Partai Tionghoa Indonesia
Partai Tionghoa Indonesia, selanjutnya disingkat PTI, adalah partai politik era Hindia Belanda yang berdiri pada 25 September 1932. Partai ini diprakarsai oleh Liem Khoen Hian, seorang Jurnalis peranakan, dan Ko Kwat Tiong, politikus yang juga anggota Volksraad (Bijllaart 1933:46).
PTI didirikan sebagai upaya masyarakat Tionghoa menjalin kerja sama dengan orang-orang Pribumi untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Masyarakat Tionghoa menganggap bahwa tujuan tersebut harus dicapai dengan memperkuat komunitasnya melalui sebuah partai politik dan menjadi bagian dari rakyat Indonesia. Bagi pendiri PTI, Hindia Belanda merupakan tanah air dan negeri bagi masyarakat keturunan negeri tirai bambu tersebut. PTI kerap berpartisipasi di segala lini baik melalui perjuangan politik di pemerintahan Hindia Belanda maupun bekerja sama dengan organisasi serta partai lain yang memiliki tujuan sama (Besnard 1932: 4).
Anggota PTI adalah masyarakat yang berasal dari etnis Cina keturunan Hindia Belanda. Ketentuan ini bisa dilihat dari surat kabar Het Vaderland Staat En Letterkundig Nieuwsblad (De Lang 1932: 2). Kendati begitu, PTI juga mengakomodir masyarakat non-Tionghoa ke dalam partai mereka dengan status sebagai anggota luar biasa. Secara organisatoris, PTI dipimpin Liem Khoen Hian sebagai ketua, Quince Thiam Ching dan Ong Liang Kok, masing-masing sekretaris dan bendahara. PTI memiliki tiga cabang yakni Surabaya, Malang, dan Semarang (Moerman 1933: 53).
Untuk menopang kehidupan dan perkembangan partai, PTI memanfaatkan surat kabar Sin Tit Po, di samping menjadikannya sebagai media perjuangan dalam menyuarakan suara-suara kritis terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Sin Tit Po adalah koran yang dipimpin oleh ketua PTI, Liem Khoen Hian, dan berperan sebagai organ internal PTI. Koran ini mendokumentasi sejarah pendirian dan ideologi yang dianut partai (Suryadinata 2010; 34).
Sikap nasionalisme PTI bisa dilihat dari aksi pertamanya bersama Ki Hajar Dewantara yakni menentang Wilde Scholen Ordonantie (Ordonansi Sekolah Liar). PTI juga merupakan salah satu partai yang menginisiasi dan membuka sekolah bagi semua kalangan tanpa memandang ras―antitesa dari lembaga pendidikan yang disediakan pemerintah Hindia Belanda yang terdiri dari kelas Europeanen, Timur Asing dan Pribumi. Gerakan-gerakan ini membuat PTI mendapat sambutan positif dari pemimpin-pemimpin pergerakan nasional lain seperti Budi Utomo (Sakti 2022: 28).
Pada tahun 1938, PTI diminta untuk bergabung dengan partai baru Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang didirikan oleh Sartono, Sanusi Pane, dan Mohammad Yamin. Meskipun memiliki cita-cita yang sama, tetapi secara kultural PTI tetap menjadi wadah orang-orang Tionghoa supaya bisa lebih berbaur dengan masyarakat Indonesia.
Gerindo sendiri dibentuk untuk menggabungkan partai Arab Indonesia dan Peranakan sehingga lebih mudah diterima masyarakat (Suryadinata 2010: 141). Ide ini sebetulnya diterima baik oleh PTI. Namun, sikap tersebut sempat menimbulkan polemik di internal PTI. Sejumlah anggota menganggap bahwa Gerindo tidak akan menerima setiap peranakan yang ingin menjadi anggota. Isu ini semakin meruncing manakala surat kabar De Locomotief, dan beberapa surat kabar lain yang terbit tahun 1939 memuat opini kalangan pribumi yang mengatakan bahwa “mengindonesiasi” orang asing tidak memberikan manfaat yang nyata bagi orang Indonesia (Wormser 1939:1).
Meski tetap mendapatkan kursi pada pemilihan dewan Kota Surabaya (Dieters 1939:1), pada akhir 1930-an PTI direbut oleh para intelektual, salah satunya Dr Tjoa Sik Len. Dia mengambil alih kepemimpinan PTI sekaligus redaksi Majalah Sin Tit Po (Suryadinata 1971: 94). Saat Pemerintahan Jepang menguasai Hindia Belanda pada 1942, semua partai politik dan kegiatan politik dibubarkan termasuk PTI (Sakti 2022: 31).
Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Bijllaardt, Van Den. 1933. Ontstaan En Ontwikkeling Der Staatkundige Partijen In Nederlandsch-Indie.Uitgave G. Kolff & Co. Batavia.
Moerman, J. 1933. De Chineezen In Nederlandsch-Oost Indië. Uitgave P. Noordhoff N. V. Groningen. Batavia.
Die, Ong. 1943. Chineeze in Nederlandsch- Indië: Sociografie Van Een IndonesischeBevolkingsgroep. Van GorcumandComp. Gorontalo.
A.P.A.A.A Besnard. "Nieuwe Chinese Politieke Partij". Sumatra Post. 24 Ste Jaargang, No. 230, 06 October 1932, h.4
C.W. Wormser. "Uit de Inheemsche Pers: De Indo ende Nationale Beweging.De Locomotief. 88ste Jaargang, No. 188, 15 Augustus 1939, h.1
Jan Dieters. "Indonesische Kroniek Aziatische arbeiders-organisaties bijeen". Het Volksdagblad: dagblad voor Nederland. 2e Jaargang, No. 581, 08 Maart 1939, h.1
.P.A.A Besnard. "Ruggesteun De Onafhankelijkheidsbeweging". De Sumatra Post. 6 October 1932. 24 Jaargang, No 230. h.4
Benlonje, W. 1939. “De Gerindo”. Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, h.3, Volume 44e Jaargang, No. 272. Nederlandsch-Indië
Lang, E. De. 1932. “Nieuwe Partij”. Het Vaderland Staat-En Letterkundig Nieuwsblad, h.2, Volume, Vierenzestigste Jaargang (64). Bureau ‘S-Gravenhage – Parkstraat 25
Suryadinata, L. (1971). Pre-War Indonesian Nationalism And The Peranakan Chinese. Indonesia, No. 11, P. 83–94.
Hanggara, A. (2018). Nasionalisme etnis Tionghoa di Indonesia. Equilibrium, 14(02).
Sakti, Tegar Bima, dkk. (2022). Dinamika Kehidupan Etnis Tionghoa Di Surabaya Sejak Kedatangan hingga Perang 10 November 1945 Di Surabaya. Lakeisha.
Suryadinata, Leo. (2014). Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Kompas Penerbit Buku.