Keibodan

From Ensiklopedia


Keibodan adalah barisan penjaga keamanan yang dibentuk pemerintah militer Jepang, bersamaan dengan Seinendan, pada 29 April 1943. Fungsi Keibodan pada dasarnya adalah sebagai barisan pembantu polisi yang bertugas dalam penjagaan lalu lintas dan pengamanan desa dengan menjaga gardu-gardu dan melakukan ronda malam (Poesponegoro dan Notosusanto 2008: 46). Dalam melaksanakan tugasnya mereka dipersenjatai dengan takeyari (bambu runcing) (Oktorino 2019: 23).

Sebagai suatu organisasi keamanan, Keibodan berada di bawah kontrol Departeman Kepolisian (Oktorino 2016: 228). Keberadaan Keibodan dimaksudkan untuk melenyapkan elemen-elemen anti-Jepang dari masyarakat, serta mencegah bahaya apa pun yang ditimbulkan oleh musuh. Keibodan secara langsung ditujukan pada operasi-operasi masa perang. Di kemudian hari, ketika dibentuk organisasi-organisasi militer dan semi-militer, seperti Barisan Pelopor dan PETA untuk pertahanan tanah air, peran Keibodan bergeser lebih kepada peran-peran ekonomi. Di samping peran sebelumnya yang menyangkut keamanan, kewajiban penting Keibodan ialah membantu pemerintah dalam menjaga dan mengawasi agar tidak ada pelanggaran peraturan ekonomi, seperti penggeledahan padi yang disembunyikan, penyitaan komoditas terlarang dan lain-lain (Kurasawa 2015: 388).

Anggota Keibodan secara umum terdiri dari pemuda-pemuda yang berusia 20-35 tahun (kemudian diubah menjadi 26-35 tahun). Namun, kenyataannya rentang usia tersebut berbeda-beda menurut daerahnya. Mereka yang lebih tua dari 35 tahun kadang-kadang juga direkrut karena kurangnya tenaga (Kurasawa 2015: 387). Secara fisik, yang dapat diterima sebagai anggota Keibodan ialah semua laki-laki dari setiap ku (desa), yang dinyatakan berbadan sehat, kuat, dan berkelakuan baik (Poesponegoro dan Notosusanto 2008: 46). Anggota-anggota Keibodan biasanya dilatih secara teratur sekitar dua kali seminggu. Sebagian besar yang diusulkan sebagai instruktur latihan adalah guru sekolah dan guru agama. Latihan secara teratur terdiri dari latihan semi kemiliteran dengan menggunakan pentungan dan bambu runcing, baris-berbaris, serta taiso (gerak badan). Di beberapa daerah para anggota Keibodan  juga diajari bahasa Jepang (Kurasawa 2015: 388).

Unit dasar Keibodan dibentuk pada tingkat desa dengan kepala desa sebagai komandannya. Pada tingkat pedukuhan terdapat sebuah subdivisi yang disebut han, dikepalai oleh kepala dukuh. Dalam kegiatan sehari-hari han berfungsi sebagai unit yang lebih aktif. Keibodan desa diawasi oleh kepala kepolisian kecamatan. Apabila tidak terdapat pos kepolisian di tingkat kecamatan, mereka diawasi oleh soncho (kepala kecamatan). Menurut pengumuman resmi, unit-unit Keibodan pada tingkat desa terdiri dari 50 sampai 150 anggota (Kurasawa 2015: 387). Jumlah pemuda yang memasuki Keibodan melebihi jumlah Seinendan. Jumlahnya meliputi kira-kira lebih dari satu juta orang pemuda. Sebagian pemuda masuk Keibodan karena takut kepada Jepang dan pamong yang merekrut mereka secara paksa (Poesponegoro dan Notosusanto 2008: 46). Keibodan juga memiliki sebuah kesatuan non-pribumi yang disebut Kakyo Keibotai (Korps Kewaspadaan Peranakan Tionghoa), yang beranggotakan para pemuda Tionghoa. Selain itu, ada juga sebuah barisan pilihan yang dinamakan Tokubetsu Keibotai (Pasukan Pengawal Istimewa) (Oktorino 2019: 24).

Selain di Jawa, Keibodan dibentuk pula di Sumatera dan di daerah Indonesia lainnya yang berada di bawah kontrol Angkatan Laut Jepang. Di Sumatera, Keibodan dikenal dengan nama Bogodan, sementara di Kalimantan disebut Borneo Konan Hokokudan (Barisan Patriotik untuk Pembangunan Selatan). Tidak seperti di Jawa, di kedua zona pendudukan Jepang itu tidak terdapat suatu markas besar terpusat bagi barisan tersebut (Oktorino 2019: 24).

Penulis: Nazala Noor Maulany
Instansi: Universitas Islam Negeri Mataram
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A


Referensi

Kurasawa, Aiko (2015) Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. Depok: Komunitas Bambu.

Oktorino, Nino (2016) Di Bawah Matahari Terbit: Sejarah Pendudukan Jepang di Indonesia 1941-1945. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

-----------, Nino (2019) Nusantara Membara, Heiho: Barisan Pejuang Indonesia yang Terlupakan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho (2008) Sejarah nasional Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia, ±1942-1998. Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M.C. (2005) Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.