Peristiwa Merah Putih di Manado
Peralihan kekuasaan dari Jepang ke NICA di wilayah Sulawesi bagian utara, khususnya Minahasa, mendapat perlawanan dari pemuda dan penduduk yang pro-republik. Usaha perlawanan terhadap kekuasaan Belanda/NICA dilakukan sejak berita Kemerdekaan Republik Indonesia sampai di tanah Minahasa. Puncaknya dalam Peristiwa Merah Putih di Manado yang terjadi pada 14 Februari 1946 (Parengkuan dkk. 1986: 56; Manus dkk. 1991/1992: 80; Wowor 1985: 42; Nasution 1991: 290). Pergerakan para pemuda terutama yang diorganisir dalam PPI maupun BPNI selanjutnya didukung oleh anggota KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger) pro-republik.
Beberapa usaha perlawanan dari pemuda dan anggota KNIL pro-republik berhasil digagalkan karena upaya tersebut diketahui oleh pihak NICA. Suatu rencana kembali disusun yakni usaha penyerangan oleh para pemuda dan pasukan KNIL anggota Kompi VII di Markas yang bermarkas di Teling. Pada tanggal 14 Februari 1946, suatu penyerangan besar-besaran dilakukan dan berhasil merebut gudang persenjataan/amunisi di Asrama Teling I. Selain merampas senjata, mereka juga berhasil membebaskan anggota KNIL pro-Republik seperti Sersan Charles Choesoy Taulu dan Sersan Servius Dumais Wuisan beserta tokoh-tokoh nasionalis pro-Republik lainnya yang ditahan, di antaranya John Rahasia dan M. Canon/Mat Canon.
Gerakan tersebut kemudian diambil alih oleh Sersan Charles Choesoy Taulu sebagai pemimpin tertinggi dan Sersan Servius Dumais Wuisan selaku komandan operasi. Selanjutnya, para pemuda nasionalis Manado dan anggota KNIL pro-Republik bergerak untuk menawan semua orang Belanda, baik dari kalangan militer maupun sipil di Manado. Komandan Garnisun NICA Manado, Kapten Bloom dan juga pemimpin tangsi militer Letnan Verwajen/ Letnan Verwaayen berhasil ditawan. Para tawanan yang berjumlah sekitar 600 orang, yang terdiri dari pasukan dan para pejabat Belanda/NICA dibagi menjadi dua bagian. Tawanan yang berpangkat perwira, termasuk Kapten Bloom dan Letnan Verwajen ditahan di Asrama Teling I. Selebihnya ditahan di Penjara Manado (Khairunnisa dan Fuadah Z, 2020: 66; Manus dkk. 1991/1992: 95).
Dalam peristiwa tersebut terjadi perobekan terhadap bendera Belanda oleh F. Wangko Sumanti. Bagian berwarna biru dirobek sehingga hanya menyisakan warna merah dan putih. Bendera tersebut diserahkan kepada Kopral J. Mambi Runtukahu lalu dikibarkan oleh Kotambunan dan Sitam di atas gedung markas militer Belanda/NICA di Teling, Manado.
Pada 14 Februari 1946, seluruh anggota KNIL pro-Belanda maupun orang-orang sipil Belanda di Manado menyerah dan ditawan. Pergerakan berlanjut ke Tomohon yang dipimpin oleh Sersan Frans Bisman dan Freddy Lumanauw untuk menangkap Pemimpin NICA, Letnan Kolonel Coomans de Ruyter dan Komandan KNIL, Letnan Kolonel de Vries yang berada di kota tersebut. Sersan Frans Bisman kemudian mengirim utusan guna menemui Kepala Kepolisian NICA, Inspektur Polisi Samsoeri, agar ia bersedia menjadi perantara bagi proses penyerahan damai para pemimpin NICA maupun KNIL di Tomohon. Rencana tersebut berhasil, di mana Letnan Kolonel Coomans de Ruyter, Letnan Kolonel de Vries, bersama dengan para pemimpin sipil NICA lainnya beserta pasukan-pasukan KNIL di Tomohon bersedia untuk menyerahkan diri kepada pasukan pimpinan Sersan Frans Bisman, dan selanjutnya dibawa ke Manado.
Penyerahan damai tersebut juga disertai dengan perobekan warna biru pada bendera Belanda, di mana warna merah dan putih yang tersisa lalu dikibarkan sebagai bendera Indonesia. Pengambilalihan daerah-daerah lainnya di wilayah Minahasa dari NICA maupun KNIL juga disertai dengan penurunan bendera Belanda dan digantikan dengan pengibaran bendera Merah-Putih, yang berlangsung di sejumlah tempat, seperti di Tondano, Remboken, Kakas, Langowan dan Kawangkoan. Dengan demikian, seluruh kekuasaan sipil dan militer NICA di wilayah Sulawesi Utara dan Tengah, khususnya di Minahasa, telah berhasil direbut oleh para pejuang pro-Republik.
Kemudian, melalui bantuan Tang Ing Hwa di Tomohon dengan disaksikan Kopral A. S. Rombot dan Kopral D. Kawilarang, disiarkan berita yang isinya antara lain menyebutkan bahwa Pemerintahan Belanda (NICA) telah berhasil direbut oleh para pejuang dari KNIL dan pemuda serta telah beralih kepada Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Disebutkan pula bahwa semua orang Belanda telah ditahan dalam kondisi baik di satu kamp di Sario, Manado, tawanan dari orang-orang Jepang tetap berada dalam kamp-kamp mereka, serta pekerjaan-pekerjaan lainnya tetap berjalan seperti biasa dan keadaan tetap terkendali (Manus dkk. 1991/1992: 100). Tindakan tersebut menunjukkan bahwa para pemimpin dan juga masyarakat di Sulawesi Utara, khususnya Minahasa, menolak pernyataan Belanda sebelumnya yang menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 hanya berlaku untuk Pulau Sumatera dan Jawa.
Penulis: Ilham Daeng Makkelo
Instansi: Universitas Hasanuddin
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Khairunnisa, Hilda Zuhri dan Anis Fuadah Z. 2020. “Pengenalan Pahlawan Sam Ratulangi Pada Siswa MI/SD”. Jurnal As-Sibyan, Jurnal Kajian Kritis Pendidikan Islam dan Manajemen Pendidikan Dasar. Vol. 3. No. 2.
Manus, Laurens TH., et.al. 1991/1992. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah.
Nasution, Abdul Haris. 1991. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Bandung: Penerbit Angkasa.
Parengkuan, FEW. et.al. 1986. Sejarah Kota Manado 1945-1979. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Wowor, Ben. 1985. Sulawesi Utara Bergolak: Peristiwa Patriotik Merah-Putih, 14 Pebruari 1946 dalam Rangka Revolusi Bangsa Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Alda.