Menumbing Bangka

From Ensiklopedia

Pesanggrahan Menumbing adalah tempat beberapa pemimpin Republik Indonesia diasingkan oleh Belanda setelah Agresi Militer II pada 19-20 Desember 1948. Mereka adalah Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Mr. A. Gafar Pringgodigdo, Mr. Ass’at, Komodor Suryadarma, Mr. Ali Sastroamidjoyo, Mr. Mohammad Roem dan Haji Agus Salim.  Pada awalnya mereka semua akan ditempatkan di Pesanggrahan Menumbing, namun  karena alasan keamanan dan kondisi lingkungan yang  terlalu dingin khususnya bagi kesehatan Sukarno, Belanda  memindahkan Sukarno ke  Pasanggrahan Muntok atau dikenal juga sebagai Wisma Ranggam yang berjarak tempuh sekitar 16 km dari Menumbing. Bersama Sukarno, ikut serta H. Agus Salim, Mohammad Roem, dan Ali Sastroamidjojo. Tokoh-tokoh lainnya tetap berada di Menumbing.

Pesanggrahan Menumbing atau disebut juga Wisma Menumbing atau Istana Menumbing, namanya dilekatkan dengan nama bukit di mana pesanggrahan ini terletak di puncaknya, yaitu Bukit Menumbing. Bukit dengan ketinggian 445 meter dari permukaan laut ini menjulang di pinggiran kota tua Muntok yang kini menjadi ibukota Kabupaten Bangka Barat.

Sebagai nama bukit, Menumbing telah disebut dalam Suma Oriental karya Tome Pires yang ditulis pada 1512-1515, dengan sebutan “Monomby”. Menurut Mary F. Somers Heidhues dalam buku “Bangka Tin and Muntok Pepper” (1992), bagi pelaut di masa lalu, Monomby memiliki posisi penting karena menjadi patokan yang mudah terlihat bagi pelayaran di selat yang memisahkan muara Sungai Musi di pulau Sumatera dengan pantai paling barat pulau Bangka.

Pesanggrahan Menumbing didirikan oleh Perusahaan Timah Belanda “Banka Tin Winning” (BTW) atas persetujuan J.G. Bijdendijk, kepala BTW pada masa itu. Pesanggrahan ini mulai dibangun pada tahun 1927, dan diresmikan pada   28 Agustus 1928 dengan nama berghotel (bukit peristirahatan) Menumbing. Pembangunan pesanggrahan dengan fasilitas mewah dan modern di masanya, pada awalnya dijadikan  tempat peristirahatan atau penginapan bagi pegawai BTW.  Untuk bisa menuju ke sana dibangun jalan aspal berliku menembus hutan bukit. Jalan ini hanya bisa dilewati satu mobil saja. Oleh karena itu, setiap kendaraan yang akan melintas diperlukan lebih dahulu konfirmasi antara pos jaga “atas bukit” dan pos jaga “bawah bukit” agar tidak ada kendaraan yang berpapasan.

Secara umum Pesanggrahan Menumbing terdiri dari tiga buah bangunan bergaya arsitektur de Stijl. Konsep de Stijl merupakan bentuk arsitektur sederhana dengan hanya menggunakan unsur garis lurus horisontal dan vertikal serta bentuk-bentuk persegi atau persegi panjang. Mazhab de Stijl berbeda dengan mazhab arsitektur lainnya yang berkembang di Hindia Belanda pada masa itu, yaitu Amsterdam School yang lebih mengedepankan bentuk geometris serta desain lebih rumit dan menggunakan berbagai jenis bahan dalam rancangannya.

Bentuk arsitektur bangunan di Pesanggrahan Menumbing sendiri memang sederhana, yaitu memiliki denah persegi panjang. Bangunan utama, yaitu gedung yang paling besar, merupakan bangunan dua lantai. Bagian atapnya dibuat datar berfungsi sebagai menara pandang sehingga lebih mirip benteng dengan pemandangan laut di kejauhan bawahnya. Bangunan dibuat dari bahan batu dan semen yang dicat warna putih, sebagaimana kekhasan gaya arsitektur de Stijl umumnya. Sedangkan dua bangunan lainnya berfungsi sebagai gudang dan pos penjaga. Di sekitar pasanggrahan terdapat banyak lembah curam dengan pepohonan yang tinggi menjulang dari sisi lembah.

Dalam buku “Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Bangka Belitung” karya Husnial Husin Abdullah, disebutkan bahwa hingga saat rombongan pertama (Mohammad Hatta, A.G. Pringgodigdo, As’aat, Suryadarma) dan rombongan kedua (Ali Sastroamidjojo dan Mohammad Roem) datang ke Pesanggarahan Menumbing, mereka tidur dalam satu kamar berukuran 6 x 6 meter berisi 6 tempat tidur di bangunan utama pasanggrahan. Terdapat pula ruang tamu berukuran 4 x 10 meter yang dibatasi pagar kawat. Terdapat 2 meja dan beberapa kursi di dalamnya. Para tokoh bangsa ini tidak boleh keluar dari ruangan-ruangan tersebut, kecuali naik ke ruangan terbuka di tingkat atas. Akan tetapi setelah anggota Komisi Tiga Negara (KTN) akan datang meninjau pada 12 Januari 1949, suasana berubah. Kursi dan meja bertambah, pagar kawat dalam ruangan tidak ada lagi dan para tokoh ini diberi kebebasan untuk pergi kemana saja. Sukarno dan H.Agus Salim sendiri baru datang ke Bangka satu bulan setelah KTN datang ke Bangka.

Kini, Pesanggrahan Menumbing telah diputuskan sebagai bangunan cagar budaya. Isi dalam gedungpun tidak lagi mengikuti formasi aslinya. Di dalam bangunan utama misalnya, terdapat mobil sedan Ford hitam berplat nomor BN10 yang pernah digunakan oleh para tokoh bangsa saat diasingkan ke Muntok.

Penulis: Abdurakhman
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum


Referensi

Abdullah, Husnial Husin. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Bangka Belitung. Jakarta : Karya Unipress. 1983.

Cortesao, Armando Z. Suma Oriental Karya Tome Pires : Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues. Terj. Yogyakarta : Ombak. 2018.

Heidhues, Mary F. Somers. Bangka Tin and Muntok Pepper. Singapura : ISEAS. 1992.

Pusat Dokumentasi Arsitektur. Tegang Bentang - Seratus Tahun Perspektif Arsitektural di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2012.