Morotai

From Ensiklopedia

Morotai merupakan pulau di Kepulauan Maluku, tepatnya di utara Kepulauan Halmahera. Di sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah barat dengan Laut Sulawesi, sebelah timur dengan Laut Halmahera, dan sebelah selatan dengan Selat Morotai. Pulau Morotai sekaligus menjadi nama kabupaten yang termasuk dalam Provinsi Maluku Utara. Luas wilayah Pulau Morotai 4.301.53 kilometer persegi. Pulau Morotai terdiri dari 33 pulau kecil dengan 7 pulau berpenghuni dan 26 pulau tidak berpenghuni.

Nama Morotai menurut penduduk setempat berasal dari kata Morotia yang berarti tempat tinggal orang-orang Moro. Orang Moro dikenal sebagai orang misterius dan sulit dilihat dengan mata biasa. Namun, Pulau Morotai tidak memiliki penduduk asli. Ada dua suku yang saat ini menjadi penduduk Pulau Morotai yaitu suku Tobelo dan Galela dari Pulau Halmahera. Kedua suku tersebut merupakan penduduk mayoritas Pulau Morotai yang bermigrasi karena meletusnya gunung api di Halmahera. 

Pada abad ke-15 dan 16, Kesultanan Ternate memiliki pengaruh di Pulau Morotai. Pada pertengahan abad ke-16, Morotai menjadi tempat misi para jezuit dari Portugal. Kesultanan Ternate dan Halmahera berusaha mencegah upaya di pulau tersebut. Pada 1571 para jezuit Portugis meninggalkan pulau Morotai (Usman 2006:112,125, 127)

Pada bulan Desember 1942 pasukan Jepang dengan kekuatan satu batalyon disertai berbagai jenis kendaraan tempur dan persenjataan menguasai Pulau Morotai. Pasukan Jepang lalu membangun jaringan jalan, listrik, landasan pesawat, dan lubang-lubang pertahanan. Ada dua lapangan terbang yang dibangun yaitu SP2 di lokasi yang saat ini dikenal sebagai daerah transmigrasi dan di MTQ Morotai selatan. Dalam pembangunan infrastruktur tersebut, pasukan Jepang melibatkan penduduk Morotai yang dipekerjakan secara paksa (romusha). Para pekerja paksa itu mendapat upah sebesar 5 sen dan dipotong pajak sebesar 4 sen (Mansyur 2013: 4-5).

Angkatan Laut Amerika Serikat pimpinan Jenderal Douglas MacArthur kemudian mengambil alih pulau Morotai yang mendapat julukan “Mutiara di Bibir Pasifik” pada 15 September 1944 (Het Vaderland 18/9/1944). MacArthur membawa 3.000 pesawat tempur dan pengebom beserta batalyon tempur. Morotai merupakan pijakan pertama Jenderal Douglas MacArthur yang berjanji “I Shall Return” setelah dipukul mundur oleh pasukan Jepang di Filipina.

Pulau Morotai dijadikan sebagai pusat pertahanan dan pangkalan militer pasukan Sekutu yang dimotori Amerika Serikat untuk menghadapi Pasukan Jepang  di Kawasan Pasifik (Lupitasari 2021: 32). Letaknya yang dekat dengan Filipina dan berada di sisi barat Samudera Pasifik menjadi alasan dipilihnya pulau tersebut. Pulau Morotai menjadi landasan serangan pasukan Sekutu ke Filipina pada awal 1945 dan Borneo timur pada bulan Mei dan Juni 1945 (De Volkskrant 10/9/1945).

Pada periode September 1944 hingga Agustus 1945 masyarakat Morotai mulai mendengar suara mesin pesawat tempur, kapal perang, tank, jip, hingga truk yang mengangkut pasukan Sekutu. Penduduk Morotai yang sebelumnya adalah nelayan atau petani direkrut menjadi tentara pembantu sekutu. Mereka membuka lahan, membangun rumah sakit, membangun lapangan terbang, membangun jalan-jalan berlapis aspal beton untuk kepentingan pasukan Sekutu. Lapangan terbang yang dibangun memiliki tujuh landasan yang dibuat dengan mengeraskan batu karang dengan minyak hitam (Mansyur 2013: 6).

Penulis: Achmad Sunjayadi
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum


Referensi

n.n. 1944. Amerikaansche landingen op Pililioe en Morotai. Het Vaderland, 18 September. Hal 1.

n.n. 1945. Japanse Overgave in Ned-Indie. De Volkskrant, 10 September. Hal 1.

Lupitasari, Agustina Rizki (ed). 2021. Jejak Kota dan Peradaban. Rempah dan Morotai, Magnet Maluku Utara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Mansyur, Syahrudin. 2013. Tinggalan Perang Dunia II dan Konseptualisasi Museum di Morotai. Kapata. Jurnal Arkeologi 9 (1), 1-12.

Usman, Jaelan. 2006. ‘Konflik dan Perubahan Sosial: Studi Sosiologi Politik di Maluku Utara’. Disertasi Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.