Persatuan Muslim Indonesia (PERMI)

From Ensiklopedia

PERMI atau Persatuan Muslim Indonesia adalah sebuah gerakan reformasi dari Sumatera Barat yang didirikan pada bulan Mei tahun 1930 (Reid 2008: 408). PERMI berawal dari gerakan pendidikan (Persatuan Sumatera Thawalib) yang kemudian menjadi lebih politis dan bertransformasi menjadi gerakan politik terbuka (Kahin 2005: 62). Organisasi ini diciptakan para guru reformis muda yang dipengaruhi oleh pemikiran Timur Tengah dan Jawa. PERMI melebur nasionalisme dan agama di saat organisasi-organisasi Islam lain lebih menekankan agama. PERMI mengkritik keras nasionalisme sekuler karena mengisolasi Muslim di Hindia Timur, dan mereka juga mengkritik kegiatan keagamaan yang apolitis karena tidak memenuhi semua kebutuhan Islam. Jejak PERMI hanya berada di Sumatera Barat, akan tetapi pandangan dan gagasan tentang nasionalisme Islamnya memiliki dampak bagi arah politik di Jawa (Fogg 2020).

PERMI berdiri atas inisiatif Hadji Iljas Jakub dan Muchtar Luthfi, lulusan pendidikan agama di Kairo, Mesir. Latar belakang pendiriannya adalah adanya polarisasi antara kubu Islam dan nasionalis yang terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam di Jawa. PERMI berupaya untuk menggabungkan dua unsur tadi karena kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan dalam diri seorang Muslim. (Iskandar dkk. 2015: 295).

Slogan yang diusung ialah “Islam dan Kebangsaan”, yang menjadi daya tarik termasuk bagi para kaum tradisionalis yang jumlahnya lebih banyak dari kaum modernis. Sekitar bulan Agustus 1933, PERMI menyatakan memiliki anggota sebanyak 10.000 orang, dan 40%-nya adalah kaum perempuan. Di sisi lain kehadiran PERMI juga memancing banyak oposisi (Reid 2008: 408). Dengan sokongan tokoh yang memiliki background pendidikan Timur Tengah, PERMI melakukan aktivitas di bidang pendidikan dengan membangun sebuah Islamic College (lembaga pendidikan tingkat menengah yang menekankan ilmu pengetahuan umum dalam kurikulumnya) di Padang pada 1 Mei 1931. PERMI juga menaruh perhatian terhadap kegiatan ekonomi dan berupaya untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri melalui gerakan swadesi yang menekankan pada usaha-usaha masyarakat pribumi (Noer 1982: 173). PERMI dianggap sebagai partai alternatif, karena bagi orang-orang Sumatera waktu itu SI berada di fase kemunduran. PERMI sempat membuka cabang di berbagai daerah seperti Sumatera Tengah, Bengkulu, Tapanuli, Kalimantan Timur dan Aceh.

Secara ideologis PERMI mempunyai kebijakan politik non-koperatif dengan mencita-citakan Islam yang mulia dan Indonesia merdeka, serta menentang kapitalisme dan imperialisme oleh pemerintah kolonial. Harapan tersebut terus tertanam dalam diri para anggotanya dan mereka juga  memperjuangkannya melalui kegiatan politik. Akibatnya, banyak dari para tokoh PERMI mendapat pengawasan ekstra. Bahkan sebagian ada yang ditahan di Semarang karena pidato-pidatonya yang radikal. Guru-guru yang terafiliasi dengan PERMI dilarang mengajar, dan kondisi ini makin diperparah pada saat tokoh-tokoh utama PERMI seperti Muchtar Luthfi, Iljas Jakub dan Djalaludin Thaib diasingkan ke Digul, Papua.

Pengawasan yang ketat dari pemerintah dengan larangan untuk mengadakan rapat-rapat memaksa PERMI melanjutkan kegiatan tanpa hasil atau memilih membubarkan diri. Pilihan kedualah yang dipilih oleh para pimpinan partai. Kemudian, saat Jepang datang, tiga orang tokoh penting PERMI yang diasingkan tadi dipindahkan ke Australia oleh Belanda. Barulah setelah Indonesia merdeka mereka kembali. Muchtar Luthfi menetap di Makassar, sedangkan Iljas Jakub bersama Djalaludin Thaib pulang ke Minangkabau (Iskandar dkk, 2015: 295-296; Noer 1982: 172-174).

Selain para tokoh laki-laki, PERMI juga memiliki tokoh perempuan yang tak kalah vokal yaitu Rasuna Said. Ia adalah seorang orator yang berani dan lantang dalam rapat umum menentang Ordonansi Sekolah Liar dengan menyuarakan tuntutan kemerdekaan (Kahin 2005: 65).

Penulis: Akhmad Yusuf
Instansi: Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Arif, Syaiful. Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi: Menenguhkan Nilai keindonesiaan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2018.

Federspiel, Howard M.. Islam and Ideology in The Emerging Indonesian State: The Persatuan Islam (Persis), 1923 to 1957. Boston: Brill, 2001.

Fogg, Kevin W. Spirit Islam Pada Masa Revolusi Indonesia. Jakarta: Noura Books, PT. Mizan Publika 2020.

Kahin, Audrey R... Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Kahin, Audrey. Historical Dictionary of Indonesia. Britania Raya: Rowman & Littlefield Publishers, 2015., h. 38.

Latif, Yudi. Indonesian Muslim Intelligentsia and Power. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2008.

Mas'oed Abidin, Gagasan dan Gerak Dakwah Mohammad Natsir: Hidupkan Dakwah Bangun Negeri. Yogyakarta: Gre Publishing, Cet. Keenam, April 2016.

Robinson, Kathryn. Gender, Islam and Democracy in Indonesia. N.p.: Taylor & Francis, 2008.

Salim, Delmus Puneri. The Transnational and the Local in the Politics of Islam: The Case of West Sumatra, Jerman: Springer International Publishing, 2015.