Mahmud Singgih Rumagesan
Raja Mahmud Singgirai Rumagesan lahir pada 27 Desember 1885 di Kampung Sekar Distrik Kokas. Anak dari Pipi Syahban Rumagesan dan Nyora Wagaubin. Sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang pandai terutama pengetahuannya tentang agama Islam, sehingga saat berumur 18 tahun ia diangkat menjadi Kepala Agama Islam oleh para imam di lingkungan Kerajaan Sekar. Selain pengetahuan tentang agama Islam, ayahnya melatih dan mempersiapkan Rumagesan sebagai penerus dengan menguasai aturan-aturan kerajaan. Sehingga tahun 1906 saat berusia 21 tahun, ia mendapat besluit dengan tugas sebagai raja muda membantu ayahnya (Sinaga dan Syukur, 2013: 1-3, 8)
Tugas raja muda adalah membantu urusan duniawi, pelaksana perintah raja, serta dalam urusan tertentu sebagai pengganti raja. Namun pada masa pemerintahan Belanda tugas raja muda berubah menjadi pemungut pajak. Saat berusia 24 tahun tepatnya tahun 1909, ia dinobatkan sebagai Raja Sekar dengan gelar Raja Al Alam Ugar Sekar. Namun dalam catatan administratif Pemerintah Belanda, ia diangkat sebagai raja pada tahun 1915. Meskipun disahkan dan diberi gaji oleh pemerintah kolonial sebesar f.50 namun ia adalah orang yang sangat anti terhadap Belanda (Sinaga dan Syukur, 2013: 3, 22-26).
Sebagai Raja Sekar, Rumagesan sangat dihormati oleh penduduk Sekar dan juga penduduk wilayah lain di Papua. Kerajaan Sekar yang dipimpin oleh Rumagesan terletak di pantai barat Papua yang kini lebih dikenal dengan Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Wilayah tersebut pada abad ke-16 mendapat pengaruh dan menjadi bagian dari Kesultanan Tidore, sehingga pengaruh agama Islam cukup kuat. Hubungan Sultan Tidore dengan para raja lebih pada hubungan ekonomi, dimana raja bertugas dalam hal perdagangan dan pemungutan pajak atas perintah Sultan Tidore. Pengaruh Tidore ini mulai hilang ketika Belanda mulai berpengaruh sekitar tahun 1898, sehingga mulai saat itu raja-raja di Papua berada di bawah kekuasaan Belanda (Sinaga dan Syukur, 2013: 13-14).
Tahun 1934 perusahaan minyak tanah Colijn milik Belanda atau lebih dikenal NNGPM (Nederlandse Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij) datang ke Kokas dan membuka tambang minyak tanah di sana. Sebagai raja, Rumagesan dan rakyatnya membantu pembukaan tambang tersebut. Pembayaran upah dari pekerjaan tersebut begitu rendah, padahal pekerjaan yang mereka lakukan begitu berat dan melampaui batas (Pigay BIK, 2012: 198).
Perusahaan Colijn memberikan upah dari pekerjaan tersebut kepada Rumagesan. Lalu uang tersebut oleh Rumagesan dibagikan kepada rakyat sesuai dengan haknya setelah dipotong pajak. Hal tersebut dilakukan selama 2- 3 bulan secara terus menerus. Mengetahui hal tersebut bestuur hukum marah, karena ia merasa bahwa uang tersebut seharusnya diberikan kepadanya. Bestuur hukum kemudian melaporkan tindakan Rumagesan kepada Kontrolir Van Den Terwijk (Dajoh, 1957: 64). Rumagesan diminta oleh Kontrolir Van Den Terwijk untuk memberikan uang tersebut kepada Bestuur Hukum. Ia dengan tegas menolak karena menurutnya uang tersebut adalah hak rakyat yang diperoleh dari hasil penjualan kekayaan alam Papua, dan mereka juga yang berkeringat membantu pekerjaan di perusahaan tersebut (Pigay BIK, 2001: 136).
Rakyat Kokas yang mengetahui pertengkaran tersebut membela Rumagesan dan hendak membunuh bestuur hukum dan kontrolir. Kapal tentara dikirim dari Fakfak atas laporan bestuur hukum dan Raja Rambati Abu Bakar ke Kokas untuk menangkap Rumagesan pada malam hari. Kemudian Rumagesan dijebloskan ke penjara Fakfak selama 15 tahun. Tiga hari kemudian 73 orang rakyat Kokas yang terlibat ditangkap, disiksa, lalu dipenjara. Hukuman penjara yang mereka dapatkan berbeda-beda, dari dua hingga sepuluh tahun. Dari Penjara Fakfak, Rumagesan dipindahkan ke Saparua (Dajoh, 1957: 64-65).
Di Saparua ia menulis surat dengan nama samaran Abu Bakar kepada anggota volksraad bernama Muhamad Husni Thamrin di Batavia. Dalam surat itu ia meminta agar dibuatkan surat permohonan kepada Hoofd Djaksa Tantua A.R. Jansen. Permohonan itu dikabulkan, sehingga Jansen memerintahkan seorang Jaksa untuk pergi ke Ambon membayar ongkos dan gaji Rumagesan selama dalam tahanan dan membebaskannya pada tahun 1941 (Sinaga dan Syukur, 2013: 49-50).
Pada masa Pendudukan Jepang, Rumagesan telah dibebaskan. Ia pulang ke Kokas dengan sebuah perahu yang dibeli dari Raja Asilolo Illi. Jepang memanfaatkan Rumagesan yang anti Belanda untuk membantu mereka dalam memerintah rakyat memenuhi kepentingan perang mereka. Sehingga Belanda berpendapat bahwa Rumagesan dan Jepang bekerjasama (Sinaga dan Syukur, 2013: 52). Jepang bahkan memberikan Rumagesan gelar “Minami Tokyo” (Tokyo Selatan) dan ia diberi kekuasaan sebagai penguasa Papua. Tahun 1945 pihak Australia datang ke Kokas dan memerintahkan seluruh raja untuk menaikkan kembali bendera Belanda. Rumagesan, terpaksa menuruti hal tersebut (Dajoh, 1957: 65). Setelah kemerdekaan Indonesia, Rumagesan adalah salah satu tokoh pro Indonesia yang bertujuan menggabungkan Irian dengan Indonesia. Hal ini terbukti pada 1 Maret 1946 Rumagesan memerintahkan rakyat untuk menurunkan Bendera Belanda. Hal tersebut menyebabkan pertempuran antara rakyat dengan Belanda. Pihak Belanda mendapatkan bantuan tentara dari Sorong sehingga perlawanan yang tidak seimbang antara rakyat dan Belanda. Rumagesan ditangkap dan dibuang ke Sorong (Pigay BIK, 2012: 198).
Selama di Sorong, Rumagesan tidak tinggal diam ia menyusun rencana dengan Tipan dan Sangadji Sorong untuk melakukan pemberontakan terhadap Belanda. Mereka telah berhasil mengumpulkan 40 pucuk senjata dan berencana akan membumi hanguskan Sorong. Akan tetapi, rencana tersebut gagal Rumagesan kembali tertangkap dan dibuang ke Manokwari ditahan dalam tangsi komandan Irian. Di Manokwari, Rumagesan kembali menyusun rencana dengan menghasut para pemuda Papua yang menjadi pasukan tentara Belanda. Mereka adalah Hawai, Kawab, dan Nihkawi. Mereka berencana akan membakar tangsi Manokwari, namun sayang rencana tersebut kembali gagal. Para pemuda yang terlibat dipenjara sedangkan Rumagesan ditangkap dan dibuang ke Hollandia (Jayapura sekarang). Dari Hollandia, ia dibuang ke Kampung Baru dan dimasukan ke dalam Penjara (Dajoh, 1957: 65).
Di Penjara Kampung Baru, Rumagesan diangkat menjadi pemimpin oleh para tahanan. Di dalam sel ia terus menyerukan agar melawan Belanda dan ikut merdeka bersama Indonesia. “Jika kamu telah keluar dari tempat ini kelak, sampaikan kepada teman seperjuangan yang cinta akan kemerdekaan agar tetap awas dan waspada. Lawan Terus Belanda, walaupun engkau akan musnah karenanya. Berjuang terus sampai kita merdeka bersama-sama dengan Indonesia”
Akibat seruan tersebut Rumagesan dikurung selama enam bulan tanpa boleh berhubungan dengan siapapun. Hakim Pemerintah Belanda lewat surat 2 Mei 1949 No. 125/49 memutuskan agar Rumagesan dihukum mati. Rakyat memohon kepada Landraad agar Rumagesan tidak dihukum mati diganti dengan hukuman lain. Landraad akhirnya memutuskan untuk menjatuhi hukuman seumur hidup bagi Rumagesan. Rakyat kembali memohon dengan bantuan Advokat Laparan dari Surabaya dengan biaya yang ditanggung oleh rakyat (Dajoh, 1957: 66-67).
Hukum mati bagi Rumagesan diganti dengan hukuman seumur hidup di luar Papua, dengan dipindahkan ke Makassar. Keputusan Pemerintah Belanda memindahkan Rumagesan ke penjara Makassar agar pengaruhnya di Papua terhenti. Namun yang terjadi malah sebaliknya, pemindahan ke Makassar malah membawa keberuntungan baginya karena dengan begitu hukum yang berlaku bagi dirinya di sana adalah hukum pemerintah RIS, bukan pemerintah Hindia Belanda (Sinaga & Syukur, 2013: XI). Sehingga Pemerintah RI membebaskan Rumagesan dengan segera berdasar Surat Keputusan 2 Mei 1950 No. 44/A. Kemudian A.B. Karabuy mengantarkan Rumagesan ke Istana Presiden untuk menghadap Sukarno pada 24 Juni 1950 (Dajoh, 1957: 66-67).
Untuk membebaskan rakyat Papua dari penjajahan, Rumagesan mendirikan Gerakan Tjendrawasi Revolusioner Irian Barat (GTRIB) pada tahun 1953 di Makassar, Sulawesi Selatan. Setahun kemudian, pada 1954 GTRIB dipindahkan ke Jalan Cendana No 7 Jakarta. Hal ini disebabkan oleh terpilihnya Rumagesan sebagai anggota MPRS. Tujuan gerakan ini tentu saja untuk mengembalikan Irian Barat ke Indonesia dengan jalan diplomasi atau jalan apapun. Salah satu tindakan GTRIB yang paling signifikan adalah tahun 1955 menginfiltrasi A.J. Dimara memasuki Teluk Etna Kaimana dan tahun 1956 mengirim infiltran kedua menuju Fakfak. Ditengah penyusupan tersebut Rumagesan melakukan koordinasi dengan penduduk di Irian Barat agar bersiap menerima pasukan Republik Indonesia yang akan membebaskan mereka dari Belanda. Surat Terbuka GTRIB pada 11 Juni 1956 yang ditandatangani Rumagesan, sebagian isinya tertulis: “Tiap tindakan untuk merugikan atau menggagalkan tuntutan politik terakhir dari bangsa Indonesia ini, pasti saya lawan dan saya tentang sekeras-kerasnya” (Sinaga & Syukur, 2013: xi, 69).
Adapun kriteria pemimpin Irian menurut Rumagesan dalam surat terbuka tersebut yang masih relevan hingga saat ini adalah: orang yang dinamis dan revolusioner, tidak bombastis, tidak memiliki sifat-sifat oportunis, tidak korupsi, orang yang berani dalam pikiran dan berani dalam bertindak, dan orang yang mampu mengendalikan emosinya (Sinaga & Syukur, 2013: xi, 69-71).
Pada 16-21 April 1961 Rumagesan bersama pejuang Irian lainnya mengadakan Kongres Rakyat Irian Barat di Cibogo Bogor yang bertujuan membulatkan tekad mengembalikan Irian ke Indonesia. Di usianya yang semakin senja Rumagesan diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada 6 Agustus 1959. Namun kesehatannya semakin menurun dan ia ingin menghabiskan sisa usianya bersama rakyat Irian. Maka pada 15 Mei 1964 ia diterbangkan menuju Kokas. Beberapa bulan kemudian tepatnya, 5 Juli 1964 ia meninggal dan dimakamkan di Taman Pahlawan Kokas (Sinaga & Syukur, 2013: xi, 82-83).
Penulis: Dini Nurlelasari
Referensi
Dajoh, M.R (1957) Patriot Irian Damai. Jakarta: Grafica.
Pigay BIK, Decki Natalis (2012) Evolusi Nasionalisme dan Sejarah: Konflik Politik di Papua. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sinaga, Rosmaida & Syukur, Abudul (2013) Machmud Singgirei Rumagesan. Depok: Komunitas Bambu.