Soedjono Hoemardani

From Ensiklopedia

Ketika merintis pendirian Orde Baru, Presiden Soeharto tidak bekerja sendirian. Di sekelilingnya, terdapat nama-nama berperan sangat sentral dalam keputusan-keputusan Suharto. Soedjono Hoemardani, mantan Inspektur Jenderal Pembangunan (Irjenbang), adalah salah satu perwira loyal yang menjalankan tugas ini.

Perwira kelahiran 7 Desember 1918 ini juga dikenang sebagai salah seorang pendiri Center for Strategic and International Studies (CSIS). Lebih dari sebuah lembaga riset, CSIS  secara aktif turut merancang kebijakan-kebijakan Orde Baru seperti Keluarga Berencana dan Azas Tunggal Pancasila. Di balik perannya dalam melahirkan sebuah lembaga riset modern, Soedjono justru dikenal sebagai penganut aliran kebatinan Jawa yang taat. Bahkan sering disebut-sebut sebagai penasehat spiritual Presiden Soeharto. Namun, Soeharto menyangkal reputasi ini. Ia mengatakan bahwa justru dirinya lebih mumpuni daripada Hoemardani (Ricklefs, 2013: 211).

Sejak kecil, Hoemardani alias “Mas Djonit” sangat dekat dengan dunia perdagangan. Ayahnya adalah seorang pemasok makanan para pangreh praja dan abdi dalem keraton Surakarta yang juga memiliki lapak di Pasar Klewer. Sang ayah mendaftarkan Hoemardani ke Gementeelijke Handelsschool, sebuah sekolah dagang di Semarang. Masa sekolah Hoemardani “diganggu” oleh kedatangan Jepang ke Indonesia (Bachtiar 1988: 137). Namun di kemudian hari, Jepang justru membantu Hoemardani untuk tetap menjadi orang kepercayaan Suharto. Hal ini disebabkan oleh penunjukan dirinya sebagai satu-satunya perantara investasi antara Jepang dan Indonesia yang ‘direstui’ oleh Presiden (CSIS, 1987: 81).

Setelah kemerdekaan, Hoemardani memulai karirnya sebagai perwira keuangan dan administrasi di kesatuan tingkat resimen hingga Markas Besar Angkatan Darat (Bachtiar, 1988: 137). Karir ini tentu unik mengingat hubungan militer dan dunia dagang yang kerap dianggap tabu, betapapun marak ditemui di berbagai kesempatan. Pada tahun 1957, Letnan Kolonel Hoemardani menjadi perwira keuangan dari Divisi Diponegoro yang dipimpin oleh Kolonel Suharto. Kedekatan inilah yang membawa Hoemardani menjadi perwira kepercayaan Suharto. Ketika ditugaskan di Jawa Tengah, Hoemardani kerap menjadi saudagar berseragam. Ia menjalin hubungan bisnis dengan banyak pengusaha di Jawa Tengah. Di akhir dekade 1950-an, relasi “Diponegoro” dengan bisnis dianggap tidak sehat. Sebagai konsekuensi, Soeharto dimutasi oleh Jenderal Nasution ke Seskoad Bandung (Soebandrio, 200: 41).

Ketika Orde Baru dirintis, Soeharto langsung menggaet orang-orang kepercayaannya sejak di Divisi Diponegoro. Orang-orang kepercayaan Soeharto ini dimasukkan ke dalam sebuah kelompok dengan kekuasaan luar biasa. Kelompok ini bertitel resmi “Staf Pribadi/Spri” dan berperan sebagai kepanjangan tangan Soeharto dalam berbagai hal (CSIS, 1987: 8). Hoemardani, sesuai pengalamannya, ditunjuk sebagai penanggung jawab bidang ekonomi dan perdagangan. Salah satu kiprahnya adalah menjadi narahubung kerjasama Indonesia dengan Jepang.

Hubungan antara kedua negara yang dibina oleh Hoemardani kemudian dianggap terlalu memanjakan investor Jepang. Ketidakpuasan ini berujung pada kerusuhan Malapetaka Limabelas Januari (Malari) yang terjadi untuk merespons kunjungan Perdana Menteri Jepang, Tanaka Kakuei, ke Jakarta. Namun, kolega dekat Hoemardani, Ali Murtopo, berhasil meyakinkan Suharto bahwa Malari adalah rekayasa Mayor Jenderal Soemitro, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), yang diketahui tidak senang dengan “para Spri” (Jenkins, 2010: 29).

Mendengar laporan Ali Murtopo, Soeharto tidak hanya mencopot Sumitro dari jabatannya, namun juga membubarkan Spri, untuk menghindari sentimen-sentimen negatif sebagaimana ditunjukkan oleh Sumitro. Namun, para ex-Spri tetap loyal kepada Soeharto. Sejak pembubaran Spri, Hoemardani ditunjuk sebagai Inspektur Jenderal Pembangunan, jabatan yang pada prinsipnya adalah mata dan telinga presiden untuk proyek pembangunan, sesuatu yang sangat dikedepankan oleh rezim Orde Baru. Salah satu buah dari kerja Hoemardani adalah proyek PLTA Asahan di Sumatera Utara yang dibangun dengan perusahaan Jepang, setelah mangkrak karena kerjasama dengan Soviet yang tidak berlanjut (Pemda Sumatera Utara, 1976: 465).

Perwira berambut ikal ini juga berhasil mendorong pengakuan pertama negara terhadap eksistensi Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa lewat TAP MPR No. IV/MPR/1978. Salah satu “arsitek” Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI) ini menghembuskan napas terakhirnya di Tokyo, 12 Maret 1986 dan dimakamkan di Janti, Surakarta, Jawa Tengah (Bachtiar, 1988: 137).

Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Bachtiar, Harsja W. Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Jakarta: Penerbit Djambatan, 1988.

CSIS. Soedjono Hoemardani: Pendiri CSIS. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1987.

Pemerintah Daerah Sumatera Utara. Sumatera Utara Membangun. Medan: Pemerintah Daerah Sumatera Utara, 1976.

Subandrio. Kesaksianku Tentang G-30-S. Jakarta: Forum Pendukung Reformasi Total, 2000.