Bendera Pusaka
Bendera Pusaka, sering juga disebut dengan Sang Saka (Pusaka) Merah Putih, adalah sebutan untuk bendera yang dikibarkan pertama kali pada saat pernyataan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bendera ini menjadi saksi dari kemerdekaan Indonesia, dijahit oleh Fatmawati, istri Presiden Sukarno. Bendera tersebut mulai dijahit pada bulan Oktober 1944, atau tepatnya dua minggu sebelum melahirkan Guntur Sukarno Putra (Fatmawati, 1978: 25).
Saat itu, Fatmawati berusia 21 tahun. Ia menjahit sendiri dengan tangan, karena dokter melarangnya menggunakan mesin kaki. Fatmawati memperoleh kain untuk bendera tersebut dari seorang perwira Jepang yang bernama Hitoshi Shimizu. Perwira itu datang sendiri ke rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur mengantarkan dua blok kain katun, masing-masing merah dan putih (Famawati, 1978: 26-27). Pemberian kain tersebut adalah juga bagian dari dukungan Bala Tentara Jepang terhadap Janji Kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan Perdana Mentri Jepang Koiso, 7 September 1944. Jarak waktu antara pengucapan janji dengan pemberian kain relatif dekat. Di samping pemberian kain untuk pembuatan bendera, untuk menindaklanjuti janji “kemerdekaan kelak di kemudian hari itu”, Tentara Penduduk Jepang di Indonesia juga memfasilitasi pembentukan sejumlah lembaga atau langkah bagi kemerdekaan Indonesia, termasuk pembentukan BPUPKI dan PPKI.
Setahun kemudian, bendera hasil jahitan Fatmawati itu digunakan pada saat upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Memasuki awal 1946, situasi Jakarta sangat genting, Bung Karno dan Bung Hatta meninggalkan Jakarta menunju Yogyakarta dengan menggunakan kereta api. Bendera pusaka turut dibawa dan dimasukkan dalam koper pribadi Sukarno (Nasin, 2014: 15).
Pada 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer ke-2 di Yogyakarta. Bung Karno yang mengetahui bahwa dirinya akan ditawan, kemudian memanggil ajudannya Husein Mutahar dan memberi tugas mengamankan bendera pusaka agar tidak sampai jatuh ke tangan Belanda (Sandjojo, 2011: 137). Bung Karno menegaskan, ia menugasi Husein menjaga bendera tersebut dengan nyawanya, dan tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakjat Indonesia yang ditulis Cindy Adams, ditegaskan, “Andai kata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera pusaka ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya,” (Adams, 1966: 60).
Pada Agustus 1949 pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI ke-4, bendera pusaka kembali dikibarkan di Istana Gedung Agung. Setelah penandatanganan pengakuan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, ibu kota dikembalikan ke Jakarta. Presiden Sukarno pun ikut membawa Bendera Pusaka ke Jakarta. Bendera pusaka disimpan di dalam sebuah peti berukir untuk diterbangkan dari Yogyakarta ke Jakarta dengan pesawat Garuda Indonesia Airways.
Bendera Pusaka ini tidak dikibarkan lagi sejak tahun 1968. Keputusan untuk tidak mengubarkannya dikemukakan beberapa waktu sebelum peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tahun itu. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Nomor 003/M/2015, Bendera Sang Saka Merah Putih berstatus sebagai Cagar Budaya Nasional dengan nomor registrasi RNCB.20150201.01.000032 (Surat Keputusan Menteri Nomor 003/M/2015).
Penulis: Fikrul Hanif Sufyan
Instansi: STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh
Editor: Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan
Referensi
Adams, Cindy, 1966. Bung Karno Penyambung Lidah Rakjat Indonesia. Jakarta: PT Gunung Agung.
Nasin, E., 2014. Berkibarlah Bendera Pusaka. Solo: Sagita Publishing.
Sandjojo, Nidjo, 2011. Abdul Latief Hendraningrat. Pengibar Bendera Pusaka. Jakarta: Sinar Harapan.
Sukarno, Fatmawati, 1978. Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Jakarta: Sinar Harapan.
Surat Keputusan Menteri Nomor 003/M/2015