Komisi Visman
Komisi Visman dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda dengan tugas melakukan penyelidikan dan perumusan kebijakan mengenai perubahan atau pembaruan ketatanegaraan di Hindia Belanda. Komisi ini dibentuk pada 14 Desember 1940 dan diketuai oleh Dr. F. H. Visman. Nama lain dari Komisi Visman adalah Commissie tot Bestudeering van Staatsrechtelijke Hervormingen. Komisi Visman menjawab respons dari Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPI) tentang desakan pembentukan parlemen dengan mengubah Dewan Rakyat atau Volksraad melalui pemilihan anggota secara bebas yang mewakili semua golongan, serta evaluasi atas jabatan kepala departemen yang dilebur dalam jabatan kementerian (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1977: 199). Komisi Visman membuka diskusi mengenai bentuk dan susunan ketatanegaraan Indonesia yang diinginkan. Pembentukan komisi dengan tugas yang sama juga dilakukan Belanda untuk wilayah koloninya yang lain, seperti di Suriname dan Kepulauan Antillen (Poeze, et al. 2008: 361).
Di dalam Komisi Visman terdapat anggota yang merupakan tokoh pergerakan. Struktur organisasi dalam Komisi Visman ini terdiri atas Ketua yang dijabat oleh F. H. Visman, kemudian Sekretaris yang dijabat oleh A. G. Pringgodigdo, dan enam orang anggota yaitu Direktur Kehakiman dijabat oleh K. L. J. Endhove, Volksraad oleh T. G. S. G. Moelia, dua orang pada Raad van Indie yaitu Soepomo dan Wertheim (Latif 2015: 401; Mboi 2011: 467-468). Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Visman mengajak diskusi organisasi-organisasi pergerakan, termasuk organisasi perempuan, untuk membahas tentang struktur keanggotaan parlemen.
Menjelang akhir kekuasaan Belanda di Indonesia, Komisi Visman telah melaksanakan penyelidikan dan memberikan laporan sebelum pendudukan Jepang yang berisi tuntutan dan harapan masyarakat tentang sistem ketatanegaraan yang baik dan adil. Laporan komisi ini diserahkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan tercantum dalam Verslag ter Hervorming van Staatkundig dan Bestuur Beleid van Nederlands Indie. Berdasar laporan Komisi Visman, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer pada 1941 mengumumkan penyelenggaraan konferensi kerajaan mengenai perubahan struktur kerajaan. Komisi Visman menghasilkan simpulan bahwa sistem ketatanegaraan di Hindia Belanda pada masa mendatang dapat menempuh dua bentuk opsi, yaitu negara kesatuan yang terdesentralisasi atau negara federasi (Mboi 2011: 468). Hal itu dimaksudkan bahwa pada hakikatnya sistem pemerintahan kolonial terdiri atas dua bentuk pemerintahan, yaitu berdasar swapraja (zelf berturende landschap) dan pemerintahan daerah yang dibentuk akibat desentralisasi Pemerintahan Kolonial Belanda. Pokok-pokok pemikiran yang dihasilkan oleh Komisi Visman juga dimasukkan sebagai bagian dari naskah pidato Ratu Wilhelmina di London pada 1942, yang kemudian dikenal dengan istilah London Rede. Pidato Ratu di London itu menjanjikan kemerdekaan Indonesia sebagai negara federal persatuan dengan negara induknya yaitu Belanda.
Meskipun tugas Komisi Visman cukup strategis terhadap perubahan sistem ketatanegaraan Hindia Belanda pada masa mendatang, tetapi komisi ini sering kali diragukan komitmennya dalam mereformasi ketatanegaraan Indonesia. Salah satu pihak yang meragukan tugas Komisi Visman adalah GAPI yang menganggap telah terjadi kegagalan sehubungan dengan keikutsertaan Pemerintah Belanda dalam penandatanganan Piagam Atlantik dan juga pada isi pidato Ratu Wilhelmina dalam London Rede (Oktorino 2013: 17). Ditambah lagi dengan simpulan Komisi Visman yang menekankan bahwa ada keinginan masyarakat Indonesia untuk tetap bergabung dalam ikatan dengan Kerajaan Belanda (Muttaqin dan Iriana 2015: 47). Komisi Visman tampak sebagai bagian dari siasat untuk mengambil hati masyarakat Indonesia karena Belanda pada saat itu sedang mengalami kesulitan dalam Perang Dunia II. Meskipun demikian, komisi ini tidak diperbolehkan untuk menjanjikan kemerdekaan Indonesia secara penuh.
Penulis: Noor Naelil Masruroh
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A
Referensi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur. Jakarta Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Latif, Yudi (2015). Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mbooi, Ben (2011). Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Muttaqin, Fajriudin dan Wahyu Iriana (2015). Sejarah Pergerakan Nasional. Bandung: Penerbit Humaniora.
Oktorino, Nino (2013). Konflik Bersejarah: Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Poeze, Harry A. Dijk, Cornelis, van der Meulen, Inge (2008). Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.