G30S/Gestok Tahun 1965

From Ensiklopedia

Gerakan 30 September atau disingkat G30S adalah peristiwa penculikan dan pembunuhan enam orang Jenderal Angkatan Darat dan satu Letnan ajudan. Peristiwa ini terjadi di Jakarta sekitar dini hari tanggal 1 Oktober 1965 dan berlangsung kurang dari 48 jam. Oleh karena itu, Presiden Sukarno memilih untuk menyebutnya dengan Gerakan Satu Oktober atau Gestok (Kammen & McGregor 2012: 3). Tiga Jenderal dibunuh saat penculikan berlangsung di rumah mereka, sedangkan tiga Jenderal lain dan satu ajudan dibunuh di area perkebunan (Anderson 1987: 112). Jasad mereka kemudian dibuang di sebuah sumur tua di daerah bernama Lubang Buaya. Penculikan dan pembunuhan tersebut dilakukan oleh beberapa perwira Angkatan Darat (John Roosa 2012: 27), Angkatan Udara, dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta organisasi sayapnya. Bagi mereka, khususnya pimpinan PKI, tujuan gerakan tersebut adalah menyelamatkan Negara/Presiden Sukarno dari apa yang disebutnya sebagai kudeta para Jendral Kanan (Dewan Jenderal) (van der Kroef 1972: 277). G30S berakhir setelah Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) berhasil mengambil alih markas para pemimpin gerakan di sekitar Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), Halim Perdanakusuma pada pagi hari tanggal 2 Oktober 1965.

Gerakan 30 September dipimpin oleh 3 orang perwira militer dan 2 orang sipil. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Sutopo, Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden), Kolonel Abdul Latief (Garnisun Angkatan Darat Jakarta Kodam Jaya), Mayor Soejono (Komandan Pasukan AURI), Sjam Kamaruzaman, dan Supono Marsudidjojo dari organisasi klandestin, Biro Khusus, yang dipimpin oleh ketua PKI D.N. Aidit (Roosa 2008: 60). Kelimanya dikabarkan beberapakali mengadakan pertemuan rahasia menjelang eksekusi gerakan (Poesponegoro & Notosusanto 1984: 390; Crouch 2007: 110). Pertemuan mereka diduga membahas strategi penculikan para Jenderal.

Letkol Untung bertindak sebagai pemimpin lapangan (komandan) berkumpul bersama pasukannya pada malam 30 September di daerah Lubang Buaya. Pasukan kemudian dibagi menjadi tujuh kelompok sesuai dengan jumlah Jenderal yang menjadi target penculikan (Roosa 2008: 55). Sedangkan pemimpin gerakan yang lain bermarkas di Gedung Survei Udara—kemudian berpindah ke rumah seorang perwira udara—yang berada di pangkalan AURI, Halim Perdanakusuma (sebelah utara Lubang Buaya) sekitar pukul 02.00 (Crouch 2007: 100). Mereka juga seringkali melakukan komunikasi melalui kurir dengan ketua PKI, D.N. Aidit yang juga berada di sekitar pangkalan udara Halim (Roosa 2008: 63). Sekitar pukul 03.00, ketujuh kelompok pasukan tersebut berangkat menggunakan truk dan beberapa kendaraan lain menuju ke lokasi tujuan masing-masing. Target pasukan G30S adalah :

  1. Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani
  2. Deputy II Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal R. Soeprapto
  3. Deputy III Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo
  4. Asisten I Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Siswondo Parman
  5. Asisten IV Panglima Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan
  6. Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo
  7. Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Jenderal Abdul Haris Nasution (Poesponegoro & Notosusanto, 1984: 390 & Anderson & McVey, 1971: 12-18).


Ketiga jenderal tewas saat penculikan di rumah masing-masing. Jenderal Yani melakukan perlawanan karena dilarang untuk mengganti pakaian dan kemudian salah satu pemimpin pelaku memerintahkan untuk menembak. Tujuh peluru panas dilepaskan ke arah pintu kamar Jenderal Yani dan berhasil membunuhnya. Jasadnya kemudian diseret dan dilemparkan di salah satu kendaraan yang dibawa oleh pelaku (Anderson & McVey 1971: 12-13). Nasib yang sama dialami oleh Jenderal Pandjaitan dan Jenderal Harjono. Keduanya melakukan perlawanan karena telah mengetahui niat jahat pasukan yang mengepung rumahnya. Jenderal Pandjaitan dan beberapa kerabatnya yang tinggal satu rumah melakukan perlawanan karena menduga bahwa para pelaku adalah perampok bersenjata. Sedangkan Jenderal Harjono mencoba melawan dengan merebut senjata dari pelaku yang mencoba masuk ke kamarnya. Jenderal Pandjaitan dan Jenderal Harjono kalah dan kemudian ditembak mati (Anderson & McVey 1971: 15).

Semua kelompok pelaku membawa pesan yang sama kepada para jenderal, bahwa Presiden Sukarno ingin mereka menghadap dengan segera. Karena pasukan penculik menggunakan seragam Tjakrabirawa, beberapa jenderal tidak menaruh curiga berlebihan kepada mereka. Oleh karena itu, ketiga jenderal lainnya tidak melakukan perlawanan ketika pasukan penculik mendatangi rumahnya. Jenderal Soeprapto dibawa tanpa memberinya kesempatan untuk berganti pakaian. Jenderal Soetojo dengan kondisi tangan diikat kebelakang dibawa menggunakan truk. Sedangkan Jenderal Parman tanpa merasa curiga, diizinkan berganti pakaian dan mau dibawa oleh para pelaku (Anderson & McVey 1971: 14).

Namun, kelompok pasukan yang bertugas membawa Jenderal Nasution gagal melakukan tugasnya. Beliau berhasil melarikan diri dibantu oleh istrinya yang terlebih dahulu mengetahui ada pasukan hendak menculik suaminya. Beliau melompati pagar tembok rumah dan bersembunyi di rumah tetangganya, yaitu  rumah Duta Besar Iraq. Para pelaku justru membawa ajudan yang dianggap mirip dengan Jenderal Nasution, yaitu Letnan Satu Pierre Andreas Tendean. Tembakan para pelaku juga mengenai putri beliau yang berusia 5 tahun yaitu, Adik Irma Suryani, yang meninggal 5 hari kemudian. Enam jenderal dan 1 ajudan berhasil dilumpuhkan selanjutnya dibawa ke perkebunan karet untuk dieksekusi dan dibuang ke Lubang Buaya (Poesponegoro & Notosusanto 1984: 390; Roosa 2008: 56).

Setelah mendapatkan informasi bahwa pasukannya berhasil membawa para korban ke Lubang Buaya, para pemimpin gerakan kemudian mengutus perwakilan untuk menemui Presiden Sukarno. Brigjen M.A. Supardjo, Kapten Sukirno dari Batalyon 454 dan Mayor Bambang Supeno dari Batalyon 530 bergerak menuju istana pada pukul 06.00 (Crouch 2007: 126). Namun, ketiganya gagal menemui presiden yang saat itu sedang berada di rumah istri ketiganya (Dewi Sukarno). Presiden Sukarno dicegah oleh Kolonel H. Maulwi Saelan (Pasukan Kawal Istana) untuk datang ke istana melalui komunikasi radio. Kolonel H. Maulwi Saelan melihat banyak pasukan tidak dikenal sedang berada di depan istana. Presiden Sukarno kemudian memutuskan menuju rumah istri keempatnya (Harjati) di kawasan Grogol dan melanjutkan ke pangkalan AURI di Halim Perdanakusuma. Presiden merasa lebih aman berada di pangkalan udara dan memudahkannya jika harus meninggalkan Jakarta secara mendadak (Selected Documents 1966: 145 & 155). Tiba pada pukul 09.00-09.30, presiden ditemui wakil komandan G30S yaitu Brigadir Jenderal M.A. Supardjo yang telah kembali ke Halim (Roosa 2008: 56-58; Crouch 2007: 100).

Sementara itu, Letnan Kolonel Untung dengan pasukan yang terdiri dari Batlyon 454 dan Batalyon 530 menduduki gedung pusat kominikasi, Radio Republik Indonesia (RRI), dan sekitar Lapangan Merdeka. Letnan Kolonel Untung mengumumkan melalui siaran RRI, dibawakan oleh penyiar, sekitar pukul 07.15 bahwa serangkaian gerakan mereka merupakan upaya melindungi presiden dan negara dari upaya kudeta. Kudeta tersebut akan dilakukan oleh para Jenderal Kanan atau yang disebut dengan Dewan Jenderal pada tanggal 5 Oktober 1965 (Anderson & McVey 1971: 20; Crouch 2007: 97). Selanjutnya akan dibentuk Dewan Revolusi Indonesia sebagai tindakan lanjut mendukung G30S disiarkan RRI sekitar pukul 14.00. Selain itu, Letnan Kolonel Untung menyerukan agar para perwira, bintara, prajurit Angkatan Darat, serta masyarakat sipil ikut mendukung G30S untuk mencegah Dewan Jenderal melakukan tindakan berbahaya. Dewan Jenderal yang gila akan kekuasaan, hidup dalam kemewahan, banyak melakukan korupsi, tidak peduli nasib rakyat sipil, dan penyelahgunaan kekuasaan lainnya harus diberantas. Oleh karena itu kemudian muncul dukungan terhadap G30S di wilayah lain (Selected Documents, 1966: 134-136).

Gerakan 30 September memantik gerakan hampir serupa di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Para perwira muda memberontak kepada para seniornya yang dinilai banyak melakukan penyimpangan. Mereka kemudian juga menguasai RRI Semarang dan melalui pimpinannya menyatakan sebagai panglima baru pada tanggal 1 Oktober. Sedangkan di Yogyakarta, penculikan serupa juga dilakukan oleh pasukan pimpinan Mayor Muljono yang menculik Kolonel Katamso dan stafnya, yaitu Letnan Kolonel Sugijono. Mereka diculik dari rumahnya dan kemudian dibunuh di wilayah kecil di utara Yogyakarta. Tindakan mereka didukung oleh penduduk sipil, terutama yang berafiliasi dengan PKI dan kemudian juga menduduki beberapa tempat penting di Yogyakarta. Melalui siaran RRI Yogyakarta, mereka juga mengumumkan dukungannya terhadap G30S. Beberapa perwira militer di Solo dan Salatiga juga menyatakan dukungan meskipun tidak melakukan tindakan seperti di Yogyakarta dan Semarang (Roosa 2008: 77-78; Anderson & McVey 1971: 46-48).

Kembali ke Jakarta, kekosongan posisi yang ditinggalkan oleh Jenderal Yani sebagai Panglima Angkatan Darat segera diambil alih oleh Mayor Jenderal Soeharto, Komandan Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat (Kostrad). Sebelumnya Jenderal Soeharto telah mengetahui tentang adanya penculikan dan penembakan sekitar pukul 06.30, 1 Oktober 1965, saat berada di kediamannya yang dekat dengan rumah para korban di Menteng (Roosa 2008: 79; Selected Documents 1966: 161). Rapat darurat yang diadakan oleh jenderal-jenderal dari Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) memutuskan untuk mengangkat Jenderal Soeharto menjadi panglima sementara. Sementara Presiden Sukarno yang masih berada di Halim mengangkat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai pengganti sementara Jenderal Yani (Selected Documents 1966: 151). Sukarno juga menegaskan bahwa komando tertinggi Tentara Republik Indonesia masih dipegang langsung oleh dirinya sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Jenderal Soeharto memulai tindakan menumpasan G30S dengan membersihakan pasukan Letnan Kolonel Untung di gedung pusat telekomunikasi, RRI, sekitar istana dan Lapangan Merdeka. Kedua kelompok pasukan, yaitu Batalyon 530 dan Batalyon 454 di perintahkan untuk menyerahkan diri. Karena ketua dari kedua Batalyon tidak melakukan komunikasi dengan baik dengan para pemimpin mereka yang berada di Halim, mereka tidak memiliki banyak pilihan akan perintah Jenderal Soeharto. Batalyon 530 menyerah kepada Kostrad pada siang hari dan Batalyon 454 memutuskan untuk kembali menuju Halim pada sore hari (Roosa 2008: 81). Lapangan Merdeka, gedung telekomunikasi, dan RRI dapat direbut oleh pasukan Soeharto pada pukul 18.00. Jenderal Soeharto kemudian mengumumkan telah mengatasi pasukan G30S melalui siaran RRI pada pukul 21.00 (Crouch 2007: 99).

Tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto adalah menangkap para pimpinan G30S yang bermarkas di Halim. Jenderal Soeharto melarang siapapun perwira Angkatan Darat untuk pergi ke sana, bahkan jika mereka diperintahkan oleh Presiden Sukarno yang berada di Halim. Presiden Sukarno sibuk berunding dengan para pimpinan gerakan dan membujuk untuk menghentikan aksinya. Sementara Jenderal Soeharto memberikan peringatan kepada Presiden Sukarno untuk segera meninggalkan Halim karena pasukannya akan menyerang pada pukul 20.00 (Crouch 2007: 131). Presiden kemudian memutuskan untuk pergi dari Halim dan menuju ke Istana Bogor (Selected Documents 1966: 146). Namun, serangan yang direncanakan oleh Jenderal Soeharto tertunda beberapa jam hingga dini hari tanggal 2 Oktober dikarenakan ada kabar bahwa perwira AURI akan melakukan serangan balik ke markas Kostrad.

Para pemimpin G30S akhirnya meninggalkan persembunyian mereka di Halim dan berpindah ke Lubang Buaya pada tanggal 2 Oktober dini hari. Kemudian, masing-masing mereka melarikan diri seiring dengan kedatangan pasukan dari RPKAD yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edie. Menurut Jenderal Soeharto, pasukannya berhasil mengambil alih markas pemimpin G30S pada pukul 06.10 pagi tanpa adanya tembak-menembak (Selected Documents 1966: 172). Sjam Kamaruzaman, Kolonel Abdul Latief, dan Brigadir Jenderal Supardjo menuju pusat kota, Letnan Kolonel Untung dan prijurit kawal istana menuju Jawa Tengah, sedangkan D.N. Aidit dan Laksamana Madya Omar Dani terbang menuju Yogyakarta dan Jawa Timur ( Roosa 2008: 83-84; Crouch 2007: 133).

Berdasarkan penggalian informasi dan tindakan intelejensi, informasi lokasi keenam jenderal korban penculikan akhirnya diketahui pada tanggal 3 Oktober 1965 malam di Lubang Buaya. Tepatnya di sebuah lubang menyerupai sumur dengan kedalaman sekitar 12 meter dan lebar 1 meter. Pengangkatan jenazah dilakukan keesokan harinya oleh pasukan RPKAD dan KKO-AL (Korps Komando Angkatan Laut) (Poesponegoro & Notosusanto 1984: 394; Selected Documents 1966: 159,175). Ketujuh jenazah kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RS Gatot Subroto) untuk dilakukan otopsi. Tim otopsi yang ditugaskan dibentuk oleh Jenderal Soeharto yang beranggotakan 2 orang dokter tentara dan 3 orang dokter sipil spesialis forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Anderson 1987: 109). Setelah selesai melakukan otopsi, pemakaman dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober 1965 di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Kemarahan masyarakat dan kebencian terhadap G30S meningkat setalah penemuan dan pengangkatan jenazah para Jenderal dimuat di media masa (Cribb 2001: 232). Muncul berbagai aksi anti-komunisme di masyarakat yang mempercayai bahwa PKI, organisasi afiliasi dan para simpatisannya terlibat dalam peristiwa G30S (Roosa 2020: 60-65). Penangkapan, pengerusakan, dan bahkan pembunuhan terhadap anggota PKI dan simpatisannya terjadi di beberawa wilayah, terutama di Jawa, Bali, dan Aceh. Satu persatu para pemimpin G30S akhirnya dapat ditangkap di tempat persembunyian masing-masing. Letnan Kolonel Untung ditangkap di Jawa Tengah pada tanggal 13 Oktober 1965, Kolonel Abdul Latief ditangkap pada 11 Oktober 1965 di Jakarta, Brigadir Jenderal Supardjo ditangkap pada 12 Januari 1967, Sjam Kamaruzaman ditangkap pada Maret 1967, D.N. Aidit ditangkap pada 22 November 1965  (Crouch 2007: 122, 137, 159; Roosa 2008: 21, 94, 97). Mereka kemudian diadili dalam Mahkamah Militer Luar Biasa  (Mahmilub).

Penulis: Fernanda Prasky Hartono
Instansi: Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.


Referensi

Anderson, B.R.  McVey, R.T. 1971. A Preliminary Analysis of The October 1, 1965, Coup in Indonesia. New York: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University.

Anderson, B. 1987. “How Did the Generals Die?”. Indonesia , Vol. 43.

Crouch, H. 2007. The Army and Politics in Indonesia. Jakarta & Kuala Lumpur: Equinox Publishing.

Cribb, R. 2001. “Genocide in Indonesia, 1965-1966”. Journal of Genocide Research, 3(2), pp. 219-239,

Kammen, D. & McGregor, K. “Introduction: The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68” dalam Kammen, D. & McGregor, K. edt. 2012. The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68. Honolulu: University of Hawai’i Press.

Roosa, J. “The September 30th Movement: The Aporias of The Official Narratives” dalam Kammen, D. & McGregor, K. edt. 2012. The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68. Honolulu: University of Hawai’i Press.

Roosa, J. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.

Roosa, J. 2020. Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia. Wisconsin: The University of Wisconsin Press.

Kroef, J.M. Van der. 1972. “Origins of the 1965 Coup in Indonesia: Probabilities and  Alternatives. Journal of Southeast Asian Studies”, Vol. 3, Issue 02, pp. 277­-298.

Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI Edisi ke-4. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Tim Penulis. 1966. Selected Documents Relating to The ‘September 30th Movement’ and Its Epilogue, Indonesia, pp. 131-204.