Mangkunagara VII
Mangkunagara VII, dengan nama kecil R.M. Soerjosoeparto, dilahirkan di Surakarta pada Kamis Wage, 4 Sapar tahun Dal 1815 atau 12 November 1885 (Wiryawan, 2011: 37). Tentang waktu kelahiran ini, beberapa sumber lain menyebut 15 November 1885, 15 Agustus 1885, dan 12 Desember 1885 (Prabowo dkk., 2007: 128; Wasino, 2014: 59; dan Bastomi, 1996: 89). Ia adalah anak Mangkunagara V (memerintah 1881-1896) dari garwa ampil. Setelah menyelesaikan Europeesche Lagere School (ELS) ia bermaksud untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, keinginan itu tidak mendapat persetujuan dari paman yang sekaligus orang tua angkatnya, Mangkunagara VI (memerintah 1896–1916). Pada 1905 dengan tekadnya yang keras ia meninggalkan Pura Mangkunagaran untuk mencari pengalaman di luar istana. Setelah lama mengembara akhirnya ia diterima magang sebagai juru tulis di Kabupaten Demak dan kemudian diangkat sebagai mantri. Sembari bekerja ia menekuni bahasa Belanda dan sastra Jawa, ia terlibat konflik pribadi dengan Bupati Demak sehingga memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Kemudian ia bekerja sebagai penerjemah di Kantor Karesidenan Surakarta serta redaksi surat kabar Darma Kandha, seraya ia juga aktif menjadi anggota Budi Utomo (Prabowo dkk., 2007: 130; Wasino, 2014: 63-64).
Keinginannya yang kuat untuk mengembangkan diri menjadikan Residen Van Wijk memberikan rekomendasi agar Soerjosoeparto dapat belajar di Belanda dengan biaya sendiri. Hal ini karena ia dianggap telah memiliki tabungan yang mencukupi dari pekerjaannya. Pekerjaannya di Kantor Pemerintah juga telah memberi banyak kesempatan untuk bertemu dengan sejumlah pegawai Belanda, antara lain D.A. Rinkes, wakil penasihat pemerintahan Dalam Negeri dan Sekretaris Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Pustaka Rakyat). (Soerjosoeparto 2017: xx) Akhirnya Soerjosoeparto mendapatkan kesempatan untuk belajar di negeri Belanda.
Pada 2 Juni 1913 dimulailah perjalanan dari Surakarta menuju Belanda melalui pelabuhan Semarang. Perjalanan dari Jawa ke Belanda ini kemudian dituangkan dalam kisah perjalanan berjudul Cariyos Kakesahan Saking Tanah Jawi Dhateng Nagari Walandi yang diterbitkan oleh Commissie voor de Volkslectuur di Batavia pada 1916 (Soerjosoeparto, 2017). Di Belanda semula ia tinggal di ‘s-Gravenhage, kemudian pindah ke Leiden. Ia belajar di Universitas Leiden dalam bidang sastra dan kebudayaan Timur (Wasino, 2014: 65).
Selama di Belanda ia menyempatkan diri untuk mengadakan perjalanan ke kota-kota penting di Eropa. Ia terpesona terhadap kota-kota dan kemajuan masyarakat Barat yang sangat kontras dengan keadaan masyarakat Hindia Belanda yang memprihatinkan. Selain belajar sastra Timur, pada awal 1914 Soeparto mulai masuk pendidikan militer di Den Haag. Pada 11 Mei 1915 ia mendapat keputusan dari Pemerintah Belanda untuk berlibur di Hindia Belanda dan tidak perlu mengikuti milisi (Wasino, 2014: 67-68).
Setelah kembali dari Negeri Belanda ia aktif kembali dalam organisasi Budi Utomo dan terpilih sebagai ketua perkumpulan pergerakan itu pada 1915. Melalui Budi Utomo ia mendapat kesempatan untuk menyumbangkan pemikirannya tentang kemajuan rakyat dan bangsanya. Selain itu, ia juga aktif kembali dalam surat kabar Darma Kandha yang merupakan corong pergerakan Budi Utomo. Bersamaan dengan kegiatannya di Budi Utomo itu, pada 1915 ia diangkat menjadi ajunct controleur urusan agraria di wilayah vorstenlanden. Enam bulan kemudian ia menggantikan kedudukan Mangkungara VI yang meletakkan jabatannya. Ia diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai penguasa praja Mangkunagaran pada 13 Maret 1916. Sebulan kemudian, pada April 1916 ia mendapat kepercayaan untuk menjadi Pelindung Tri Kara Darma yang didirikan pada 1915 (Wasino 2014: 68-69; Prabowo dkk. 2007: 130-132).
Mangkunagara VII menghadapi perubahan sosial politik dan sosial budaya di Hindia Belanda ketika memegang tampuk pemerintahan praja Mangkunagaran (1916-1944). Kebijakan negeri induk terhadap daerah jajahan lebih longgar, kemunculan organisasi kebangsaan (Sarekat Islam, Budi Utomo, Indische Partij, dan Indische Social Democratische Vereeniging), dan sikap Paku Buwana X terhadap keberadaan Mangkunagaran adalah beberapa perubahan sosial politik yang terjadi. Sementara itu, perubahan sosial budaya ditandai dengan semakin meresapnya paham dan gagasan-gagasan Barat dalam masyarakat Jawa (Wasino, 2014: 69). Dalam situasi sosial politik seperti itu ia memilih untuk bersikap moderat, yaitu memikirkan nasib rakyatnya dan tidak berani menentang Pemerintah Hindia Belanda (Wasino, 2014: 71).
Satu tahun setelah penobatannya, pada 21 Februari 1917, Mangkunagara VII menyampaikan pidato kepada kerabat Mangkunagaran, prajurit, dan narapraja, yang berisi komitmennya bahwa sebagai pemimpin praja Mangkunagaran ia harus menjadi teladan para kerabat, prajurit, dan penggawa, serta rakyat dengan kesungguhan dalam bekerja dan keluhuran budi. Ia harus memikirkan dan melaksanakan kebijakan untuk kemajuan Mangkunagaran (Bastomi, 1996: 93). Pengalaman-pengalaman selama pengembaraan dan pendidikan militernya di Belanda dijadikan sebagai pijakan dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan dan pembaruan Mangkunagaran.
Mangkunagara VII melakukan pembaruan dalam bidang keuangan, melanjutkan pendahulunya Mangkunagara VI. Ia juga melakukan pembaruan dalam birokrasi pemerintahan yang telah dirintis oleh Mangkunagara IV (memerintah 1853-1881). Dengan pembaruan keuangan dan birokrasi pemerintah dapat dilakukan pembangunan yang bertujuan untuk memajukan dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ia membangun infrastruktur berupa irigasi, waduk, jalan, dan jembatan. Infrastruktur lain yang dibangun adalah Partini Tuin sebagai tempat rekreasi dan olah raga, gedung-gedung perkantoran dan pertemuan, perpustakaan, kelurahan, kantor polisi, gedung-gedung sekolah, rumah sakit, dan poliklinik. Mangkunagara VII juga melakukan pembangunan dalam bidang pertanian dan kehutanan, melalui penerbitan peraturan agraria dan perbaikan cara bertani. Sejalan dengan reorganisasi agraria, pada 21 Februari 1917 Mangkunagara VII mencanangkan reboisasi untuk menghijaukan hutan-hutan Mangkunagaran guna kepentingan umum (Wasino, 2014: 161-183; Prabowo, 2007: 133).
Mangkunagara VII sangat memperhatikan pendidikan rakyatnya. Ia melanjutkan sekolah-sekolah yang dirintis oleh pendahulunya. Pembangunan bidang pendidikan dilakukan antara lain dengan pemberian motivasi untuk sekolah, pendirian sarana dan prasarana sekolah dalam berbagai jenjang dan bidang, dan pemberian beasiswa bagi siswa yang ingin sekolah namun terkendala dana (Wasino, 2014: 188-205). Perhatiannya dalam bidang pendidikan juga ditunjukkan melalui pembentukan perkumpulan kepanduan (1917) dan Kridha Mudha (1935) yang bertujuan untuk mendidik anak dan pemuda dalam kehidupan bermasyarakat (Bastomi, 1996: 98; Prabowo dkk., 2007: 133).
Mangkunagara VII juga memiliki perhatian yang besar terhadap bidang kebudayaan. Ia seorang pelindung seni yang kreatif. Ia adalah inisiator pembentukan Java Instituut (1919) yang bertujuan untuk memajukan perkembangan kebudayaan bumiputra. Java Instituut menyelenggarakan kongres kebudayaan dan bahasa dan menerbitkan Majalah Jawa, Poesaka Jawi, dan Poesaka Sunda. Di bawah kepemimpinannya, seni pertunjukan Mangkunagaran seperti wayang wong, langendriyan, bedhaya, srimpi, dan wireng mengalami pembaruan dan penyempurnaan (Prabowo dkk., 2007: 135-140). Perhatiannya dalam dunia seni pewayangan dan pedhalangan ditunjukan dengan pembentukan Pasinaon Dhalang Mangkunagaran (1931) dan penerbitan Serat Pedhalangan Ringgit Purwa sebanyak 37 jilid pada 1931-1936 (Mulyono, 1975: 213). Mangkunagara VII adalah budayawan yang berpandangan luas dan terbuka, yang dibuktikan dengan kesediaannya menerima unsur-unsur luar dan memiliki kepedulian terhadap hubungan antar budaya daerah (Prabowo dkk., 2007: 136).
Salah satu bidang yang juga tidak lepas dari perhatian Mangkunagara VII adalah penyiaran. Ia adalah perintis penyiaran di Indonesia (Wiryawan, 2011). Sebelum Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM, Lembaga Siaran Radio Hindia Belanda) mulai mengadakan siaran resminya, di Surakarta sudah berdiri suatu pemancar radio Ketimuran, yaitu P.K.2 M.N. yang diusahakan oleh Perkumpulan Javaanse Kunstkring Mardi Raras Mangkunagaran yang mendapatkan dukungan dari Mangkunagara VII. Pada 1927 Mangkunagara VII memasang seperangkat pesawat penerima siaran untuk mendengarkan suara Ratu Wilhelmina secara langsung dari Belanda. Pada 1 April 1933 Mangkunagara VII dengan dukungan Ir. Sarsito Mangun Kusumo mendirikan stasiun radio dan membentuk Soloche Radio Vereeniging (SRV).
Di beberapa kota di Jawa juga dibentuk cabang-cabang SRV, yaitu Jakarta (1934), Bandung (1934), Surabaya (1934), Madiun (1934), dan Semarang (1936). Di Yogyakarta atas inisiatif kaum bangsawan dengan bekerja sama dengan SRV dibentuklah Mataramse Vereeniging voor Radio Omroep (MAVRO) pada 1934. Ketika menghadapi permasalahan-permasalahan siaran dengan NIROM, pada 1937 perkumpulan-perkumpulan radio Ketimuran ini bergabung bersama dalam suatu perhimpunan badan-badan penyiaran dengan nama Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) di bawah pimpinan Sutarjo Kartohadikusumo (Kementerian Penerangan, 1953: 14-15). Kiprah Mangkunagara VII telah menumbuhkan kebanggaan dan menjalin rasa kebangsaan yang kemudian menjadi modal untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Penulis: Dhanang Respati Puguh
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.
Referensi
Bastomi, Suwaji (1996) Karya Budaya K.G.P.A.A. Mangkunegara I-VIII. Semarang: IKIP Semarang Press.
Kementerian Penerangan (1953) Sejarah Radio di Indonesia. Djakarta: Djawatan Radio Republik Indonesia.
Mulyono, Sri (1975) Wayang: Asal-usul, Filsafat & Masa Depannya. Jakarta: Penerbit Alda.
Prabowo, Wahyu Santoso, Hadi Subagyo, Soemaryatmi, Katarina Indah Sulastuti (2007) Sejarah Tari: Jejak Langkah Tari di Pura Mangkunagaran. Surakarta: ISI Press.
Soerjosoeparto (2017) Kisah Perjalanan Pangeran Soeparto Jawa-Belanda 14 Juni-17 Juli 1913. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Wasino (2014) Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Wiryawan, Hari (2011) Mangkunegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia. Surakarta: Lembaga Pers dan Penyiaran Surakarta.