Pramudya Ananta Toer
Pramudya Ananta Toer (Pramoedya Ananta Toer) adalah pengarang terkemuka di Indonesia. Ia lahir di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 6 Februari 1925 dan wafat di Jakarta pada 30 April 2006. Ia adalah anak sulung dari sembilan bersaudara. Nama sebenarnya adalah Pramoedya Ananta Mastoer. Nama Mastoer merupakan nama ayahnya yang kemudian menghilangkan kata ‘Mas’ karena kata ‘Mas’ dianggap terlalu berbau feodal. Suatu hal yang justru ditentangnya. Maka nama ayahnya menjadi M. Toer yang kelak menjadi nama keluarga dan atas ‘perintah’ Pramudya disematkan ke seluruh nama adik-adiknya.
Keluarga M. Toer merupakan keluarga Bupati Kediri. M. Toer pernah menjadi guru di Hollandsche Indische School (HIS) Rembang dan setelah menikah ia menjadi kepala sekolah di sekolah negeri Perguruan Budi Utomo di Blora. Selain sebagai guru, ia juga merupakan tokoh politik setempat dan memegang jabatan yang pernah dipegang oleh Dr. Soetomo yang pindah ke Surabaya. Kemudian M. Toer menjabat sebagai ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) Blora. Sebagai seorang guru, ia menulis buku teks sekolah dasar yang tidak mengikuti kurikulum pemerintah kolonial. Pada tahun 1930-an ia menulis untuk majalah dan surat kabar yang terbit di Semarang dan Surabaya (Koh, 2011: 2).
Ibu Pramudya adalah Saidah, puteri penghulu Kabupaten Rembang yang mendapat didikan Islam pesisir. Ibunya pernah mendapat pendidikan di sekolah dasar Belanda dan juga di rumah. Kakeknya mendatangkan guru-guru Belanda ke rumah. Ia menikah ketika berusia 18 tahun dengan M. Toer yang merupakan mantan gurunya. Saat itu M. Toer berusia 32 tahun (Koh, 2011: 3).
Pramudya mengawali pendidikannya di tempat ayahnya menjadi kepala sekolah yaitu di Sekolah Dasar Perguruan Budi Utomo, Blora, Jawa Tengah. Tiga kali Pramudya tidak naik kelas sehingga ia menghabiskan waktu enam tahun untuk menyelesaikan tiga kelas. Hal tersebut membuat sang ayah kecewa. Pramudya dikeluarkan dari sekolah dan selama setahun sang ayah mengajarnya sendiri di rumah dengan cara teliti dan keras. Setelah setahun belajar di rumah, Pramudya kembali ke sekolah hingga lulus pada tahun 1939. Setelah lulus, Pramudya kembali tidak bersekolah selama setahun karena ayahnya menolak keinginannya untuk melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)–setingkat Sekolah Menengah Pertama. Ayahnya justru meminta Pramudya kembali mengulang di sekolah dasar (Koh, 2011: 5).
Pramudya tetap ingin melanjutkan pendidikan. Bersama ibunya, ia berupaya mengumpulkan uang dari hasil penjualan padi. Pada 1940, ia melanjutkan pendidikan di Radio Vakschool (Sekolah Kejuruan Telegraf) Surabaya. Alasannya memilih sekolah itu karena sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia banyak mempelajari bidang kelistrikan dari buku-buku milik pamannya yang bekerja di Kaledonia Baru sebagai mekanik. Akhir tahun 1941, Pramudya menamatkan sekolah radio setelah satu setengah tahun belajar. Sayangnya ia tidak dapat menerima ijazah karena ijazah tersebut harus dikirim ke Bandung terlebih dahulu untuk disahkan dan ternyata ijazah tersebut tidak dikembalikan. Saat itu juga bersamaan dengan awal masuknya tentara Jepang di Indonesia. Pramudya meninggalkan Surabaya untuk kembali ke Blora supaya tidak diperintah menjadi militer kolonial karena ia telah terdaftar sebagai calon telegrafis radio yang ditempatkan di Angkatan Udara (Koh, 2011: 7).
Selama berbulan-bulan Pramudya tinggal di Blora. Ayahnya tidak pulang dan ibunya jatuh sakit. Hal itu membuatnya bekerja keras dengan berjualan rokok, tembakau, dan benang tenun untuk menghidupi delapan adik-adiknya. Pada bulan Mei 1942 sang ibu meninggal dunia. Pramudya kemudian meninggalkan Blora, pergi ke Jakarta. Ia melanjutkan pendidikan di Taman Dewasa kelas II Taman Siswa. Di sini ia belajar bahasa Indonesia selama setahun diajar oleh Mara Sutan. Bagi Pramudya pengajaran bahasa Indonesia pada masa itu merupakan usaha menumbuhkan semangat nasionalisme bagi para murid (Koh, 2011: 8).
Pramudya juga bekerja sebagai juru ketik di kantor berita Jepang, Domei pada sore dan malam hari. Sepertiga gajinya yang sebesar 35 rupiah dikirim ke Blora untuk membiayai adik-adiknya. Ketika duduk di kelas III pada bulan Agustus 1943, pemerintah pendudukan Jepang membubarkan sekolah Taman Siswa. Pramudya mengalihkan perhatian pada buku-buku kesusastraan yang ia beli atau dewa. Pada bulan Februari 1944, Domei mengadakan seleksi para pegawainya yang berpendidikan sekolah menengah untuk melanjutkan pendidikan di sekolah ‘Stenografi Tjuo Sangiin’. Pramudya termasuk yang terpilih dan selama setahun ia belajar. Pada bulan Maret 1945 ia menyelesaikan pendidikannya. Pramudya kemudian menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam di Gondangdia dan belajar filsafat, sosiologi, psikologi. Ia juga kembali bekerja di Domei di bagian perkembangan peperangan China-Jepang (Koh, 2011: 9).
Di Domei, Pramudya merasakan ada perlakuan diskriminatif dari pimpinannya. Sebelumnya pihak Domei menyekolahkan dua orang termasuk Pramudya. Keduanya lulus dengan nilai tertinggi. Ketika mereka kembali bekerja, kawannya mendapatkan promosi sebagai staf redaksi, sedangkan Pramudya hanya menjadi pembantu bagian arsip. Bulan Juni 1945 Pramudya memutuskan meninggalkan Jakarta menuju Jawa Tengah dan Timur. Akhir bulan Agustus 1945, ketika berada di Kediri ia mendengar kabar kemerdekaan Indonesia. Ia segera pergi ke Surabaya lalu kembali ke Jakarta sebelumnya singgah di Blora. Bulan Oktober 1945 Pramudya menjadi anggota pasukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang ditempatkan di Cikampek dalam kesatuan Banteng Taruna (Resimen 6) dengan pangkat prajurit II. Dalam waktu singkat ia naik pangkat menjadi Sersan Mayor. Pada pertengahan tahun 1946 Pramudya menjadi perwira persuratkabaran dengan pangkat Letnan Dua dengan jumlah anak buah sebanyak 60 orang yang bermarkas di Cikampek. Selama bertugas di sini, Pramudya menghasilkan novel pertama berjudul Sepuluh Kepala Nica yang naskahnya hilang. Pada waktu yang bersamaan Pramudya menjadi pembantu militer untuk surat kabar Minggoe Merdeka di Jakarta (Farid, 2008: 82; Koh, 2011: 10).
Pramudya memutuskan keluar dari tentara pada 1 Januari 1947 karena penyuapan, permusuhan, konflik kepentingan, rasionalisasi tentara oleh pemerintah yang dianggapnya tidak wajar. Ia kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai redaktur majalah Sadar, edisi bahasa Indonesia dari majalah The Voice of Free Indonesia. Pada masa itu ia menulis Di Tepi Kali Bekasi berdasarkan kisah sebenarnya. Salah satu fragmen dari cerita itu Kranji Bekasi Jatuh diterbitkan oleh The Voice of Free Indonesia. Pada periode ini Pramudya berkenalan dengan H.B. Jassin yang bekerja di Balai Pustaka. Bulan April 1947 Pramudya menjadi ketua bagian penerbitan Indonesia (Koh, 2011: 12).
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda pada 21 Juli 1947, semua milik Republik Indonesia di Jakarta dikuasai tentara Belanda. Pramudya ditugaskan oleh atasannya untuk mencetak dan menyebarkan risalah, majalah perlawanan. Ia ditangkap tentara Belanda dengan bukti-bukti di kantongnya. Ia ditahan di tangsi Angkatan Laut di Gunung Sahari, lalu dipindahkan ke tangsi Polisi Militer di Jaga Monyet. Tanpa proses pengadilan ia dipenjara. Selanjutnya ia dipindahkan ke Pulau Edam. Selama dalam penjara, Pramudya menghasilkan beberapa cerpen dan novel, seperti Perburuan dan Keluarga Gerilya. Karya-karya diselundupkan ke luar penjara dengan bantuan Prof. Resink sehingga dapat diterbitkan di berbagai majalah, antara lain Mimbar Indonesia, Siasat. Pada 18 Desember 1949, Pramudya dibebaskan dari tahanan karena pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (Koh, 2011: 13).
Pada awal tahun 1950, karya Pramudya, Perburuan dianugerahi hadiah sastra dari Balai Pustaka yang mengangkat namanya di Gelanggang Cipta (Farid, 2008: 83). Pada bulan Januari 1950 Pramudya menikah dengan Arfah Iljas yang dikenalnya ketika ia masih berada dalam tahanan. Bulan Mei 1950, ia bekerja di Balai Pustaka sebagai penyunting di bagian sastra Indonesia modern. Ia sempat juga menjadi redaktur majalah anak-anak Kunang-Kunang. Dua hari menjadi redaktur di Balai Pustaka, Pramudya mendengar kabar ayahnya sakit keras. Ia pulang ke Blora dan melihat kondisi keluarganya sangat menyedihkan. Ia kembali menanggung beban kehidupan keluarganya yang juga kelak berakibat kehancuran rumah tangganya sendiri. Sekembali dari Blora, Pramudya tidak lama bekerja di Balai Pustaka. Akhir tahun 1951 ia meninggalkan Balai Pustaka dan pada bulan Januari 1952 ia mendirikan agensi kesusastraan ‘L&F Acy Duta’. Lembaga ini menghasilkan terbitan mengenai pengajaran, bahasa, kesenian dan kebudayaan. Pada awalnya lembaga ini berjalan baik tetapi karena kekurangan modal dan tidak adanya perhatian dari masyarakat, lembaga ini mengalami keguncangan. Pada bulan September 1952 Pramudya bersama Basuki Resobowo berinisiatif mendirikan badan kesusastraan dengan nama Gelanggang Kesenian (Koh, 2011: 14).
Atas biaya Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking), yayasan kerja sama kebudayaan Belanda-Indonesia pada bulan Mei 1953, Pramudya berkesempatan mengunjungi Belanda. Ketika berada di Belanda, Pramudya menulis novel Midah Si Manis Bergigi Emas dan menerima hadiah sastra dari Badan Musyawarah Kesenian Nasional (BMKN) untuk kumpulan cerpen, Tjerita dari Blora. Bulan Januari 1954 Pramudya kembali ke Indonesia dan pada saat itu berlaku pemotongan anggaran belanja Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK). Hal itu mengakibatkan krisis penerbitan. ‘L&F Acy Duta’ milik Pramudya tidak dapat dihidupkan kembali. Hal tersebut berpengaruh terhadap keadaan keuangan rumah tangga Pramudya yang membuatnya terpaksa meninggalkan istri dan anaknya. Pada 1954, terbit novel karyanya Korupsi yang mengakibatkan hubungannya dengan pemerintah Sukarno tidak baik. Pada awal 1955 Pramudya menikah lagi dengan Maimunah Thamrin, keponakan perempuan Husni Thamrin. Pada tahun ini, Pramudya menyusun Ensiklopedi Kesusatraan Indonesia (Koh, 2011: 15).
Bulan Oktober 1956 Pramudya pergi ke Beijing atas undangan Lembaga Sastrawan China Pusat untuk menghadiri peringatan dua puluh tahun wafatnya pujangga Lu Xun yang beraliran realisme-sosialis. Di China, Pramudya memperoleh pengertian tentang pentingnya faktor rakyat jelata dalam pembinaan bangsa yang kuat dan terpadu bersama dengan pembangunan yang menyeluruh. Perubahan pemikiran Pramudya tampak ketika ia menulis ‘Djembatan Gantung dan Konsepsi Presiden’ yang dimuat di Bintang Merah (1957) dan diterbitkan ulang oleh Harian Rakjat (Farid, 2008: 85). Pramudya bersama Henk Ngantung dan Kotot Sukardi membentuk delegasi seniman yang terdiri dari 67 orang untuk menyatakan sikap mendukung cita-cita demokrasi terpimpin. Mereka menghadap presiden pada bulan Maret 1957. Pada 28 Desember 1957 Pramudya dilantik sebagai anggota penasihat Kementerian Petera (Pengerahan Tenaga Rakyat) (Koh, 2011: 16).
Pada 1957 Pramudya menerbitkan kumpulan cerpen Tjerita dari Djakarta, Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianja dan pada 1958 terbit Sekali Peristiwa di Banten Selatan yang lebih mirip laporan perjalanan daripada karya fiksi (Farid, 2008: 86).
Pada 7 September 1958, Pramudya memimpin delegasi Indonesia untuk Pertemuan Pengarang Asia-Afrika di Tashkent. Dari sana ia berkunjung ke Turkmenia, Moscow, Siberia, Beijing, Rangoon dan kembali ke Indonesia pada 21 Oktober 1958. Pada 23 Januari 1959, Pramudya turut serta dalam Kongres Nasional I Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) di Solo. Meskipun ia bukan anggota Lekra, ia diundang karena dianggap sastrawan terkenal. Pada tahun yang sama Pramudya diangkat menjadi anggota Dewan Ketua Komite Perdamaian Indonesia sebagai hasil keputusan Konferensi Nasional di Bandung (Koh, 2011: 17).
Pada bulan Maret 1960 Pramoedya menerbitkan buku Hoa Kiau di Indonesia yang mengakibatkan dirinya dipenjara di Cipinang selama sembilan bulan tanpa proses pengadilan. Alasannya buku itu dianggap pembelaan terhadap pedagang-pedagang keturunan Tionghoa yang berdasarkan undang-undang ‘PP No 10/1959’ dilarang berdagang di daerah tingkat kecamatan dan kabupaten. Sejak 1960 hingga 1965 Pramudya menjadi salah satu anggota Komite Pusat untuk Indonesia dalam lembaga World Peace Organization. Sejak 1958 hingga 1965 ia juga bekerja sebagai anggota panitia yang menangani program Asia African Writers Conference. Di antara kegiatan-kegiatan tersebut pada 1961 hingga 1964 Pramudya bekerja sebagai redaktur rubrik ‘Lentera’, lampiran kebudayaan harian Bintang Timur. Dalam bidang akademik, Pramudya berkesempatan memberikan kuliah sejarah dan sastra modern di Fakultas Sastra Universitas Res Publika dan memberikan kuliah sejarah bahasa Indonesia di Akademi Wartawan Dr. Abdul Rivai. Pramudya tercatat sebagai salah seorang pendiri Akademi Sastra Multatuli (Koh, 2011: 19).
Berbagai kegiatan Pramudya tersebut seketika berhenti sejak 13 Oktober 1965. Ia dituduh terlibat dalam kegiatan-kegiatan Lekra yang dianggap lembaga yang disusupi oleh komunisme. Tanpa melalui pengadilan, Pramudya ditahan di Rumah Tahanan Militer Tangerang sampai bulan Juli 1969. Ia kemudian dipindahkan ke penjara Karang Tengah di Nusakambangan. Pada 16 Agustus 1969 bersama tahanan politik lainnya ia dikirim ke Instalasi Rehabilitasi Pulau Buru. Bersama 850 orang tahanan politik golongan B, ia tiba di Namlea, kota Kabupaten Buru pada 10 September 1969 (Koh, 2011: 20).
Selama di Pulau Buru, Pramudya tidak diperkenankan menulis. Namun, setelah kunjungan Soemitro pada 1973, ia kembali diizinkan menulis. Dari sana lahir naskah karya tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Selain itu Pramudya juga menghasilkan Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, naskah drama Mangir, dan Nyanyian Tunggal Seorang Bisu yang diterbitkan pertama kali di Belanda dan dalam bahasa Indonesia dengan judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Pada 12 November 1979, Pramudya dipindahkan dari Pulau Buru ke penjara Magelang, Semarang, dan Salemba. Pada 21 Desember 1979 ia dibebaskan dengan dikenakan wajib lapor serta tidak memiliki hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Ia dikenakan tahanan rumah dan tahanan negara sampai 1999 (Toer, 2004: i; Toer, 2009: 484).
Novel Bumi Manusia yang diterbitkan pada 17 Agustus 1980 dan Anak Semua Bangsa yang terbit pada bulan Desember 1980 mendapatkan sambutan baik dari masyarakat. Namun, novel-novel tersebut segera dilarang beredar di seluruh Indonesia oleh pemerintah sejak 29 Mei 1981. Alasannya, novel-novel tersebut mengandung ajaran terlarang yaitu pertentangan kelas. Pada tahun 1985, terbit novel Jejak Langkah dan Sang Pemula, biografi Tirtoadisuryo. Seperti novel-novel sebelumnya, sejak 1 Mei 1986 karya-karya tersebut juga dilarang beredar. Pada 1987 terbit Gadis Pantai dan pada bulan April 1988 terbit Rumah Kaca dan Hikayat Siti Mariah. Rumah Kaca pada 8 Juni 1988 dilarang beredar dan menyusul Gadis Pantai, Hikayat Siti Mariyah dilarang pada 3 Agustus 1988 (Koh, 2011: 20-21).
Selain menulis karya fiksi, Pramudya juga menerjemahkan karya-karya sastra seperti Tikus dan Manusia karya John Steinbeck, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu karya Leo Tolstoy pada 1950, Perjalanan Ziarah yang Aneh karya Leo Tolstoy pada 1954), Ibunda karya Maxim Gorki, Kisah Seorang Prajurit Sovyet karya Mikhail Sholokov pada 1956, Asmara dari Rusia karya Alexander Kuprin dan Manusia Sejati karya Boris Polewoi pada 1959. Pramudya juga menulis karya non-fiksi antara lain Panggil Aku Kartini Saja-Djepara 25 Mei 1899 Sebuah Pengantar pada Kartini (1962), Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963), Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia (1982), Sang Pemula dan Karya-karya Non-Fiksi (jurnalistik) – Fiksi (cerpen/novel) R.M. Tirto Adhi Soerjo (1985), Jalan Raya Pos, De Groote Postweg (1996), Kronik Revolusi Indonesia Jilid I-II (1999), Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (2001), Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (2001), Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV (2003) (Toer, 2009: 494-501).
Selama beberapa kali, sejak tahun 1980 Pramudya dicalonkan sebagai pemenang Hadiah Sastra Nobel. Ia juga diangkat menjadi anggota kehormatan bagi beberapa organisasi sastra internasional, seperti Adopted Member of the Netherlands Centre of P.E.N. International; Honorary Member of the Japan Centre of P.E.N. International (1978); Nominee for an Honorary Degree of the Vrije Universiteit (1978); Honorary Life Member of the International P.E.N. Australia Centre (1982); Honorary Member of the P.E.N. Swedish Centre (1982); Honorary Member of the P.E.N. American Centre (1987) (Toer, 2004; Toer, 2009: 502-504).
Berbagai penghargaan yang diperoleh oleh Pramudya, antara lain ‘Freedom-to-Write Award’ dari P.E.N. American Centre (1988), The Fund for Free Expression, New York (1989), hadiah Ramon Magsaysay dalam bidang ‘Journalism, Literature, and Creative Arts’ dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina (1995), Wertheim Award dari the Wertheim Foundation, Leiden, Belanda (1995), UNESCO Madanjeet Singh Prize dari UNESCO, Paris, Prancis (1996), Doctor of Human Letters dari University of Michigan, Madison, Amerika Serikat (1999), Chanceller’s Distinguished Honor Award dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat (1999), Chevalier de l’Ordre des Arts et des Letters dari Le Ministre de la Culture et de la Communication, Paris, Prancis (1999), New York Foundation for the Arts Award, Amerika Serikat (2000), Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang (2004), The Norwegian Authors Union (2004), Centerario Pablo Neruda dari Republica de Chile (2004) (Toer, 2004: 547-548). Pramudya juga berupaya menyusun Ensiklopedi Citrawi Indonesia sejak 1958 yang belum sempat ia selesaikan.
Penulis: Ahmad Sunjayadi
Referensi
Farid, Hilmar. 2008. Pramoedya dan Historiografi Indonesia dalam Henk Schulte.
Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari (eds). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-KITLV Jakarta- Pustaka Larasan Denpasar.
Koh Young Hun. 2011. Pramoedya Menggugat. Melacak Jejak Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Toer, Pramoedya Ananta. 2004. Menggelinding 1. Jakarta: Lentera Dipantara.
Toer, Pramoedya Ananta. 2009. 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa. Jakarta: Lentera Dipantara.