Ali Sastroamidjojo

From Ensiklopedia

Ali Sastroamidjojo (1903–1975) adalah seorang tokoh nasional yang menduduki berbagai jabatan di dalam pemerintahan Republik Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang berlangsung pada tahun 1953–1955 dan dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada tahun 1956–1957. Pada masa pemerintahannya, melalui keterlibatan di dalam forum internasional, ia menginisiasi penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 (Utama, 2016: 20). Selain itu, Ali Sastroamidjojo juga sempat menduduki berbagai jabatan di dalam beberapa kabinet, antara lain Kabinet Presidensial, Kabinet Amir Sjarifudin I, Kabinet Amir Sjarifudin II, Kabinet Hatta, serta Kabinet Dwikora.

Ali Sastroamidjojo lahir di Grabag, Magelang, Jawa Tengah, 21 Mei 1903, dari pasangan R. Sastroamidjojo dan Kustiah. Ayahnya adalah seorang wedana di wilayah Temanggung, sedangkan ibunya memiliki hubungan kekerabatan dengan Bupati Magelang (Sastroamidjojo, 1974: 1). Semasa muda, ia menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), yang kemudian dilanjutkan di Hogere Burger School (HBS) (Sastroamidjojo, 1974: 8).

Selepas tamat sekolah, Ali Sastroamidjojo pergi ke Belanda untuk menempuh pendidikan tinggi. Ia menamatkan pendidikan sarjana hukum di Universitas Leiden, Belanda, dan mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Mr.) pada tahun 1927. Selama menempuh studi di Belanda, bersama-sama dengan Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sukiman Wirjosandjojo, dan beberapa pelajar Indonesia lainnya, Ali Sastroamidjojo aktif di dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (Ricklefs, 2008: 222). Organisasi tersebut bertujuan untuk mempersiapkan anggotanya untuk menjadi pemimpin politik, serta mengabarkan kondisi Hindia Belanda kepada masyarakat di Belanda (Cribb dan Kahin, 2004: 338).

Aktivisme Ali Sastroamidjojo di dalam berbagai organisasi mendapatkan reaksi keras dari pemerintah Belanda. Pada tahun 1927, bersama dengan beberapa pelajar Indonesia lainnya, ia ditahan oleh pihak Belanda dengan tuduhan upaya mendorong perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan Belanda di Hindia Belanda. Setelah lima bulan di dalam tahanan, ia kemudian dibebaskan setelah melalui proses pengadilan di Den Haag (Ricklefs, 2008: 222-3).

Pada tahun 1928, Ali Sastroamidjojo pulang ke Hindia Belanda dan terlibat di dalam pergerakan nasional. Ia bergabung dengan PNI (Partai Nasional Indonesia), organisasi politik yang didirikan oleh Sukarno pada tahun 1927 (awalnya bernama Perserikatan Nasional Indonesia), yang berhaluan nasionalis (Ricklefs, 2008: 221). Partai ini bertujuan untuk mencapai kemerdekaan sepenuhnya, serta mengedepankan asas non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pada periode tersebut, Indonesia sedang menghadapi represi politik yang kuat dari pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun-tahun sebelumnya, strategi politik organisasi-organisasi yang bersifat kooperatif tidak membuahkan hasil, sehingga banyak organisasi politik yang mengadopsi taktik yang bersifat non-kooperatif. Taktik baru tersebut menuntut kemerdekaan penuh, menolak gagasan keagamaan yang bersifat transnasional, serta menempatkan nasionalisme sekuler sebagai ideologi utama (Ricklefs, 2008: 219).

Pada masa kebangkitan nasionalisme di periode 1920-an, hingga berakhirnya masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Ali Sastroamidjojo terlibat aktif di dalam beberapa organisasi politik. Di tahun-tahun awal keterlibatannya di pergerakan nasional, ia menduduki keanggotaan PNI di Yogyakarta. Kemudian, seiring pembubaran PNI pada awal tahun 1930-an, Ali Sastroamidjojo bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia). Di periode yang sama, ia juga sempat menjabat sebagai pimpinan PBST (Perhimpunan Beambte Klas II Spoor dan Tram di Hindia Belanda), sebelum melepaskan jabatan tersebut pada bulan Juli 1933 (Ingleson, 2014: 211-212). Di dalam organisasi tersebut, ia secara aktif mempromosikan kegiatan serikat pekerja kereta api di dalam berbagai pertemuan, baik privat maupun publik.

Pada masa pendudukan Jepang di tahun 1942 hingga 1945, situasi politik di Indonesia berkaitan erat dengan jalannya Perang Dunia Kedua. Pemerintahan Pendudukan Jepang mengontrol dan memobilisasi sumber daya di Indonesia, hingga ke daerah pedesaan, untuk kepentingan perang di wilayah Pasifik (Kurasawa, 1973). Pada periode ini, seluruh organisasi politik tidak diperbolehkan untuk beroperasi, akan tetapi, gagasan nasionalisme semakin merebak seiring runtuhnya pemerintahan Hindia Belanda.

Pada masa Revolusi setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Ali Sastroamidjojo menduduki berbagai jabatan di dalam pemerintahan. Dalam kurun waktu 1947–1950, Ali Sastroamidjojo menjabat beberapa posisi menteri di dalam Kabinet Amir Sjarifudin dan Kabinet Hatta. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Duta Besar Amerika Serikat pada tahun 1950, dan sebagai Perdana Menteri di dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan II di tahun 1953–1955, dan di tahun 1956–1957. Selain itu, ia juga ditempatkan sebagai Duta Besar Indonesia untuk PBB pada tahun 1957 (Rocamora, 1970: 152).

Di dalam masa pemerintahan kabinetnya yang pertama, Ali Sastroamidjojo menggagas Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan pada tahun 1955. Di dalam berbagai forum yang diselenggarakan di Brussel, Colombo, dan Bogor, secara aktif Ali Sastroamidjojo menyampaikan pendapat mengenai pentingnya penyelenggaraan konferensi yang membangun solidaritas negara-negara di Asia dan Afrika (Wildan, 2016: 19-20). Kegiatan yang dihadiri oleh 29 negara Asia dan Afrika ini menempatkan Indonesia di dalam peta politik global (Ricklefs, 2008: 284).

Selepas pergantian kekuasaan di pertengahan tahun 1960-an, Ali Sastroamidjojo sempat ditahan karena dianggap memiliki kedekatan dengan Sukarno. Akan tetapi, penahanan tersebut tidak berlangsung lama dan ia dibebaskan dalam menempuh proses pengadilan (The New York Times, 1975). Ali Sastroamidjojo tutup usia pada 14 Maret 1975 di usia 72 tahun.

Penulis: Teuku Reza Fadeli
Instansi: University Of York
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Brown, Colin. (2003). A short history of Indonesia: The unlikely nation?. Allen & Unwin.

Cribb, Robert B., & Kahin, Audrey. (2004). Historical Dictionary of Indonesia (No. 51). Oxford: Scarecrow Press.

Ingleson, John. (2014). Workers, Unions and Politics: Indonesia in the 1920s and 1930s. Leiden Brill.

Kurasawa, Aiko. (1973). Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Grasindo.

Dr. Ali Sastroamidjojo is Dead: Indonesian Independence Leader. (1975, March 15). The New York Times.

Ricklefs, Merle C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200 (4th Edition). New York: Macmillan International Higher Education.

Rocamora, J. Eliseo. (1970). The Partai Nasional Indonesia 1963-1965. Indonesia, 10, 143–181.

Sastroamidjojo, Ali. (1974). Tonggak-Tonggak di Perjalananku. Jakarta: Kinta.

Utama, Wildan Sena. (2016). From Brussels to Bogor: Contacts, Networks and the History of the Bandung Conference 1955. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, 6(1), 11-24.

Vickers, Adrian. (2013). A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

https://setkab.go.id/kabinet-presidensial/ (diakses pada 18 Oktober 2021).