Sanusi Pane

From Ensiklopedia
Sanusi Pane. Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P04-0042


Sanusi Pane adalah sastrawan terkemuka Indonesia pada masa kolonial sampai Indonesia merdeka. Ia lahir di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 14 November 1905. Ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru `di Mandailing. Sanusi Pane terdiri dari delapan bersaudara, dua di antaranya adalah juga tokoh nasional, yaitu Armijn Pane seorang sastrawan dan Lafran Pane yaitu aktivis dan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Sanusi Pane berpendidikan Barat, mulai dari Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Padang Sidempuan kemudian lanjut ke Europeesche Lagere School (ELS) di Sibolga. Selepas ini melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) di Padang dan Jakarta tahun 1922. Dari sini pendidikannya berlanjut ke Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool) Gunung Sahari, Jakarta, selesai tahun 1925. Setelah tamat, Sanusi Pane sempat mengajar di Kweekschool sebagai guru di Sekolah Pendidikan Guru di Gunung Sahari Jakarta sampai tahun 1931. Ketika menjadi guru ia berkesempatan mengunjungi India, yang kemudian berpengaruh besar terhadap pandangan pikiran budaya dan kesusastraannya. Sanusi Pane juga pernah menjadi guru di Lembang (1931-1933), Pemimpin Perguruan Rakyat di Bandung (1933-1934), dan guru Sekolah Menengah Perguruan Rakyat Jakarta (1934-1936.

Selain sebagai guru, Sanusi Pane menjadi redaktur beberapa surat kabar dan majalah, salah satunya majalah Timbul. Di majalah ini ia menulis kesusastraan, filsafat dan politik. Pada 1934 pekerjaan bertambah menjadi pimpinan surat kabar Kebangunan di Jakarta. Di masa berikutnya, tepatnya tahun 1941 menjadi redaktur di Balai Pustaka.

Balai Pustaka adalah lembaga yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam menyeleksi dan melakukan penyensoran terhadap produksi pengetahuan untuk pribumi Indonesia. Lembaga ini diprakarsai oleh D.A. Rinkes (awalnya bernama Komisi Bacaan Rakyat). Di dalam perkembangannya lembaga ini mengeluarkan semacam aturan yaitu Nota over de Volkslektuur dikenal dengan Nota Rinkes mengenai buku yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Aturannya adalah karya harus bersikap netral terhadap agama, memenuhi syarat budi pekerti yang baik, menjaga ketertiban, dan tidak boleh berpolitik (melawan pemerintah). Aturan ini mengakibatkan beberapa karya sastrawan direvisi atau tidak diterbitkan seperti misalnya karya Armijn Pane (Belenggu) dan Abdul Muis (Salah Asuhan) (Arief 2013).

Selain menulis, Sanusi Pane aktif di berbagai organisasi pergerakan seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond dan Gerindo, belakangan bergabung ke Partai Nasional Indonesia (PNI). Pergumulan dengan tokoh-tokoh pergerakan politik semakin mempertajam imajinasi Sanusi Pane dalam melihat lanskap politik dan budaya dalam kacamata sastra dan kisah drama yang diciptakannya.

Sumber: eksiklopedia.kemdikbud.go.id

Sanusi Pane berada dalam era sastrawan Pujangga Baru. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan J.E. Tatengkeng, berperan penting dalam perkembangan karya sastra pada masa itu. Sastrawan-sastrawan ini saling kritik dan mengembangkan karya sastra dalam terbitan-terbitan yang bersifat ringkas, impresionistik, dan langsung (Arief 2013).

Periode akhir tahun 1920-an, setelah gagalnya gerakan komunis tahun 1927 membuat pemerintah kolonial Belanda menjadi lebih represif, termasuk dalam perkembangan karya sastra. Memasuki dasawarsa 1930-an, sastrawan menjadi lebih lunak, meskipun semangat anti kolonialisme tetap ada. Gaya dan pencapaian sastra lebih mengarah pada nilai estetik dan pengembangan bahasa Melayu (Arief 2013).

Menariknya, pada 1930-an berlangsung perdebatan antara Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana mengenai kebudayaan nasional yang memunculkan polemik kebudayaan. Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa budaya Indonesia bersifat statis, tidak lentur, dan tidak adaptif sehingga perlu mengalihkan pandangan kepada kebudayaan Barat yang dinamis. Sanusi Pane berpendapat bahwa aspek budaya Barat yang membawa nilai materialisme, individualisme, dan rasionalisme itu tidak cocok dalam kolektivisme, spiritualisme dan harmoni dalam kebudayaan Timur dan kebudayaan nasional (Bodden 1997: 335).

Jiwa kesadaran nasional bangsa Indonesia tercermin dalam karya-karya Sanusi Pane. Hal itu termaktub dalam karya puisi, naskah drama, dan tulisan esai yang dimuat di majalah pada masa itu. Sanusi Pane berusaha untuk menumbuhkan kecintaan terhadap tanah air melalui kenangan terhadap sejarah masa lalu bangsanya. Unsur nasionalisme yang tertuang dalam karyanya diciptakan agar bangsa Indonesia kembali pada kebudayaan timur dan tidak dicengkeram oleh imperialisme barat (Belanda). Penekanan terhadap kebudayaan tolong-menolong dan gotong royong dihidupkan untuk menghalau imperialisme barat (Nastiti 2014: 566).

Sanusi Pane hidup dalam kesusastraan Indonesia.  Pada momentum tersebut muncul dan hadir sastrawan unggul pada zamannya (Nastiti 2013: 561-563). Pemikirannya mengenai karakter kesadaran nasional dipengaruhi oleh akar kebudayaan lokal dan ketimuran. Hal ini terjadi karena pencariannya ke dalam konsepsi manusia dan penggambarannya pada alam pikiran dan semesta.

Perkembangan kesusastraan Indonesia dalam pikiran Sanusi Pane termanifestasi dari berbagai karyanya. Pemikiran Sanusi Pane lebih mengutamakan ketenangan dan kedamaian sehingga ia dikenal sebagai pengarang romantik. Karya-karyanya diilhami dari perenungan kemegahan masa lampau dan kedamaian alam sekitar. Penggambaran masa lalu dan kekuatan magis dari karyanya berasal dari kejayaan Indonesia purba dan zaman kebudayaan Hindu (Nastiti 2013: 563).

Di samping sebagai sastrawan dan penyair, Sanusi Pane juga seorang penulis drama. Karya-karyanya begitu berkarakter menggambarkan manusia dan kebudayaan. Pemikiran Sanusi Pane dalam kebudayaan nasional dan esensi penggambaran manusia terekam sangat kuat. Beberapa karya sastra Sanusi Pane yang dapat disebutkan adalah Airlangga (1928), Eenzame Garoedavlucht (1932), Kertajaya (1932), Sandyakala Ning Majapahit (1933), dan Manusia Baru (1940). Adapun karya kumpulan puisi Sanusi Pane yaitu Pancaran Cinta (1926), Puspa Mega (1927), dan Madah Kelana (1931). Karya-karyanya tersebut dipengaruhi oleh alam pikiran kebudayaan Timur yang mengutamakan unsur kerohanian, perasaan dan gotong royong serta manusia Indonesia tidak boleh melupakan alur sejarahnya. Ia mendefinisikan kebudayaan sebagai pusat kehidupan dan gerakan manusia (Nastiti, 2013).

Pada masa pendudukan Jepang, terhitung tanggal 1 April 1943 Sanusi Pane bekerja sebagai pegawai Keimin Bunka Shidosho. Pada masa itu dia juga duduk dalam Pusat Kesenian Indonesia, Panitia Bahasa Indonesia dan Majelis Pertimbangan ‘POETERA’.

Sanusi Pane memiliki seorang istri dan dikaruniai enam anak. Kehidupan religiusnya digambarkan sebagai perpaduan dari Hindu, Budha, Sufi dan filosofi Jawa. Sanusi Pane meninggal pada 2 Januari 1968.

Penulis: Budi Agustono


Referensi

Arief, Yovantara (2013), “Ideologi dan Kritik Sastra: Ketika Politik Jadi Panglima, 1920-1965”, Artikel dalam https://indoprogress.com/2013/06/ideologi-dan-kritik-sastra-ketika-politik-jadi-panglima-1920-1965/ diakses pada 10 November 2021.

Bodden, Michael H. (1997), “Utopia and the Shadow of Nationalism: The Plays of Sanusi pane 1928-1940”, BKI 153(3), 1997: hlm. 332-355.

Gunseikanbu (1986), Orang Indonesia yang Teremuka di Jawa. Yogyakarta: Gajah mada University Press.

Nastiti, Imma Dwi Minggar (2013), “Pemikiran Sanusi Pane dalam Menumbuhkan Kesadaran Nasional dan Kebudayaan Nasional Indonesia 1930-1042”, AVATARA e-journal Pendidikan Sejarah, Vol. 1, No. 3, Oktober 2013.

https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/239.