Mohamad Husni Thamrin

From Ensiklopedia
Mohamad Husni Thamrin. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L.0038-B


Mohamad Husni Thamrin atau dikenal dengan M.H. Thamrin merupakan Pahlawan Nasional asli Betawi. Ia lahir di Sawah Besar, Batavia, pada 16 Februari 1894 dari pasangan Tabri Thamrin dan Nurkhamah. Ayah M.H. Thamrin adalah seorang wedana atau pejabat pembantu bupati di pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Karenanya, M.H. Thamrin atau yang biasa dikenal pula dengan nama kecilnya Matseni itu lahir dari keluarga terpandang.

Meski begitu, teman-teman M.H. Thamrin justru bukan dari kalangan anak wedana, anak kepala kampung atau anak pedagang besar. Pada umumnya Matseni lebih banyak berkawan dengan kalangan anak pribumi kelas bawah. Walau anak keluarga terpandang, M.H. Thamrin tidak sungkan main  dan mandi di sungai terutama Sungai Ciliwung. Sungai yang nantinya akan menjadi sorotan utama M.H. Thamrin saat menjadi tokoh pergerakan Nasional

Sebagai anak seorang wedana, M.H. Thamrin mendapatkan kesempatan Pendidikan lebih mudah. Ia mendapat pendidikan pertama kali di sebuah sekolah di Mangga Besar. Di sekolah ini beliau menuntut pelajaran bersama dengan orang-orang Cina; lingkungan ini juga sedikit banyak memberikan keuntungan baginya  dalam bergaul dengan orang-orang yang tidak sebangsa dengannya. Akan tetapi di sekolah ini dia tidak begitu lama. Dua tahun kemudian dia dipindahkan ke Bijbelschool (Sekolah Injil) di Pintu Besi. Tamat dari sekolah ini ia melanjutkan pelajarannya ke Koning Willem III, sekolah ini setingkat HBS, ketika itu sejenis Sekolah Menengah Tingkat Atas. Akan tetapi, pada tingkat ini dia tidak menyelesaikan pendidikannya. Wedana Tabri Thamrin berusaha memasukkan anaknya untuk magang (calon pegawai) di kantor Kepatihan. Kemudian pindah ke kantor Karesidenan, namun  di kedua tempat di M.H. Thamrin agaknya tidak kerasan bekerja.

Dia kemudian pindah ke perusahaan perkapalan milik Belanda yaitu Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Pada perusahaan ini dia menduduki jabatan di kesektariatan. M.H. Thamrin bekerja cukup lama di KPM, kurang lebih selama 10 tahun, yaitu dari tahun 1914 hingga tahun 1924, sebelum akhirnya berubah haluan menjadi aktivis sosial-politik.

Salah satu faktor terpenting di dalam awal perubahan itu ialah perkenalannya dengan seorang berbangsa Belanda, Van der Zee,  seorang tokoh politik yang menganut paham sosialis dan merupakan salah seorang anggota Gemeenteraad Kota Batavia, yang didirikan pada 1905. Di Dewan Kota inilah Thamrin berjuang untuk memperbaiki nasib penduduk dan perbaikan kotanya.Persahabatannya dengan Van der Zee, menyebabkan Thamrin tertarik pada masalah kemasyarakatan. Ia menyadari bagaimana buruknya keadaan sosial masyarakat Betawi pada waktu itu. Kota itu tidak menjamin kesehatan rakyat karena kampung-kampungnya becek dan kotor.

Ketika terbuka kesempatan untuk pengangkatan anggota Gemeenteraad M.H. Thamrin  mendapat dukungan sepenuhnya dari Van der Zee. Pada tanggal 29 Oktober 1919, M.H. Thamrin secara resmi diangkat sebagai anggota Gemeenteraad untuk pertama kalinya pada usia 25 tahun dan masih bekerja di PKM di usia yang sama. Sementara  itu, pada tanggal 1 Januari 1923 berdiri sebuah organisasi yang bernama ”Kaum Betawi”, yang bertujuan: ”Memajukan perdagangan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat”. M.H. Thamrin pun tertarik memasuki organisasi ini, kemudian ia diangkat menjadi ketuanya. Di bawah pimpinan M.H. Thamrin perkumpulan Kaum Betawi mengalami perkembangan berarti.

Pada 1927 terdapat lowongan dalam Volksraad. Pemerintah menawarkan kepada H.O.S. Cokroaminoto untuk menduduki kursi itu, tetapi ia menolak, begitu pula halnya dengan dr. Sutomo. Akhirnya Thamrin ditawari dan ia bersedia menduduki kursi keanggotaan Volksraad.

Pada tanggal 27 Januari 1930 dibentuk ”Fraksi Nasional” dalam Volksraad yang diketuai oleh M.H. Thamrin. "Fraksi Nasional” terkenal dengan kecaman-kecaman pedasnya terhadap tindakan Pemerintah Kolonial yang menangkapi para pemimpin  PNI. Pikiran dan tindakan politis M.H. Thamrin telah mendorong ”Kaum Betawi” masuk dalam PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang terbentuk pada 1927 di Bandung. M.H. Thamrin terpilih menjadi bendaharanya. Pada tahun 1932 dalam kongresnya di Surabaya, ia terpilih menjadi Ketua PPPKI dengan wakil ketua Otto Iskandardinata, rekannya dalam Volksraad.

Pada tahun 1935 terbentuk ”Partai Indonesia Raya” (Parindra) yang merupakan fusi ”Budi Utomo” (BU) dan ”Persatuan Bangsa Indonesia” (PBI), Thamrin bergabung dengan partai ini. Parindra diketuai oleh dr. Sutomo yang sudah sejak lama dikagumi oleh Thamrin. Pada struktur Parindra Thamrin terpilih sebagai ketua Departemen Politik. Pada tanggal 30 Mei 1938 dr. Sutomo meninggal dunia. Thamrin diangkat menjadi Wakil Ketua PB Parindra. Ia melakukan propaganda ke beberapa daerah di Sumatera untuk mempopulerkan partai tersebut. Sementara itu PPPKI semakin lemah, dan pada tahun 1939 lahir gabungan baru, yakni ”Gabungan Politik Indonesia” (GAPI) dengan tujuan dan slogannya ”Indonesia Berparlemen”. Partai-partai dan organisasi bergabung ke dalamnya termasuk Parindra yang diwakili Thamrin.

Pada 1939, Thamrin mengajukan mosi dalam Volksraad agar pemerintah menggunakan kata Indonesia dan Indonesier sebagai pengganti kata Nederlands Indie, Nederlands Indis, dan Inlander. Thamrin meminta agar kata-kata yang diusulkannya itu dipakai dalam undang-undang dan peraturan-peraturan Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah menolak usul itu dengan alasan bahwa pembicaraan tentang pemerintahan dalam hubungannya dengan usul itu tidak dapat diadakan, karena situasi sangat gawat. Pada waktu itu negeri Belanda sedang terlibat dalam Perang Dunia II.

Thamrin amat kecewa terhadap penolakan pemerintah terhadap usulnya. Kekecewaan itu bertambah dengan tindakan pemerintah membubarkan rapat umum Parindra di Cirebon pada Februari 1940, ia berpidato menguraikan tuntutan ”Indonesia Berparlemen” dari GAPI, yaitu sebagai berikut: Pidato yang tajam itulah yang menjadi alasan pemerintah membubarkan rapat umum Parindra. Alasan itu tak dapat diterima oleh Thamrin dan ia menggugat peristiwa tersebut dalam sidang Volksraad, Maret 1940.

Pemerintah menganggap Thamrin sudah cukup berbahaya. Pada 6 Januari 1941 ia dikenakan tahanan rumah. Pada waktu itu Thamrin sedang sakit, ia tidak boleh dikunjungi oleh kawan-kawannya kecuali dokter pribadinya, yakni dr. Kayadu, isteri Thamrin, anak angkat, dan pembantunya yang setia, Entong.

Dalam keadaan sakit dengan status tahanan rumah itu Thamrin masih saja memberikan perhatiannya kepada perjuangan nasional. Ia masih mengirimkan pesan kepada kawan-kawannya secara sembunyi-sembunyi. Sekalipun dr. Kayadu yang merawatnya berusaha sekuat tenaga menyelamatkan nyawanya, namun MH Thamrin akhirnya meninggal pada Pukul 03.00 pagi tanggal 11 Januari 1941. Tidak ada teman-teman seperjuangan yang melepasnya, bahkan waktu ia masih dirawat teman-temannya dilarang pemerintah untuk menjenguk.

Jenazahnya dikebumikan di Pekuburan Karet, Jakarta. Peti jenazahnya ditutupi dengan bendera Parindra, hijau-merah-putih. Banyak juga pembesar Belanda yang menghormati keberangkatan iringan-iringan jenazah. Pemimpin-pemimpin Indonesia banyak yang datang melawat.

Pada sidang Volksraad pertama sepeninggal M.H. Thamrin, ketua Volksraad dalam pidato pembukaannya menguraikan ringkas jasa-jasa almarhum sebagai pemimpin yang cakap dan cerdas. Hingga wafatnya itu Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah mengadakan penjelasan tentang alasan-alasan dan dugaan apakah kiranya yang menjadi sebab penahanan M.H. Thamrin. Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden No. 175 tahun I960 tertanggal 28 Juli 1960.

Penulis: Linda Sunarti
Instansi: Institut Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum


Referensi

Gonggong, Anhar, Mohammad Husni Thamrin, Direktorat Sejarah dan Nilai tradisional. Ditjen Kebudayaan, Jakarta, 1995

Matu Mona, Riwayat Penghidupan Dan Perjuangan Mohammad Husni Thamrin, Pustaka Timur, Medan, 1950.