Indonesia lainnya. Hal ini berawal ketika pasokan senjata para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan mulai berkurang, baik karena kerusakan maupun minimnya onderdeel dan bengkel perbaikan senjata. Keadaan ini bertambah rumit akibat kebijakan blokade ekonomi yang diterapkan Belanda pasca Agresi Militer I pada Juli 1947. Salah satu cara agar perjuangan rakyat Indonesia dapat terus berlanjut ialah menyelundupkan senjata dan alat militer lain dari luar negeri, sekalipun saat itu Belanda mengklaim bahwa hubungan luar negeri Republik Indonesia harus melalui administrasi Belanda (Imran et al., 2012: 336–37). Menghadapi situasi itu, Kepala Urusan Pertahanan di Luar Negeri (Singapura) membeli tujuh unit kapal jenis speed boat pada September 1947. Kapal-kapal ini akan digunakan dalam operasi lintas laut militer guna memasok keperluan senjata para pejuang, terutama di Sumatra Utara dan Aceh. Setelah diadakan penyaringan personel untuk operasi, John Lie yang berada di Singapura sejak Juli 1947 terpilih menjadi komandan di salah satu kapal tersebut. Ia memberi julukan kapalnya The Outlaw meskipun terdaftar sebagai kapal milik RI dengan nama PPB 58 LB.
Pasca merekrut beberapa ABK John Lie pun mulai menjalani operasi pertamanya pada Oktober 1947. Misinya ialah menyelundupkan peralatan militer berupa senjata semi-otomatis, 1.000 pound peluru, dan perbekalan kapal dari Pulau Pisang ke Labuan Bilik. Ia bertolak dari Pulau Pisang pada pukul 04.00 dini hari. Setelah sempat kejar-kejaran dengan kapal Belanda di perairan Selat Malaka, ia baru mencapai perairan Labuan Bilik sekitar pukul 09.00 pagi. Ketika bersiap hendak melego jangkar, sebuah pesawat terbang milik patroli angkatan udara Belanda kemudian datang menghampiri dan memerintahkan kapal John Lie agar segera meninggalkan perairan Labuan Bilik. Namun, entah mengapa pesawat yang sudah siap menembak itu akhirnya pergi meninggalkan kapal. John Lie pun selamat dan berhasil mendarat di Labuan Bilik pada pukul 10.00 pagi. Muatan kapal kemudian dibongkar dan diserahkan ke Bupati Usman Effendi beserta Komandan Batalyon, Abu Samah (Muthakin, 2015: 99–100).
Dengan kapal The Outlaw, John Lie juga bertugas mengangkut hasil-hasil bumi ke luar negeri untuk kemudian dibarter atau dijual guna membeli persenjataan dan keperluan Republik Indonesia lainnya. Terkait hal ini, ia mengadakan kontak dengan jaringannya yang bertindak sebagai agen-agen di luar negeri.
Operasi John Lie memang tidak selalu berjalan mudah. Di tengah ketatnya blokade laut yang dilancarkan kapal patroli Belanda, ia masih harus berhadapan dengan kondisi perairan Selat Malaka yang sewaktu-waktu dapat berubah. Bahkan, John Lie pernah ditangkap saat memuat 18 drum minyak kelapa sawit meskipun pada akhirnya pengadilan Singapura membebaskan dirinya setelah dinyatakan tidak melanggar hukum. Tercatat tidak kurang dari 15 kali John Lie berhasil menjalankan misinya dalam operasi lintas laut militer (Noviandani, Swastika, dan Handayani, 2017: 236). Jangkauan operasi lintas laut militernya tersebar di beberapa tempat, mulai dari Malaka, Singapura, Phuket, Bangkok, Hongkong hingga Manila.
Kepiawaiannya menghadapi blokade laut Belanda sempat dimuat dalam Majalah Life, majalah terbitan Amerika Serikat, dengan judul “Guns- and Bibles- are Smuggled to Indonesia” yang terbit pada 26 Oktober 1949. Rubrik ini tidak hanya mewartakan lika-liku aksi penyelundupannya, namun juga menyiratkan kepribadian John Lie sebagai pemeluk kristiani yang taat karena kerap membawa Injil di setiap operasinya. Selain menyuplai persenjataan, John Lie pernah memasukkan radio transmitter melalui Tanjung Pura ke Aceh. Alat yang dikenal dengan Radio Rimba Raya ini menjadi sarana penting dalam mengobarkan semangat perjuangan serta menangkal berita bohong dari pihak Belanda yang disiarkan melalui Radio Medan dan Batavia (Alfian et al., 1982: 116).
Dapat dikatakan bahwa aktivitas penyelundupan senjata dan peralatan militer dari luar negeri, terutama Singapura dan Malaka, ke Sumatera atau Jawa melalui laut sejak awal 1946 hingga 1949, merupakan salah satu faktor penting sehingga perjuangan rakyat Indonesia dalam perang kemerdekaan tetap berlanjut. Pada medio 1948, misalnya, keseluruhan penyelundupan senjata dari luar negeri mampu menyediakan untuk 461.000 pasukan TNI (Imran et al., 2012: 339). Terkait hal itu, tentunya John Lie adalah salah satu sosok yang ikut berjasa.
Selain operasi penyelundupan, John Lie ikut terlibat dalam beberapa operasi penumpasan pemberontakan di Indonesia pada dasawarsa tahun 1950. Di antaranya ialah gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi. Dalam penumpasan pemberontakan RMS, misalnya, John Lie bertindak sebagai komandan kapal KRI Radjawali. Selain ikut memblokade perairan laut Ambon, ia juga memimpin pendaratan untuk penyerbuan Kota Ambon yang berhasil dikuasai tentara Indonesia pada 1 November 1950. Perlu diketahui, gerakan pemberontakan yang berlangsung pada 1950-an dibarengi aktivitas penyelundupan yang meningkat. Keuntungan perdagangan ekspor karet atau kopra dan menghindari pajak untuk pelaporan devisa adalah daya tarik utama para pelaku penyelundup (Dick, 2011: 49). “Perang melawan penyelundup hanya dapat dikalahkan oleh penyelundup”, demikian penuturan salah satu petinggi angkatan laut terkait alasan penunjukan John Lie sebagai komandan KRI Radjawali dalam operasi penumpasan gerakan RMS (De vrije pers, 27 Maret 1950).
Sepanjang karirnya di angkatan laut, John Lie tercatat pernah menduduki beberapa jabatan penting. Antara 1952 hingga 1954, umpamanya, ia menjabat sebagai Staf Kepala Operasi IV Markas Besar ALRI. Ia juga pernah menjabat posisi Kepala Dinas Angkutan dan Logistik ALRI (1953-1955). Usai mengikuti pendidikan di Defence Service Staff College, Wellington, India selama setahun, ia kemudian diangkat sebagai Kepala Inspektorat Pengangkatan Kerangka Kapal Wilayah Perairan Indonesia (1960-1966). Selama menduduki jabatan tersebut, John Lie sebenarnya terdaftar pula sebagai anggota DPR-Gotong Royong. Ia pensiun dari angkatan laut pada 1 Januari 1967 dengan pangkat terakhirnya yaitu Laksamana Muda (Muthakin, 2015: 125). Aktivitasnya kemudian lebih banyak diisi dalam bidang sosial dan kewirausahaan setelah tidak lagi aktif di dinas kemiliteran.
John Lie melepas masa lajang saat menjabat sebagai Komandan Komando Daerah Maritim Jakarta (1955-1957) dengan menikahi Margaretha Dharma Angkuw pada Mei 1956 (Indische courant voor Nederland, 9 Mei 1956). Ia juga mengganti namanya menjadi Jahja Daniel Dharma dengan adanya instruksi asimilasi terhadap etnis Tionghoa pada masa awal pemerintahan Orde Baru. John Lie meninggal dunia pada usia 77 tahun dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia telah memberi penghargaan Bintang Mahaputera Utama pada 10 November 1995 dan Bintang Mahaputra Adipradana serta gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada 9 November 2009. Hal ini menempatkan John Lie sebagai keturunan Tionghoa pertama yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Penulis: Syafaat Rahman Musyaqqat
Referensi
Alfian, T Ibrahim, Zakaria Ahmad, Muhammad Ibrahim, Rusdi Sufi, Nasruddin Sulaiman, dan M Isa Sulaiman. 1982. Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945-1949). Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
De vrije pers, 27 Maret 1950.
Dick, Howard. 2011. “Ekonomi Indonesia pada Tahun 1950an: Kurs Beraneka, Jaringan Bisnis serta Hubungan Pusat-Daerah.” In Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an. Pembongkaran Narasi Besar Integrasi Bangsa, 37–63. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia-KITLV Jakarta.
Imran, Amrin, Mohammad Iskandar, R. Z Leirissa, Susanto Zuhdi, dan G. Ambar Wulan Tulistyowati. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah/ 6, Perang dan Revolusi. Diedit oleh Mestika Zed dan Mukhlis. Paeni. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Indische courant voor Nederland, 9 Mei 1956.
Muthakin. 2015. Perjuangan Laksamana Muda John Lie dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1946-1966. Banten: Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin.
Noviandani, Ria, Kayan Swastika, dan Sri Handayani. 2017. “The role of admiral john lie in an effort to maintain and fill the independence of Indonesia in 1946-1947.” Jurnal Historica 1 (2): 227–38.
Nursam, M. 2008. Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie. Yogyakarta: Ombak.
Santosa, Iwan. 2014. Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara Sampai Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Zuhdi, Susanto. 1994. “Fungsi Militer Pelabuhan dan Kota Cilacap (1830-1942).” Jurnal Sejarah 5: 76–89.