November Belofte

From Ensiklopedia

November Belofte atau Janji November adalah sebuah pidato yang berisi janji dari Gubernur Jenderal Johan Paul Graaf Van Limburg Stirum. Pidato tersebut disampaikan oleh Van Limburg Stirum pada tanggal 18 November 1918. Dalam pidatonya, Stirum menjanjikan adanya pembaruan pemerintah kolonial Hindia Belanda termasuk perubahan sturuktur pemerintahan. Janji tersebut dikeluarkan lantaran adanya dorongan dari kondisi perekonomian Hindia Belanda yang sempat stagnan setelah berakhirnya Perang Dunia I. Secara singkat, isi dari janji tersebut adalah sebagai berikut:

“Segala aturan yang kurang baik sebagaimana telah diucapkannya di muka siding-sidang Volksraad akan ditiadakan. Dalam usaha itu hendak dibentuk suatu panitia, yang akan melakukan pemeriksaan tentang keadaan dan perhubungan-perhubungan di dunia gula. Kepada menteri jajahan telah disampaikan permintaan supaya bunyi pasal 111 Regeeringsregelement yang membatasi hak-hak berkumpul dan bersidang ditinjau kembali. Aturan memberi makan kepada tentara, hal ihwal didalam tangsi, hal tentara yang tidak memuaskan, dan hal hukum tentara yang pincang, akan diperbaiki. Meskipun pemerintah hanya dengan hati enggan menggunakan hak-haknya yang tidak terbatas (exorbitant rechten), ia terpaksa melakukan kehendak pasal 45 R.R (pembuangan, internering, atau externering) kepada semua orang, yang terus menerus berusaha hendak melemahkan alat-alat kekuasaan, apalagi pada musim genting, meskipun telah berulang-ulang diperingatkan” (Ensiklopedi Nasional Indonesia 1990: 315).

Dalam Janji November, Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum berbicara mengenai haluan baru, perubahan hubungan, mempercepat perkembangan dan kebutuhan akan perubahan sosial serta kesejahteraanyang lebih besar. Ia juga membentuk sebuah komisi untuk memberi nasehat mengenai perubahan konstitusi Hindia-Belanda (Sutherland 1983: 161). Dalam arahan tersebut, Van Limburg Stirum berusaha meyakinkan Volksraad bahwa rakyat pribumi akan diikutsertakan sebanyak-banyaknya dalam Pemerintahan Hindia Belanda, serta akan diberi lebih banyak wewenang mengatur rumah tangganya sendiri.

Dikeluarkannya Janji November tersebut menimbulkan reaksi yang beragam. Dari kalangan pribumi, H.O.S Tjokroaminoto menyampaikan mosi pada tanggal 25 November 1918. Mosi tersebut berisi tentang keinginan adanya perubahan besar dalam pemerintahan dalam negeri, diperlukannya parlemen sendiri, dan adanya kerjasama antar pemerintah dengan perhimpunan politik dalam negeri. Mosi tersebut ditandatangani oleh Sastrowidjono, Dwidjosewojo, Cramer, Tjipto, Radjiman, Teeuwen, A. Muis, dan Thayeb. Sedangkan dari kalangan para pengusaha Belanda, mereka mendirikan partai politik yang bernama Politieke Ekonomische Bond (PEB) yang didirikan pada bulan Januari 1919. Anggota partai ini adalah para pengusaha besar, tokoh perekonomian, dan golongan eksekutif Belanda. PEB ini didirikan karena adanya kekhawatiran yang mendalam di kalangan orang-orang Belanda akibat makin gencarnya kaum pergerakan menuntut perbaikan di segala bidang kehidupan dan kenegaraan bagi rakyat terjajah.

Sementara itu, janji yang dikeluarkan oleh Van Limburg Stirum ini memicu reaksi keras dari Menteri Jajahan Idenburg. Ia menganggap bahwa janji tersebut tidak tepat dilakukan meskipun keadaan ekonomi menjadi lebih baik. Tugas utama pemerintah waktu itu ialah menunjukkan kepada rakyat bahwa penduduk di daerah jajahan wajib membuka tanahnya bagi ekonomi dunia. Hindia Belanda sebagai daerah koloni harus mandiri dalam menambah produksinya baik dari perusahaan maupun penduduk. Namun, sejak jabatan gubernur jenderal beralih ke tangan Fock yang sangat reaksioner, kondisi perekonomian pribumi semakin menurun. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi masyarkat Eropa-nya yang meningkat. Permasalahan terkait upah dan kontrak tanah menjadi masalah yang tidak mudah untuk diubah.

Salah satu hasil dari Janji November ini adalah pembentukan komisi yang akan menyelidiki kemungkinan ditetapkannya upah minimum di Jawa pada tahun 1919. Akan tetapi, usaha ini tidak berjalan dengan baik karena para pengusaha terutama pengusaha gula menolak ide penetapan upah minimum ini. Mereka beranggapan bahwa secara ekonomi penetapan upah minimum tidaklah realistis terhadap kondisi perekonomian Hindia Belanda pada saat itu. Jika upah dinaikkan, maka mereka terpaksa akan mengurangi jam kerja dan pemilik-pemilik modal besar akan pergi berinvestasi di negeri lain. Dengan demikian maka penetapan upah minimum tidak mungkin untuk dilakukan, diawasi, dan dijalankan. Penolakan keras yang diberikan oleh para pengusaha, pemilik kebun, asosiasi perusahaan, dan para pemilik modal membuat sang gubernur jenderal mengurungkan niatnya untuk menetapkan upah minimum bagi para buruh.

Penulis : Satrio priyo utomo


Referensi

Cahyono, Kahar S. "Janji November", Janji Penerapan Upah Layak Yang Tak Kunjung Ditepati. 4 November 2018. 3 Juni 2022. <https://www.koranperdjoeangan.com/janji-november-janji-penerapan-upah-layak-yang-tak-kunjung-ditepati/>.

Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT Cipta Adi Pusaka, 1990.

Sejarah Janji November Belofte 1918. 17 Agustus 2021. 3 Juni 2022. <https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/17/120000779/sejarah-janji-november-belofte-1918?page=all#:~:text=KOMPAS.com%20%2D%20Janji%20November%20Belofte,satunya%20dengan%20mengubah%20struktur%20pemerintahannya.>.

Sutherland, Heather. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan, 1983.