Tentara Nasional Indonesia

From Ensiklopedia

Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terdiri dari angkatan darat, laut, dan udara adalah organisasi kemiliteran Republik Indonesia yang masih eksis hingga hari ini. Betapapun sering identik sebagai suksesor dari ABRI, TNI sesungguhnya telah berdiri sejak periode revolusi. Oleh karena itu, TNI eksis pada dua periode yang tak kalah pentingnya: revolusi dan reformasi.

TNI didirikan pada 3 Juni 1947 dan diharapkan menjadi organisasi pemersatu antara tentara reguler dengan badan-badan kelaskaran. Terlihat dari nama yang dipilih, kata “nasional” dimaksudkan untuk menjembatani perbedaan tersebut. Namun, niat mulia ini tertahan oleh Agresi Militer Belanda II yang terjadi tidak lama setelah pembentukan TNI. Dengan kata lain, setelah pendiriannya, kemampuan TNI langsung diuji oleh keadaan. Oleh karena itu, meski TNI telah berdiri, Inspektorat Biro Perjuangan dan Dewan Kelaskaran Daerah yang menjadi organisasi payung atas badan-badan laskar masih berfungsi. Pada Agresi Militer II, TNI menjadi ujung tombak penerapan strategi gerilya yang tidak hanya melibatkan tentara reguler maupun milisi, tetapi juga masyarakat pada umumnya (Dinas Sejarah Militer, 1982: 40-43).

Setelah dibentuk, TNI dipimpin oleh panglima besar Letnan Jenderal Sudirman yang dibantu enam anggota. Anggota-anggota tersebut adalah Letjen Urip Sumohardjo, Laksamana Nazir, Komodor Suryadharma, Soetomo, Ir. Sakirman, dan Joko Suyono. Pada Februari tahun 1948, struktur organisasi TNI dirapihkan dan lebih disesuaikan untuk kepentingan angkatan perang kala itu (Poesponegoro, 2008: 230).

Sejak didirikan pada tahun 1947, TNI menjalankan begitu banyak operasi baik dalam rangka perang maupun selain perang. Sebelum pengakuan kedaulatan RI pada Desember 1949, TNI bahkan sudah aktif menghadapi perlawanan komunis di Madiun pada 1948. Selepas pengakuan, TNI ditugaskan dalam meredakan gejolak-gejolak pasca perang di berbagai daerah: Merapi Merbabu Complex di Jawa Tengah, APRA di Bandung, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi, dan pergolakan-pergolakan kecil yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak puas dengan kemerdekaan Indonesia (Pusjarah ABRI, 1976: 182, 202, & 215).

Selain itu, TNI juga terlibat pada proses serah terima aset-aset milik tentara Belanda ke tangan Republik Indonesia. Betapapun jarang disorot, proses serah terima yang dikawal dan dilakukan oleh TNI ini turut membangun organisasi kemiliteran Indonesia setelah perang kemerdekaan 1945-1949. Pada tahun 1959, TNI digantikan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan pada  1964 memasukkan kepolisian (Polri) ke dalam tubuh organisasinya (Siregar 2017: 61).

Pada awal tahun 1950an pula, TNI mulai mendefinisikan dirinya sebagai sebuah kekuatan sosial-politik, alih-alih sekadar kekuatan militer. Pada Oktober 1952, sebagai contoh, TNI terlibat konflik internal yang merembet pada unjuk kekuasaan (show of force) kepada penguasa eksekutif dan legislatif. Tindakan yang diotaki oleh Mayor Jenderal A.H. Nasution ini menegaskan independensi politik TNI yang enggan diintervensi. Bagaimanapun, Sukarno memberhentikan Nasution sebagai konsekuensi dari tindakannya (Kahin 2005: 283).  

Sejak tahun 1959 hingga 2002, organisasi militer Indonesia adalah ABRI. Meskipun didirikan oleh Presiden Sukarno, ABRI sangat identik dengan rezim Orde Baru. Sebagai bagian integral dari kedua rezim ini, ABRI memiliki kecenderungan politik yang amat kuat, utamanya didorong oleh doktri Dwi Fungsi.

Kelahiran kembali TNI pada 2002 di tengah dorongan reformasi bertujuan untuk mengembalikan militer Indonesia pada proporsinya. Di antara agenda reformasi yang diamanahkan kepada TNI pasca reformasi adalah penghapusan peran sosial-politik yang didikte oleh Dwifungsi, seperti kedudukan prajurit aktif sebagai pejabat politik atau anggota legislatif dalam Fraksi ABRI. Selain itu, tuntutan yang tak kalah pentingnya adalah pemisahan Polri dari tubuh TNI. Semua tuntutan yang dielu-elukan oleh para pendukung reformasi antara lain bertujuan untuk peningkatan kemampuan dan modernisasi TNI  (Basuki 2013: 86 & 104).

Setelah “kelahirannya kembali,” TNI dihadapkan pada berbagai operasi baik di dalam maupun luar negeri, dalam aspek militer maupun non-militer. Sebagai contoh, TNI dilibatkan dalam penanganan konflik-konflik horizontal di Ambon dan Poso dan penanganan isu-isu keamanan di Aceh dan Papua. Selain itu, TNI pula dilibatkan dalam operasi-operasi kemanusiaan setelah Tsunami Samudera Hindia di Aceh dan Sumatera Utara serta misi-misi perdamaian di Lebanon, Kongo, Afrika Tengah, dan negara-negara lainnya (Pusjarah TNI, 2005: 201-202).

Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Ahmad Yani Basuki. Reformasi TNI: Pola, Profesionalitas, dan Refungsionalisasi Militer dalam Masyarakat. N.p.: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, (n.d.).

Dinas Sejarah Militer. Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Sejarah perkembangan organisasi TNI-AD. Jakarta: Dinas Sejarah Militer tentara nasional Indonesia Angkatan Darat, 1982.

Kahin, Audrey R... Dari pemberontakan ke integrasi Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998. Indonesia: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Poesponegoro, Marwati Djoened., Notosusanto, Nugroho. Sejarah nasional Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia, ±1942-1998. Indonesia: Balai Pustaka, 2008.

Pusat Sejarah TNI. Duka bangsa dan dedikasi TNI: tsunami di Provinsi NAD.. Jakarta: Pusat Sejarah TNI, 2005.

Pusjarah ABRI. 30 tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Jakarta: Markas Besar, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, 1976.

Sarah Nuraini Siregar. Pencapaian reformasi instrumental Polri tahun 1999-2011. Indonesia: Diterbitkan atas kerja sama Penerbit Andi dan LIPI, 2017.