Peristiwa Blitar Selatan
Peristiwa Blitar Selatan merujuk pada upaya penumpasan terhadap kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menyusun kembali kekuatannya di kawasan ini selepas Pembubaran PKI secara nasional pada tahun 1966 (Kartasasmita 1980: 182-184; Setiyono 2003: 116-123). Penting ditegaskan bahwa pembubaran PKI tidak menyurutkan pimpinan partai yang berhasil melarikan diri untuk membuat PKI Gaya Baru yang menjadikan desa sebagai basis kegiatan. Kawasan Blitar selatan yang terisolasi tepat untuk dijadikan sarang kegiatan. Sejak masa kolonial Belanda kawasan ini digunakan sebagai sarang persembunyian gerombolan-gerombolan liar.
Semula upaya konsolidasi PKI di kawasan ini tidak diketahui. Keberadaan kelompok PKI ini mulai terendus akibat tindakan mereka yang meresahkan masyarakat, seperti menculik orang yang terlibat dalam pembunuhan anggota PKI pada periode sebelumnya, merebut senjata serta membunuh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sejak Mei 1967, operasi intelijen dilakukan untuk melacak keberadaan kelompok ini. TNI juga menempatkan beberapa anggotanya menjadi pejabat kepala desa di wilayah Blitar Selatan. Pada mulanya upaya membongkar keberadaan kelompok PKI ini tidak mendapatkan hasil karena rakyat setempat bersimpati terhadap PKI, selain memang ada kader-kader PKI yang juga menjadi camat atau kepala desa. Penduduk lokal daerah ini menerapkan tindakan "tidak tahu pimpinan" dan 3T, tidak tahu - tidak mengerti - tidak kenal, sehingga informasi keberadaan kelompok PKI ini tidak diperoleh.
Informasi tersebut baru diperoleh setelah Letnan Kolonel (Letkol) Pratomo, mantan Komandan Komando Daerah Militer (Dandim) Pandeglang yang bersimpati kepada PKI, tertangkap. Rupanya Blitar selatan menjadi persembunyian para pimpinan PKI pada level Central Comite dan Comite Daerah Besar Jawa Timur. Berbekal informasi dari Letkol Pratomo ini, pada tanggal 3 Juli 1968 Kodam VIII/Brawijaya mengutus Kolonel Witarmin untuk melakukan operasi militer dengan nama Operasi Trisula terhadap para kekuatan PKI di Blitar selatan. Dalam waktu setengah bulan, operasi ini berhasil melumpuhkan kekuatan PKI di kawasan ini. Sejumlah 850 orang tokoh PKI berhasil ditangkap. Jumlah tersebut termasuk 13 orang tokoh Central Comite dan 12 orang Comite Daerah Besar Jawa Timur. Beberapa nama yang tertangkap tersebut bernama Rewang, Munir, Sukatno (mantan ketua Pemuda Rakyat), dan Oloan Hutapea.
Melalui Operasi Trisula ini, TNI juga menemukan bahwa kelompok PKI di Blitar selatan ini rupanya menerapkan model gerilya yang dilakukan oleh Vietkong yakni dengan menggunakan banyak ruang bawah tanah (ruba). Setidaknya ditemukan 216 ruba yang ternyata hanya 37 ruba yang terbentuk alami, selebihnya dibuat oleh para anggota PKI. Ruba-ruba tersebut digunakan sebagai tempat pelatihan, belajar, dan menangkap informasi dari siaran radio Republik Rakyat Cina. Konsolidasi PKI di Blitar Selatan berhasil membentuk kelompok PKI yang paling solid di antara beberapa konsolidasi di sisi selatan Jawa Timur.
Upaya konsolidasi dilakukan dengan cara yang sistematis baik melalui pembentukan Komite Proyek (Kompro), pendirian sekolah-sekolah kader, dan pembentukan kelompok bersenjata. Konsolidasi tersebut paling berhasil dilakukan di Blitar Selatan karena memang tidak sedikit dari penduduknya yang menjadi simpatisan PKI Madiun tahun 1948. Kondisi ekonomi penduduk yang lemah dan luputnya perhatian pemerintah dan TNI menjadi katalisator dalam keberhasilan PKI untuk menarik simpati masyarakat. Dengan diketahuinya cara kerja konsolidasi PKI di Blitar selatan ini, maka TNI juga melakukan penghancuran Kompro-Kompro dan sekolah-sekolah perlawanan rakyat yang tumbuh di daerah-daerah lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Penulis: Johny Alfian Khusyairi
Instansi: Universitas Airlangga
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Kartasasmita, Ginandjar, dkk. 1980. 30 Tahun Indonesia Merdeka, cetakan ketiga, jilid 3: 1965- 1973, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Setiyono, Andri Puji. 2003. Gerakan PKI tahun 1963-1968: sebuah kajian sosial-ekonomi di Blitar Selatan, skripsi pada jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga, tidak diterbitkan.