Dipa Nusantara Aidit

From Ensiklopedia

Dipa Nusantara Aidit atau yang biasa dikenal dengan D.N. Aidit adalah tokoh pergerakan pemuda pada masa revolusi Indonesia dan ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), partai komunis terbesar di dunia yang tidak berkuasa pada dekade 1960-an. Selain itu, di bawah pemerintahan Sukarno, ia diangkat sebagai Menteri Koordinator dan juga wakil ketua Majelis Permusjawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Achmad merupakan nama kecil Aidit yang dilahirkan pada 30 Juli 1923 di sebuah rumah yang terletak di Jalan Belantu nomor 3, Pangkal Lalang, Tanjung Pandan, Belitung (Aidit, 2006). Menurut Kurniawan (2005: 21) nama “Aidit” sendiri berasal dari ayahnya yaitu Abdulah Aidit yang bekerja sebagai seorang pegawai boswezen (kehutanan), yang menjabat sebagai “mantri’. Aidit (2006: 34) menuturkan bahwa ibunya bernama Mailan yang merupakan anak dari Ki Agus H Abdul Rachman, seorang pembuka kampung yang bernama Batu Itam.

Abdullah adalah anak dari Haji Ismail, seorang nelayan yang cukup terpandang. Pernikahan Abdullah bersama Mailan memiliki empat anak yaitu Achmad Aidit, Basri Aidit, Ibrahim Aidit dan Murad Aidit. Abdullah kemudian menikah lagi dengan Marisah dan memiliki dua anak yang bernama Sobron Aidit dan Asahan Aidit (Aidit, tanpa tahun). Perpisahan antara Abdullah dan Mailan dikarenakan keduanya memiliki watak yang keras (Aidit, 2006: 38).

Sosok Aidit sendiri mewarisi watak keras dari kedua orangtuanya. Sebagai anak sulung, Aidit menjadi pelindung disaat adik-adiknya diganggu dan mendapat ancaman. Aidit adalah anak yang pandai bergaul, dia memiliki banyak teman bermain sehingga jarang berada di rumah. Dia sangat menyukai olahraga, seperti badminton, sepakbola, tinju dan yang paling disuka adalah angkat besi. Abdullah memberikan kebebasan anak-anaknya untuk bermain, dengan catatan tidak meninggalkan tugas dan pelajaran dari sekolah. Abdullah memasukan Aidit pada Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Tanjung Pandan (Aidit, 2006: 31).

Walaupun dididik di sekolah Belanda, Aidit tumbuh dan berkembang dalam kultur Melayu yang amat religius. Aidit kecil hidup dalam nuansa yang Islami. Hal ini dikarenakan latar belakang Abdullah yang dikenal sebagai tokoh pendidikan Islam dan juga pendiri Madrasah Nurul Islam di kampungnya. Setiap magrib, Aidit dan adik-adiknya sembahyang di musala. Selepas itu mengikuti pengajian sampai datangnya waktu sembahyang isya. Saat di mushola Aidit sering diminta untuk mengumandangkan azan karena suaranya dianggap jelas dan lafalnya jelas (Aidit, 2006: 42).

Menurut Thaib (1993: 147) salah satu keunggulan dari Aidit adalah memiliki pergaulan yang sangat luas. Selain itu, Aidit menuturkan (2003: 25) dia mampu bergaul dengan semua etnis dan lapisan sosial di Belitung. Dari anak tangsi sampai golongan Tionghoa adalah temannya. Aidit sering diajak pergi memancing ikan pada malam hari oleh ayah temannya yang merupakan anak seorang nelayan. Pengalamannya ini ditulis di buku harian. Dia mencatat tentang berapa jumlah hasil tangkapan nelayan dan ongkos yang dikeluarkan setiap perjalanan melaut. Aidit mencatat jerih payah nelayan yang tidak sebanding dengan upah yang didapat dalam menjual hasil tangkapannya di pasar. Selain bermain dengan anak seusianya, Aidit suka berkumpul dan bergaul dengan buruh timah di Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Billiton (GMP). Tempo (2010: 16) menjelaskan ada seorang teman seusianya yang menjadi buruh timah. Achmad kemudian menaruh simpati atas eksploitasi yang dirasakan oleh buruh. Setiap hari Aidit melihat buruh berlumur-lumpur, bermandi keringat dan hidup susah. Sedangkan meneer Belanda dan tuan-tuan dari Inggris hidup hura-hura.

Aidit mencoba memahami kondisi buruh dengan cara ikut masuk ke dalam kehidupannya. Para buruh mengenalnya sebagai teman bercerita dan pendengar yang baik. Pada saat dimana buruh sedang bekerja untuk membersihkan kebun pekarangan, Aidit ikut membantu menyapu, memacul, hingga membuat lubang untuk pohon pisang. Pada saat melakukan pekerjaan itu buruh biasanya menceritakan pengalaman bekerja di perusahaan timah kepada Aidit. Hingga buruh mengajak Aidit makan, entah singkong goreng ataupun buah-buahan, dalam keadaan santai ini buruh itu bercerita tentang keadaan sesungguhnya yang dia alami. Pergaulan Aidit dengan orang-orang tertindas inilah, menurut Murad yang menentukan jalan pikiran dan sikap politik Aidit dikemudian hari. Sejak kecil, Aidit merupakan orang yang mau tahu kehidupan rakyat dimanapun dia berada. Berbeda dengan adik-adiknya yang menganggap kondisi di masyarakat merupakan hal yang biasa saja dan lumrah terjadi (Aidit, 2006: 44).

Sekitar tahun 1936-1938 atas permintaanya sendiri pada Ayahnya, Aidit diantar pamannya ke Jakarta (Leclerc, 2011: 106). Di Jakarta Aidit tinggal cukup lama di daerah Cempaka Putih, rumah milik kawan Abdullah seorang mantri polisi yang bernama Marto. Abdullah bertekad menyekolahkan Aidit di sekolah pemerintah. Namun kandas karena setibanya Aidit di Jakarta, waktu pendaftaran MULO telah ditutup. Rasa cinta pada kegiatan berdagang yang pada akhirnya membawa Aidit menjatuhkan pilihannya untuk bersekolah di Middenstand Handel School (MHS) yang merupakan sebuah sekolah menengah dagang di Jakarta (Aidit, 2006: 44).

Di Jakarta, Aidit sangat cepat dalam beradaptasi. Dengan berbekal identitas kedaerahan, dia memiliki akses untuk bergaul dengan sesama anak muda yang berasal dari Sumatra. Dalam usia 16 tahun (1939) Aidit mulai masuk ke kancah aktivis pergerakan, awalnya hanya menjadi anggota, kemudian menjadi ketua dewan komisaris pimpinan pusat Persatuan Timur Muda (Pertimu) di Jakarta (Bintang Merah 9, 1953: 479). Organisasi inilah yang mempertemukan Aidit dengan barisan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), cabang pemuda di bawah organisasi nasionalis pra-kemerdekaan. Salah satu pimpinannya berasal dari sayap kiri yaitu Amir Syarifuddin.

Aidit memiliki banyak akses untuk berkomunikasi dengan tokoh-tokoh aktivis pergerakan, terutama yang berasal dari sayap kiri. Persentuhan Aidit dengan Gerindo didasari karena ketertarikannya dengan pandangan kaum kiri. Aidit memahami betul bahwa Marxis memiliki pengaruh yang besar pada organisasi-organisasi tingkat dunia, tapi sampai perang Jepang merebut kekuasaan Belanda meletus, Aidit tidak pernah bersentuhan langsung selain tahu samar-samar tentang gagasan Marxisme. Selama pendudukan Jepang inilah waktu dimana Aidit mulai mengenal lebih dalam ide-ide dari sayap kiri. Tidak seperti kebanyakan pemuda Indonesia yang lain, Aidit tidak begitu berminat dengan propaganda Jepang untuk mewujudkan sebuah “Asia Raya”. Sejak awal pendudukan Jepang, minat Aidit terhadap ide-ide Marxisme berkembang cepat dibawah gemblengan langsung M. Jusuf, pemimpin PKI setelah perang kemerdekaan. Aidit meminjam buku salinan Das Kapital berbahasa Belanda. Pada tahun 1943, Aidit memulai melibatkan dirinya bersama PKI ilegal (Mortimer, 2011: 26).

Menjadi aktivis pergerakan anti-fasis memiliki banyak resiko, baik bagi diri sendiri maupun keluarga. Murad bercerita bahwa Abdullah dan Aidit telah melakukan surat menyurat perihal pergantian nama kakaknya menjadi Dipo Nusantara atau Dipa Nusantara biasa disingkat D.N. dengan tetap mencantumkan nama Aidit di belakangnya (Aidit, 2006: 67). Senada dengan Murad, Sobron menjelaskan bahwa ayahnya tidak keberatan dan mengizinkan anak sulungnya itu menggunakan nama yang dipilihnya. Sobron sempat melihat surat Abdullah yang mengizinkan Aidit mengubah namanya. Menurut Sobron, bagi keluarga Aidit, nama menjadi hal yang penting. Ketika Aidit menjadi pimpinan PKI, kakaknya meminta Sobron untuk mempertimbangkan pencantuman nama Aidit di belakang namanya. Sebab nama itu akan berkonotasi PKI (Kurniawan, 2005: 21).

Di awal tahun 1948 terjadi proses kristalisasi dalam tubuh sayap kiri dengan dilakukannya perubahan menjadi serupa satu partai. Pada saat itulah Musso, de oude Heer, saudara seperjuangan Alimin pulang dari pengasingan. Ia telah melancarkan gagasan untuk mewujudkan partai kesatuan itu berdasarkan azas-azas partai komunis dengan program yang diberi disebut Jalan Baru untuk Republik Indonesia (Leclerc, 2011: 120). Musso yang datang bagaikan “juru selamat”, ia diterima dengan tangan terbuka. Dalam suasana frustasi dan keputusasaan, pimpinan komunis Indonesia mencari pemimpin baru. Musso adalah orangnya. Ia datang sebagai seorang peniup suling dalam cerita Grimms dan tokoh-tokoh lain (Amir Syarifuddin, Setiadjid, Soeripno, Maruto Darusman dan lain-lain) mengikutinya sebagai anak-anak yang patuh (Gie, 2005: 219). Usaha Musso untuk mengadakan reorganisasi PKI relatif mudah. Faktor senioritas, kepribadiannya yang keras, dan suasana deadlock PKI membantu usaha ini. Pada 27-28 Agustus diadakan Konferensi PKI dan pada 1 September diumumkan komposisi kepengurusan baru PKI dengan susunan Sekretaris Jenderal dipimpin oleh Musso, Maruto Darusman, Tang Ling Djie dan Ngadiman. Aidit secara penuh menjadi bagian dari CC PKI dengan posisi sebagai Sekretariat Buruh (Gie, 2005: 228).

Aidit merupakan kader yang sangat setuju adanya koreksi Musso dan bersedia menjalankannya untuk masa yang akan datang. Ia menganggap ide atau garis itu sangat sesuai dengan sikap perjuangan para pemuda yang tanpa mengenal kompromi dengan pihak Belanda. Bintang Merah giat mempropagandakan garis ini. Untuk lebih memantapkan garis yang dikemukakan Musso tersebut, PKI berencana untuk menggelar Kongres dengan meresmikan Jalan Baru untuk Republik Indonesia sebagai garis politik PKI (Aidit, 2006: 111). Namun demikian, hanya beberapa minggu saja setelah Aidit menempati posisi puncak kepemimpinan di partai. Ada sebuah peristiwa di Madiun, Jawa Timur. Peristiwa ini terjadi serangkaian konflik yang sangat serius antara unit-unit bersenjata yang berorientasi kepada PKI melawan unit-unit angkatan bersenjata Republik dan sekutu-sekutu lokalnya yang tidak begitu permanen. Saat itu pemerintah pusat menilai yang terjadi di Madiun adalah pemberontakan kaum komunis sehingga pemimpin tertinggi PKI kala itu, Musso, harus turun tangan memimpin anggota partai di Madiun untuk menyelesaikan konflik tersebut. Namun, upaya Musso gagal dan dalam beberapa minggu PKI kemudian dipukul mundur (Mortimer, 2011: 31).

Setelah peristiwa Madiun 1948, kondisi partai yang hancur lebur diselamatkan oleh sosok Aidit. Ketika kepemimpinan Aidit memenangkan kendali pada Januari 1951, dia mengambil alih sebuah partai kecil yang tidak terorganisir dengan baik yang masih menyimpan luka-luka setelah kegagalan pemberontakan Madiun. Bagian-bagian masyarakat Indonesia yang lebih sadar politik dan secara politis telah terbukti menentang partai mencari dukungan. Akibatnya, Aidit dipaksa mencari dukungan di antara massa kaum buruh, petani, dan kaum miskin “borjuasi kecil”, yang pada umumnya masih berada di luar proses politik. Untuk memenangkan dukungan massa, amat penting untuk menampilkan PKI sebagai gambaran yang menarik bagi masyarakat yang lebih miskin yang pada umumnya bersifat pasif, dan dapat diterima oleh kelompok-kelompok berkuasa non-komunis yang mengontrol cara-cara represi sehingga membuat organisasi komunis tidak dapat bekerja kembali. Citra yang ditampilkan PKI adalah patriotisme yang lincah, simpatik terhadap agama, damai dalam mengejar tujuannya, memikirkan masalah-masalah kecil yang secara sadar dirasakan oleh pendukung potensial, berlaku moderat, dan tidak menonjolkan diri sambil menunjukan sikap yang ramah terhadap kekuatan politik Indonesia lainnya. Dengan kekuatan citra ini ditambah keterampilan dan keuletan organisasi, PKI menjadi partai komunis terbesar yang tidak memerintah di dunia dan kekuatan politik non-komunis yang penting telah bekerja sama dengan PKI (Hindley, 1962: 925).

Kepemimpinan Aidit dalam memimpin PKI berbuah hasil yang manis. Pada 29 September 1955, lebih dari 39 juta orang Indonesia datang ke tempat pemungutan suara. Sebanyak 37.875.299 atau 87,65 persen dari 43.104.464 orang yang terdaftar sebagai pemilih setahun sebelumnya, memberikan suara sah. Hasil suara parlemen menunjukkan posisi pertama PNI 8.434.653, kedua Masyumi 7.903.886, ketiga NU 6.955.141 dan keempat PKI 6.179.914 (Feith, 1995: 84). PKI memperoleh suara terbesar kedua di Jawa Tengah setelah PNI dan di Jawa Timur menjadi partai terbesar kedua setelah NU (Sanit, 2000: 84).

Perolehan suara yang diperoleh PKI setelah peristiwa Madiun 1948 merupakan pencapaian yang luar biasa. Basis pemilih PKI berada di daerah-daerah yang dilanda kemiskinan ekstrem, pertanian yang amat mundur, dan tekanan penduduk. Di Jawa, pesisir selatan adalah daerah gersang dan tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan penduduknya akan beras. Kemenangan PKI juga didukung atas tradisi yang semakin luntur. Hal ini ditandai dengan hak milik tanah bersama makin hilang, jumlah petani tidak punya tanah semakin meningkat, dan diferensiasi yang makin besar dalam kehidupan ekonomi desa (Feith, 1995: 125).

Kegemilangan PKI di bawah pimpinan Aidit membuat sebuah kedekatan dengan Presiden Sukarno. Pada akhir tahun 1960, awal dan pertengahan tahun 1961, dan awal 1962, Presiden Sukarno lagi-lagi mengulangi usahanya memasukkan PKI ke dalam kabinet, kali ini dengan semboyan Nasakom, persatuan dari Nasionalis-Agama-Komunis. Agaknya Presiden Sukarno mempunyai kepentingan khusus untuk memberikan jabatan menteri keuangan kepada orang komunis. Mungkin saja dengan perhitungan agar kaum komunis ikut serta memikul beban kesalahan bidang ekonomi yang semakin merosot itu. Usaha Sukarno ini terus menerus ditentang pihak Angkatan Darat. Namun, pada bulan Maret 1962, Ketua PKI D.N. Aidit dan Wakil Ketua M.H. Lukman memperoleh status sebagai menteri kabinet. Mereka diikutsertakan dalam badan Musyawarah Pimpinan Negara yang baru saja dibentuk, bersama-sama presiden, Menteri Pertama Djuanda, delapan wakil Menteri Pertama, dan ketua serta wakil ketua dari empat lembaga tinggi negara (Feith, 1995: 45).

Masa keemasan PKI tidak berlangsung lama, tepatnya pada malam 30 September semua kenangan indah dan cita-cita PKI akan dunia tanpa penindasan sirna seketika. John Roosa menaruh analisisnya pada kemungkinan perebutan kekuasaan yang ada di Angkatan Darat menjelang 30 September 1965. Menurut John Roosa para pejabat tinggi AS dan perwira-perwira Indonesia sekutu mereka, sudah menyiapkan sebuah skenario yang berisi pokok-pokok alur kejadian sebagai berikut: menuding PKI melakukan percobaan kup, melancarkan represi besar-besaran terhadap PKI di seluruh negeri, tetap menggunakan Sukarno sebagai presiden boneka sambil merongrong kekuasaannya, dan membangun satu pemerintah baru yang dikuasai Angkatan Darat (Roosa, 2008: 273).

Namun kemudian PKI dengan cepat dinyatakan sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Gerakan 30 September (G30S). Pada 17 Oktober, Kolonel Sarwo Edhi menggerakkan pasukan komandonya (RPKAD) ke Jawa Tengah untuk melakukan “pembersihan”. Gerakan ini bukan saja melegitimasi protes terhadap PKI, tetapi juga pembunuhan terhadap orang komunis yang terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan juga Bali. Aidit ditangkap dan atas perintah umum Suharto dan kemudian dibunuh pada 22 November tanpa dikirim ke depan pengadilan. Nasib serupa juga menimpa para pimpinan PKI yang lain (Tornquist, 2011: 277).

Penulis: Satriono Priyo Utomo
Instansi: Overseas Research Assistant, National University Of Singapore
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso


Referensi

Aidit, Asahan (Tanpa Tahun) Roman Memoar Alhamdulillah. Jakarta: Lembaga Sastra     Pembebasan.

Aidit, Murad (2006) Aidit Sang Legenda. Jakarta: Panta Rei.

Aidit, Sobron (2003) Aidit: Abang, Sahabat dan Guru di Masa Pergolakan. Bandung: Nuansa Cendekia.

Bintang Merah No. 9 1953.

Feith, Herbert (1995) Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

\Gie, Soe Hok (2005) Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta: Bentang     Pustaka.

Hindley (1966) Donald. The Communist Party of Indonesia 1951- 1963. Berkeley and Los Angles: University of California Press.

Kurniawan, Budi dan Yani Andriansyah (2005) Menolak Menyerah: Menyingkap Tabir Keluarga Aidit. Yogyakarta: ERA Publisher.

Leclerc, Jaques (2011) Mencari Kiri: Kaum Revolusioner Indonesia dan Revolusi Mereka. Jakarta: Marjin Kiri.

Mortimer, Rex (2011) Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959-1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Roosa, John (2008) Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Hasta Mitra.

Sanit, Arbi (2000) Badai Revolusi: Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tempo (2010) Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Thaib, Alizar (1993) 19 September dan Angkatan Pemuda Indonesia. Jakarta: Yayasan Pancuran Mas.

Tornquist, Olle (2011) Penghancuran PKI. Depok: Komunitas Bambu.