Pater Beek, SJ

From Ensiklopedia

Pater Beek, SJ (12 Maret 1917-17 September 1983) adalah seorang romo, guru, dan tokoh yang pengaruhnya begitu misterius dalam politik Indonesia. Pater Beek, yang bernama lengkap Josephus Gerardus Beek, lahir di Amsterdam pada 12 Maret 1917. Ketika kecil ia tinggal di daerah Kinkerbuurt, sebuah daerah di jantung Kota Amsterdam yang terletak tak begitu jauh dari pelabuhan. Di masa kecilnya, ia tumbuh dalam tradisi pendidikan Jesuit.

Pada September 1935, Pater Beek memulai komitmennya pada pendidikan Katolik (Novisiat) di Mariendaal, Oosterbeek Belanda pada 7 September 1935. Sesungguhnya, sejak 1938 ia telah dikirim ke Hindia Belanda. Namun, Perang Pasifik dan kedatangan Jepang justru menggiringnya ke kamp tawanan di Banyuwangi, Ambarawa, Bandung, dan Bantul. Setelah Jepang menyerah, ia kembali ke Belanda hanya untuk kembali ke Indonesia menjelang tahun 1949. Di Yogyakarta, Beek bekerja di Seminari Realino yang merupakan tempat berkumpul para mahasiswa katolik Universitas Gadjah Mada. Selain itu, Beek juga mengasuh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).

Di Yogyakarta, metode pengasuhan dan pendidikan Beek dianggap kontroversial dan terlalu keras. Kemudian, Pater Beek dipindahkan ke Jakarta dan memegang jabatan sebagai Sekretaris Nasional Kongregasi Maria. Sebagaimana kontroversinya di Yogyakarta, karakter keras Pater Beek masih “berlanjut” di Jakarta. Sekretariat Nasional Kongregasi Maria ia gunakan sebagai tempat mendidik anak-anak muda Katolik berbakat di berbagai bidang yang menunjang performa mereka, berbicara di depan umum hingga berorganisasi. Namun, ia menggunakan metode perkelahian yang konon dapat melihat sisi lemah seorang peserta didiknya. Pendidikan ini dikenal dengan nama KASEBUL (Kaderisasi Sebulan).

Selain itu, Pater Beek juga mengajar di Universitas Katolik Atma Jaya dan menginisiasi pendirian Biro Informasi. Melalui biro inilah, Pater Beek melakukan operasi pengumpulan informasi terhadap berbagai hal, termasuk aktivitas komunis di Indonesia dan Asia Tenggara. Berbekal informasi dari biro inilah, Beek mulai secara aktif mengkritik Sukarno. Meskipun begitu, kritik Beek tidak disampaikan dengan terbuka, sebab ia masih menggunakan nama samaran Dadap Waru.

Bersama jaringan Katoliknya, Beek kemudian mendukung pendirian Orde Baru yang terang-terangan anti-komunis. Ia meminta murid-muridnya untuk bekerjasama dengan tentara dan Golkar. Selanjutnya, sikap pro-Orde Baru Beek diwujudkan dengan dukungannya terhadap pendirian Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang digawangi oleh tokoh-tokoh seperti Sofjan dan Joesoef Wanandi, Harry Tjan Silalahi, dan beberapa perwira di lingkar dalam Soeharto seperti Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Bahkan, meskipun seorang Belanda, Pater Beek juga dikabarkan menuliskan pidato Presiden Soeharto di awal-awal kekuasaanya. 

Dikenal luas di kalangan mahasiswa, Golkar, dan tentara, tidak sedikit orang yang percaya bahwa Pater Beek adalah sosok di balik melekatnya ketiga elemen utama Orde Baru ini. Sikap politis yang begitu signifikan membuat Vatikan turun tangan dalam menegur Pater Beek. Teguran tersebut ditujukan pada sikap Beek yang terlalu dekat dengan politik praktis. Romo berdarah Belanda ini berpulang pada 17 September 1983 dan dimakamkan di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah.

Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Aning S., Floriberta. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20. Indonesia: Narasi, 2005.

Pusat Data Tempo. Rohaniwan, Peter Beek Dan Perannya Dalam Perpolitikan Indonesia. N.p.: Tempo Publishing, (n.d.).

Said, Salim Haji. Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto. Indonesia: Mizan, 2018.

Sudarmanto, J. B.. Pater Beek, S.J.: larut tetapi tidak hanyut : biografi, 1917-1983. Indonesia: Obor, 2008.

Wardaya, F. X. Baskara Tulus. Suara di Balik Prahara: Berbagi Narasi tentang Tragedi '65. Indonesia: Galangpress, 2011.