Moestafa Sjarief Soepardjo
Brigadir Jenderal Moestafa Sjarief Soepardjo (23 Maret 1923–16 Mei 1970) adalah seorang perwira militer Indonesia yang menuai kontroversi karena keterlibatannya pada Gerakan 30 September. Betapapun diketahui sebagai salah satu arsiteknya, Soepardjo diketahui sangat kritis terhadap aspek militer gerakan ini, yang membuahkan kegagalan alih-alih keberhasilan. Sikap kritis ini tidak menyelamatkan Soepardjo dari Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang memvonisnya dengan hukuman mati.
Soepardjo lahir di Gombong pada 23 Maret 1923. Pendidikan militer pertamanya adalah sebagai bintara Kaigun (AL Jepang) yang ia tempuh di Cilacap. Sekolah ini ia tempuh bersama Slamet Riyadi dan Sudomo yang kemudian menjadi Kepala Staf Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tidak ada yang mengetahui kariernya selama era revolusi. Oleh karena itu, ia diduga baru bergabung dengan Angkatan Darat pada tahun 1950.
Sebelum berdinas di Kalimantan Barat, Soepardjo tercatat bertugas di Divisi Siliwangi; salah satunya sebagai komandan Korem di Garut. Reputasi dari jabatan sebagai Danrem inilah yang mengantarkan Soepardjo menjadi perwira sekolah staf dan komando (SESKO) di Quetta, Pakistan pada 1963.
Sepulangnya dari Pakistan, Soepardjo ditugaskan di Kalimantan Barat sebagai Komandan Tempur II pada Komando Mandala (Kolaga) dalam rangka konfrontasi terhadap Malaysia. Dari medan operasi yang digaungkan oleh Sukarno melalui Dwi Komando Rakyat (Dwikora) inilah Soepardjo kemudian bergabung dengan Gerakan 30 September di Jakarta. Betapapun ia berposisi di medan laga, tak banyak yang bisa dilakukan oleh Soepardjo di perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak. Konon, meskipun sudah bersiaga, tak banyak perintah aksi yang diterima oleh Soepardjo.
Awalnya, kepulangan Soepardjo ke Jawa didasari oleh alasan keluarga. Namun, selagi di Jawa, ia menjalin kontak dengan tokoh-tokoh yang terlibat dengan G30S. Tokoh-tokoh ini antara lain adalah Sjam Kamaruzamman, Pono, dan Sudisman. Dukungan Soepardjo terhadap G30S juga ditunjukkan dengan turut pada perlawanan terhadap Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Ketidakberhasilan G30S mendorong Soepardjo untuk memberikan analisa kritis terhadap gerakan ini. Setidaknya terdapat tiga catatan yang Soepardjo tuliskan di dalam karya yang berjudul Beberapa Pendapat Jang Mempengaruhi Gagalnja “G-30-S” dari Sudut Pandang Militer (1966). Pertama, para pemimpin gerakan meremehkan efek kelelahan yang mereka alami semalam sebelum hari-H operasi. Kelelahan ini, menurut Soepardjo, mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengambil keputusan. Kedua, dukungan dan rencana operasi terlalu dangkal, sulit dipahami, dan tidak disiapkan secara matang. Ketiga, para pendukung operasi menaksir kemampuan pemimpinnya dengan terlalu tinggi, betapapun banyak fakta yang menunjukkan ketidaksesuaian antara ekspektasi dengan realita di lapangan.
Betapapun berpangkat tinggi, Soepardjo tetap diringkus oleh tentara, tepatnya Kodam Jaya, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Amir Machmud melalui Operasi Kalong. Setelah di sidang oleh Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), Soepardjo dieksekusi pada 13 Maret 1967.
Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Bachtiar, Harsja W. Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Jakarta: Penerbit Djambatan, 1988.
Pour, Julius. Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang. Indonesia: Penerbit Buku Kompas, 2010.
Pusat Data Tempo. Suasana 1 Oktober 1965, Setelah Pecah Pemberontakan G30S. N.p.: Tempo Publishing, 2020.
Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Indonesia: Institut Sejarah Sosial Indonesia, 2008.
Taufik Abdullah, et.al. Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian I Rekonstruksi dalam Perdebatan. Indonesia: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012.