Alexander Andries Maramis
Sang Penjaga Pancasila Alexander Andries Maramis adalah Pahlawan Nasional Indonesia yang terlibat aktif dalam proses pembentukan negara Republik Indonesia sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia juga ditunjuk sebagai Panitia 9, Menteri Keuangan, Duta Besar hingga kemudian menjadi Panitia Lima pada masa Orde Baru—panitia yang diminta untuk memberi penafsiran atas Pancasila. Peran yang diberikan kepadanya selalu dikerjakan dengan sepenuh hati, terutama pada saat “mengawal” Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, ia menjadi yang terdepan.
Alexander Andries Maramis lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 20 Juni 1897. Ia merupakan putra dari pasangan Andries Alexander Maramis dan Charlotte Ticoalu. Ia menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) di Manado lalu masuk sekolah menengah (Hogere Burger School, HBS) di Batavia lulus sekitar tahun 1918-1919 (Parengkuan, 1984: 23-25). Pendidikan yang ia dapatkan dari sekolah yang berbahasa Belanda tentunya memperlihatkan bagaimana status sosial keluarga Maramis pada waktu itu. Namun, meski memiliki keistimewaan bahkan diberi tempat dalam politik, ayah A.A. Maramis justru menolaknya, bahkan memilih untuk bekerja bagi rakyat yang membutuhkan. A.A. Maramis lalu berangkat ke negeri Belanda setelah lulus sekolah menengah di Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan pendidikan hukum di Leiden sesuai dengan harapan ayahnya agar meneruskan sikap dan pekerjaannya yang menolong warga masyarakat yakni jurusan hukum.
Pada masa-masa pendidikan di Belanda, A.A. Maramis tidak hanya belajar di perguruan tinggi, namun juga aktif dalam pergerakan. Karakter A.A. Maramis untuk memperhatikan nasib orang lain, semakin terasah setelah bertemu dan berkumpul dengan para pelajar lainnya yakni saat bergabung dengan perhimpunan Hindia, sebuah organisasi mahasiswa asal Indonesia, yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1922. Ia turut serta dalam perubahan mendasar dari organisasi tersebut bersama dengan Moh Hatta dan Ahmad Soebardjo (Poeze, 2008: 162).
Setelah masa studi di Leiden selesai, ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai seorang advokat atau pengacara. Adapun wilayah kerjanya mula-mula di Semarang, lalu di Jambi antara tahun 1938–1939 (Ibid. op.cit, 1984). Berdasarkan Beslit pemerintah kolonial No. 42 tanggal 12 Juli 1939, Maramis kemudian berpindah praktek sebagai pengacara ke Jakarta. Pada saat setelah kembali ke Jakarta inilah ia mulai bergabung lagi dengan organisasi pergerakan, dan mendirikan organisasi dengan pemuda-pemuda yang berasal dari Minahasa.
Sebagai seorang advokat yang bergelar Meester in de Rechten (Mr) lulusan Leiden, A.A. Maramis kemudian menjadi anggota Badan penyelidikan Oesaha-oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) kehadirannya dalam membentuk Undang-Undang Dasar 1945 menjadi kelebihan tersendiri dari para anggota yang hadir di BPUPK. Maramis hadir dalam Sidang BPUPK sebagai salah satu anggota yang merupakan representasi wilayah Indonesia Timur.
Perdebatan mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia telah muncul dari sejak dasar negara ini dibicarakan. Perbedaan paling mendasar dari pandangan adalah kelompok nasionalis dan Islam. Maka, untuk menjembatani perbedaan tersebut, dan agar lebih fokus pembahasan mengenai dasar negara ini, dibentuklah panitia sembilan yang anggota-anggotanya terdiri dari: Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, KH Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, Haji Agus Salim, Achmad Soebardjo, dan Mohammad Yamin (Sudiyo, 1997: 102).
Kehadiran A.A. Maramis dalam panitia 9—sebagai orang Kristen dan wakil dari Indonesia Timur—dan menyetujui isi dari syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu menjadi petunjuk penting bahwa ia tidak merasa didiskriminasi dari keputusan tersebut. Hanya saja, ketika muncul penolakan di luar Panitia 9 terhadap keputusan tersebut, Hatta kemudian melakukan rapat terbatas sebelum sidang PPKI untuk kemudian mengganti sila pertama, yakni kalimat: “Menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ ini kemudian dihilangkan, dan menghasilkan teks sila pertama: “Ketuhanan yang Maha Esa” (Matanasi, 2017).
Selain tergabung dalam perumus piagam Jakarta, peran penting A.A. Maramis dalam BPUPK adalah pada sidang hukum dasar tanggal 11 Juli 1945 mengenai penerapan hukum Trias Politica. Dalam usulan Maramis ini, Sukarno berpendapat bahwa Trias politica saja tidak cukup, karena sudah ketinggalan zaman. Maramis menambahkan dalam penjelasannya, bahwa penggunaan Trias Politica harus ditambah pula dengan peran kepolisian, Pangreh Praja serta kehakiman dalam asas dasar hukum. (Kusuma, 2004: 26; Kusuma, 2017: 32-52).Catatan pemikiran Maramis dalam sidang BPUPK yang penting lainnya adalah pokok pembahasan pada pasal 26 Bab 1 menjadi perhatian banyak pihak, yakni soal warga negara. Maramis berpendapat bahwa mengenai warga keturunan harus menjadi warga negara. Hal ini tentunya dapat dipahami karena istri dari A.A. Maramis sendiri adalah seorang peranakan Indo.
Peran penting A.A. Maramis selanjutnya adalah pengangkatan menjadi Menteri Negara dalam susunan kabinet presidensial pertama. Hari itu juga dalam keputusan pengangkatan yang lain, A.A. Maramis diangkat sebagai Wakil Menteri Keuangan. Ketika Dr. Sarnsi berhenti sebagai Menteri Keuangan maka pada tanggal 25 September 1945, ia diganti oleh Alex Maramis, sehingga ia menjadi Menteri Keuangan sebanyak dua periode, yakni pada kurun 26 September–14 November 1945 dan periode 3 Juli 1947–4 Agustus 1949. Dalam jabatan tersebut, Maramis menandatangani uang RI yang pertama yang disebut Oeang Repoeblik atau ORI (Parengkuan, Ibid: 69-70). Sebagai langkah awal untuk menyehatkan sistem moneter, maka Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis mengeluarkan sebuah maklumat pemerintah yang termaktub dalam Berita Republik Indonesia 1 Desember 1945, Tahun I No.2. Isinya sebagai berikut:
Departemen Keoeangan
Makloemat No.
- Segala UU dan/ataoe peratoeran tentang Oeroesan perbendaharaan keoeangan Negara, padjak, lelang, bea dan tjoekai, pegadaian, tjandoe dan garam, jang ditoeroet hingga sekarang, masih teroes berlakoe, ketjoeali djikalaoe ada atoeran baroe dari Pemerintah Repoeblik lndonesia. Segala soerat penagihan pioetang Negara (termasoek soerat penagihan padjak-padjak dan sebagainja), soerat gadai, soerat izin (lisens) untuk mengisap tjandoe dan oentoek pemakaian garam istimewa jang dikeloearkan oleh Pemerintah Balatentara Dai Nippon dahoeloe diakoei sah sebagai dikeloearkan oleh Pemerintah Repoeblik Indonesia.
- Segala UU dan/ataoe peratoeran tentang Oeroesan perbendaharaan keoeangan Negara, padjak, lelang, bea dan tjoekai, pegadaian, tjandoe dan garam, jang ditoeroet hingga sekarang, masih teroes berlakoe, ketjoeali djikalaoe ada atoeran baroe dari Pemerintah Repoeblik lndonesia. Segala soerat penagihan pioetang Negara (termasoek soerat penagihan padjak-padjak dan sebagainja), soerat gadai, soerat izin (lisens) untuk mengisap tjandoe dan oentoek pemakaian garam istimewa jang dikeloearkan oleh Pemerintah Balatentara Dai Nippon dahoeloe diakoei sah sebagai dikeloearkan oleh Pemerintah Repoeblik Indonesia.
- Segala soerat-soerat perintah membajar oeang jang oleh Pemerintah dahoeloe (Djepang) di Djawa diterbitkan sebeloem tanggal 1 boelan 10 tahoen ini, haroes diserahkan kepada pembesar-pembesar bangsa Indonesia jang memerintahkan pengeloearan itoe oentoek disahkan.
- Segala soerat-soerat perintah membajar oeang jang oleh Pemerintah dahoeloe (Djepang) di Djawa diterbitkan sebeloem tanggal 1 boelan 10 tahoen ini, haroes diserahkan kepada pembesar-pembesar bangsa Indonesia jang memerintahkan pengeloearan itoe oentoek disahkan.
Djakarta, 5 Oktober 1945
Menteri Keoeangan, Mr.A.A. Maramis.
(Parengkuan, Ibid.: 68-69)
Peran penting lain A.A. Maramis adalah saat ia menjadi anggota Panitia Lima pada tahun 1974-1975. Panitia Lima dibentuk dalam rangka Orde Baru ketika Soeharto ingin menafsirkan pancasila secara tunggal, setelah mereduksi Pancasila sebagai alat legitimasi berkuasa dengan menciptakan “musuh” negara dan bahkan rezim ini melakukan de-Sukarnoisasi dengan menarasikan peran Sukarno yang tidak besar dalam pembentukan dasar negara (Dhakidae, 2018). Namun, berbeda dari keinginan rezim Soeharto, rekomendasi Panitia Lima justru mengungkapkan bahwa ada banyak kesalahan mengenai sumber yang menjadi rujukan mengenai pembentukan dasar negara selama ini, dan seharusnya segera dikoreksi. Namun rekomendasi tersebut tidak diindahkan Soeharto (Dhakidae, Ibid, 2018: 29-30; Kusuma, 2017: 4-5).
A.A. Maramis termasuk kedalam anggota Panitia Lima ini meski saat itu berada di Swiss dengan kondisi kesehatan yang memburuk. Setelah menjadi Panitia Lima, A.A. Maramis kemudian kembali ke Indonesia untuk kembali ke keluarganya. A.A. Maramis meninggal dunia pada tanggal 31 Juli 1977 di Jakarta, dalam usia 80 tahun lebih satu bulan dan beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta Selatan.
Penulis: Anna Mariana
Referensi
Daniel Dhakidae, “Lima Bulan yang mengguncang Dunia: Kelahiran Pancasila, Proklamasi, dan Pendirian Negara-Bangsa”, Prisma vol.37, no.2, 2018.
MPB Manus dkk. Tokoh-tokoh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993.
F.E.W. Parengkuan, A.A. Maramis, S.H, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984.
Sudiyo dkk., Sejarah Pergerakan Nasional: dari Budi Utomo sampai dengan Pengakuan Kedaulatan, Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1997.
Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Jakarta: KPG, 2008
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Memuat Salinan Otentik Badan oentoek Menyelidiki Oesaha–Oesaha Persiapan Kemerdekaan), Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2004.
"Profil AA Maramis, Perumus Piagam Jakarta yang Jadi Pahlawan Nasional" selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-4777278/profil-aa-maramis-perumus-piagam-jakarta-yang-jadi-pahlawan-nasional
https://historia.id/ekonomi/articles/garis-hidup-a-a-maramis-P0poe/page/1
https://historia.id/ekonomi/articles/a-a-maramis-pejabat-republik-urusan-candu-vXZNR/page/1