Kabinet Sjahrir

From Ensiklopedia

Kabinet Sjahrir berlangsung sejak 14 November 1945 hingga 27 Juni 1947 dalam tiga periode pemerintahan: Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 12 Maret 1946), Kabinet Sjahrir II (13 Maret 1946 - 2 Oktober 1946) dan Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947). Kabinet Sjahrir terbentuk di Era Revolusi Kemerdekaan, salah satu periode terpenting dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia.

Segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia memulai babak baru sebagai sebuah bangsa. Di tengah kondisi perekonomian yang masih belum stabil, ancaman pemberontakan di daerah sebagai akibat perbedaan ideologi, serta kegigihan Belanda yang hendak kembali berkuasa, Indonesia berupaya menata bangunan kenegaraan; menjadi negara efektif, kuat secara militer, dan memperoleh pengakuan dunia (Cribb 1990:95).

Sukarno dan Mohammad Hatta yang memperoleh kepercayaan, masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden, berupaya mewujudkan cita-cita tersebut dengan serangkaian kebijakan. Terdapat setidaknya tiga maklumat saat itu: Pertama, Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945, berisi ketetapan KNIP yang diubah menjadi lembaga legislatif. Sejak itu, KNIP berubah status dari suatu Badan Penasehat menjadi sebuah badan legislatif yang dalam program kerjanya dibantu oleh sebuah Badan Pekerja (Kahin 1950: 190-92).

Kedua, Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, berisi mengenai pembentukan partai-partai politik di Indonesia. Perubahan dari sistem partai tunggal menjadi sistem multi partai disambut antusias masyarakat. Sepanjang bulan November hingga Desember 1945, berdiri beberapa partai politik, seperti: Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Partai Sosialis Indonesia, PKI, Partai Kristen, Partai Katolik, Partai Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jelata (Kahin, 1950: 194-205; Noer, 2000:47-61; Karim, 1983: 57-105).

Ketiga, Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, berisi mengenai perubahan sistem pemerintahan dari sistem presidensial ke sistem demokrasi parlementer yang terwujud dalam pembentukan Kabinet Sjahrir. Selain sebagai upaya memperkuat konsolidasi antarelit politik Republik, kebijakan ini juga diambil seiring kehadiran tentara Sekutu yang menyebabkan terjadinya konflik di berbagai daerah, khususnya di Jawa dan Sumatera (Ricklefs 1993: 216-17). Sementara kebijakan pembentukan Angkatan Bersenjata, BKR (TKR) pada bulan September 1945 masih belum efektif menghalau dominasi Sekutu (Cribb 1990:96).

Pada masa Kabinet Sjahrir I seluruh menteri diangkat dari partai politik. Mereka tidak lagi bertanggung jawab kepada presiden, melainkan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Kabinet ini bekerja kolektif, dipimpin oleh Perdana Menteri yang berperan sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan. Sebagai Perdana Menteri, Sjahrir bercita-cita mewujudkan kemerdekaan RI yang merupakan jembatan untuk mencapai tujuan sebuah negara yang menjunjung kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, menghindari tekanan dan penghisapan, menegakkan keadilan, membebaskan bangsa dari genggaman feodalisme dan menuju pendewasaan bangsa. Tujuan tersebut sebagai upaya memperkuat program awal kabinet pertama RI (18 Agustus 1945 - 14 November 1945) pimpinan Sukarno-Hatta yang berbentuk Kabinet Presidensial.

Beberapa kebijakan yang dijalankan Kabinet Sjahrir I, antara lain: 1) Menyempurnakan susunan pemerintahan daerah berdasarkan kedaulatan rakyat; 2)  Mencapai koordinasi segala tenaga rakyat di dalam usaha menegakkan Negara Rakyat Indonesia serta pembangunan masyarakat yang berdasarkan keadilan dan perikemanusiaan. Termasuk dalam strategi yang dilancarkan adalah membina kembali peralatan-peralatan negara seperti Pamong Praja, Angkatan bersenjata dan kepolisian. Atas saran Sjahrir, pada 25 Januari 1946, Presiden Sukarno memutuskan untuk membentuk satuan tentara keamanan rakyat yang saat itu diberi nama Tentara Republik Indonesia (TRI) yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip militer internasional (Nasution 1978: 4).

Kebijakan lain yang diambil Kabinet Sjahrir I adalah mengeluarkan uang R.I pertama, disebut sebagai Oeang Republik Indonesia (O.R.I), untuk menggantikan uang Jepang dan Belanda. Kebijakan terakhir diambil seiring bertambah parahnya perekonomian Indonesia akibat blokade Belanda. Selain itu, dilancarkan pula agenda perbaikan kemakmuran rakyat, di antaranya melalui strategi pembagian makanan kepada masyarakat (Kahin 1952)

Kesemua kebijakan di atas lebih pada upaya konsolidasi ke dalam. Sedangkan untuk konsolidasi keluar, Kabinet Sjahrir I tetap mengandalkan politik diplomasi sebagai strategi utama. Kebijakan ini dalam perjalanannya bertahan hingga Kabinet Sjahrir III. Selain unutk memperoleh pengakuan dan bantuan dalam perjuangan mempertahankan RI, diplomasi juga dimanfaatkan untuk membuktikan kedaulatan dan kemampuan RI dalam berkomunikasi dan berhubungan dengan dunia internasional.

Segera setelah menjadi Perdana Menteri, dalam rentang bulan November dan Desember 1945, Sjahrir membangun diplomasi dengan Belanda. Namun strategi diplomasi dengan Belanda tidak serta merta disetujui oleh segenap elemen kelompok masyarakat, termasuk tokoh-tokoh nasional seperti Tan Malaka. Setelah Kabinet Sjahrir mengadakan perundingan dengan Belanda, Tan Malaka membentuk kelompok politik yang tangguh, Persatuan Perjuangan (P.P.), pada bulan Desember 1945. Didukung oleh lebih dari seratus organisasi politik, ekonomi, sosial, dan militer yang menentang kebijakan diplomasi (negosiasi) Kabinet Sjahrir atas Belanda, P.P berhasil melancarkan agenda politik yang membuat Sjahrir mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno. Namun, alih-alih memberikan kesempatan kepada P.P. membentuk kabinet baru, Sukarno justru menunjuk Sjahrir untuk membentuk kabinet keduanya. Segera setelah ia kembali menjabat sebagai Perdana Menteri untuk kedua kalinya, Sjahrir bertekad untuk membersihkan jalan untuk menjalankan kebijakannya. Untuk itu, pemerintah yang baru terbentuk mengamankan Tan Malaka dan beberapa anggota penting P.P. pada bulan Maret 1946 (Abdullah 2009: 147-148).

Sejak itu upaya diplomasi semakin gencar dilakukan oleh Sjahrir, dan bahkan menjadi kebijakan utama Republik. Pada bulan Maret 1946 Sjahrir mengadakan pertemuan rahasia dengan Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook atas dasar kedaulatan de facto Republik Indonesia (hanya sebatas pulau Jawa, Madura, dan Sumatera). Selain terkait kedaulatan Republik Indonesia, pertemuan juga menyepakati beberapa upaya Bersama Belanda-Republik untuk membentuk negara Indonesia federal di dalam suatu uni Belanda-Indonesia (Ricklefs 1993: 223).

Dalam upaya melanjutkan agenda yang telah disepakati kedua belah pihak, diadakan beberapa pertemuan dengan pihak Belanda, masing-masing pada 7, 14, dan 21 Oktober 1946, serta pada 4 November 1946. Namun belum ada titik temu dari serangkaian tersebut sehingga kedua negara sepakat untuk kembali mengadakan perundingan politik pada 12 hingga 15 November 1946 di Linggarjati. Dalam peristiwa yang kemudian dikenal sebagai “Perundingan Linggarjati” ini dihasilkan kesepakatan antara kedua belah pihak terkait posisi kedua negara, yaitu: 1) Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera; dan 2) Pemerintah Indonesia dan Belanda akan mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Negara Indonesia Serikat dihubungkan dengan Belanda dalam satu uni Indonesia-Belanda. Hasil kesepakatan baru ditandatangani oleh pemerintah kedua negara pada tanggal 25 Maret 1947 (Sanders 1980:274-86; Nasution 1978).

Selama berlangsungnya Kabinet Sjahrir, beberapa kebijakan diplomasi dilancarkan, di antaranya adalah “Diplomasi Beras” dengan negara India pada 1946. Diplomasi ini secara otomatis ditentang oleh pemerintah Belanda (Antara, 12 Agustus 1946: 4-5; Angkatan Bersenjdata, 14 April 1966). Diplomasi tersebut terlaksana berkat bantuan dari P.R.S. Mani, seorang yang sangat bersimpati kepada perjuangan rakyat Indonesia. Terkait dengan kebijakan Sjahrir tersebut, Hamid Algadri menulis, 

Diplomasi beras ini dijalankan oleh Sjahrir selain atas pertimbangan kemanusiaan, yakni membantu rakyat India dari ancaman kelaparan, juga dilakukan untuk memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa secara faktual Indonesia telah menjadi sebuah negara independen yang karenanya harus diakui oleh dunia internasional. Maka ketika Mani menjadikan kebijakan Sjahrir ini headline korannya pada tanggal 8 April 1946 dengan judul: ‘Itikad Baik Indonesia kepada India, P.M. Sjahrir Menawarkan Beras 500.000 ton’ , kebijakan tersebut diketahui oleh dunia luar dan akibatnya Belanda sangat marah atas peristiwa tersebut (Algadri 1991:5).

Kebijakan diplomasi lain yang dilancarkan Kabinet Sjahrir adalah dengan bergabung dalam konferensi bangsa-bangsa Asia pertama, Inter Asian Relations Conference, di New Delhi, India, pada awal bulan April 1947 (Salam 1990:50-1). Melalui berbagai diplomasi tersebut, diharapkan Indonesia menjadi negara yang bermartabat dan diakui oleh dunia Internasional.

Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Abdullah, Taufik (2009), Indonesia: Towards Democracy (Singapore: ISEAS, 2009)

Algadri, Hamid, Suka-Duka Masa Revolusi, Jakarta : Penerbit UI Press, 1991

Cribb, Robert (1990), Gejolak Revolusi di Jakarta, 1945-1949, (Jakarta: Grafiti)

Kahin, George McTurnan (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. New York: Cornell University Press.

Karim, M. Rusli (1983), Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang-Surut. Jakarta: CV. Rajawali. Cet. ke-1

Nasution, A.H. (1978). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Diplomasi Sambil Bertempur, (Bandung : Penerbit Angkasa), Cet.ke-1, Jilid 3

____________. (1978) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Periode Linggarjati, (Bandung : Penerbit Angkasa), Cet.ke-1, Jilid 4

Noer, Deliar (2000), Partai Islam di Pentas Nasional, Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965. Bandung: Penerbit Mizan. Cet. ke-2.

Ricklefs. M.C (1993), A History of Modern Indonesia, (Macmillan Southeast Asian)

Mani, P.R.S., Jejak Revolusi 1945, Sebuah Kesaksian Sejarah, (Terj.), Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1989, Cet. ke-1

Salam, Solikhin (1990), Sjahrir: Wajah Seorang Diplomat. Jakarta: Pusat Studi dan Penelitian Islam. Cet.ke-1.

Sanders, P. (1980). Sjahrir dan Perjanjian Linggarjati, dalam Rosihan Anwar (Ed), Mengenang Sjahrir, Jakarta: PT. Gramedia.

”Van Mook Setoedjoe, asal Sadja…..Gara-gara Beras lagi”., Antara, (Yogyakarta), 12 Agustus 1946,

“Kembalinya Seorang Anak Manusia, Blokade Belanda dapat ditembus”, Angkatan Bersenjdata, (Jakarta), 14 April 1966