Oeang Republik Indonesia

From Ensiklopedia

Oeang Republik Indonesia atau disingkat ORI adalah mata uang pertama yang dimiliki Indonesia. Cikal bakal ORI dimulai ketika Menteri Keuangan A.A Maramis mengeluarkan dekrit dengan tiga putusan penting pada tanggal 29 September 1945. Salah sati isi dekrit tersebut adalah tidak mengakui wewenang pejabat Dai Nippon untuk menerbitkan dan menandatangani surat-surat perintah membayar uang dan lain-lain dokumen yang berhubungan dengan pengeluaran negara (Harsono dan Suharli 2020: 79). Tanggal 2 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan bahwa uang NICA tidak berlaku di wilayah Republik Indonesia. Pada 3 Oktober 1945, diumumkan Maklumat Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bahwa negara ini memiliki empat mata uang yang sah.

Bersamaan dengan dikeluarkannya maklumat itu, pemerintah berencana menerbitkan ORI. A.A Maramis kemudian membentuk Panitia Penyelenggara pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia pada 7 November 1945.  Panitia ini diketuai T.R.B. Sabaroedin dari Kantor Besar Bank Rakyat Indonesia (BRI). Semantara anggotanya terdiri dari H.A. Pandelaki, R. Aboebakar Winagoen, dan E. Kusnadi (Kementerian Keuangan);  M. Tabrani dari Kementerian Penerangan; BRI diwakili S. Sugiono, serta Oesman dan Aoes Soerjatna (wakil-wakil dari Serikat Buruh Percetakan) (Sekneg RI 1985: 112).

Pencetakan ORI dikerjakan setiap hari dari pukul 7 pagi  sampai pukul 22 malam dan dimulai pada bulan Januari 1946. Namun, pada Mei 1946, situasi keamanan mengharuskan pencetakan ORI di Jakarta dihentikan dan terpaksa dipindahkan ke daerah-daerah, seperti Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo. Hal ini yang menyebabkan, ketika ORI pertama kali beredar pada 30 Oktober 1946 yang bertandatangan di atas ORI adalah A.A Maramis, meskipun sejak November 1945 ia tidak lagi menjabat sebagai Menteri Keuangan (Warjiyo dan Solikin 2003: 31).

Pada waktu ORI beredar yang menjadi Menteri Keuangan adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara di bawah Kabinet Sjahrir III. ORI pertama dicetak oleh Percetakan Canisius dengan desain sederhana, dua warna dan memakai pengaman serat halus.

Dasar hukum penerbitan ORI adalah Undang-undang No. 17/ 1946 dan Undang-undang No. 19/ 1946 tentang Pengeluaran Uang Republik Indonesia. Dalam Undang-undang No. 19/ 1946 ditetapkan antara lain tentang nilai tukar ORI dengan uang Pendudukan Jepang dan standar emas yang digunakan untuk penukaran dengan mata uang asing. Dasar penukaran ORI terhadap uang Jepang adalah 1 rupian ORI setara dengan 50 rupiah uang Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura, dan 1 rupiah ORI setara dengan 100 rupiah Jepang untuk wilayah Sumatra. Standar emas digunakan untuk memberi dasar harga yang tetap atas ORI, dan sekaligus digunakan sebagai dasar perhitungan yang pasti terhadap mata uang asing (Nurhajarini 2006: 35).

Ada empat seri mata uang ORI. ORI I terdiri dari pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, ½ rupiah, 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah dan 100 rupiah. ORI II terdiri dari pecahan 5 rupiah, 10 rupiah, 25 rupiah dan 100 rupiah. ORI III terdiri dari tujuh jenis pecahan, mulia ½ rupiah hingga 250 rupiah. ORI IV terdiri dari empat pecahan. Untuk desain sendiri, tokoh yang paling sering tampil dalam desain uang kertas ORI adalah Bung Karno (Uno 2015).

Meski masa peredaran ORI cukup singkat, tetapi ORI telah diterima di seluruh wilayah Republik Indonesia dan ikut menggelorakan semangat perlawanan terhadap imperialis Belanda.

Penulis: Fikrul Hanif Sufyan
Instansi: STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan


Referensi

Sekretariat Negara RI (1989). 30 Tahun Indonesia Merdeka. Cet.9. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada.

Harsono, Suwito dan Michell Suharli (2020). ORIDA (Oeang Repubik Indonesia Daerah) 1947-1949. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Uno (2015). Oeang Nusantara. Bandung: Genera Publishing.

Warjiyo, Perry dan Solikin (2003). Kebijakan Moneter di Indonesia. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan  (PPSK) Bank Indonesia.  

Nurhajarini, Dwi Ratna, 2006. “Sejarah Oeang Repoeblik Indonesia”, dalam Jantra Vol. I, No. 1, Juni, hal. 32-39.