Pewarta Priaji
Perkembangan dunia pers di Indonesia tidak terlepas dari bangkitnya kegiatan kaum intelektual di Hindia Belanda. Bagi kaum priyayi, hal ini dipelopori oleh Pewarta Prijaji yang terbit pertama kali di Semarang. Media ini dipimpin oleh priyayi bernama R.M Kosoemo Oetoyo pada 1900 dengan menggunakan bahasa Melayu pasar. Pewarta Priaji menyajikan berita seputar dunia priyayi secara umum, termasuk peraturan pangreh praja (Fachrurozi 2019: 17). Hal ini diharapkan berguna untuk menambah pengetahuan mereka dalam melaksanakan tugasnya sebagai pegawai pangreh praja (Atashendartini dkk. 2007: 68).
Pemimpin Pewarta Prijaji, Koesoemo Oetoyo, memberikan penjelasan lanjutan mengenai kelompok priyayi, bahwa istilah tersebut ditujukan kepada juru tulis, guru, polisi, dan profesi lain yang ditekuni kaum bumiputera dan bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda. Para priyayi ini mendapatkan kesempatan bersekolah baik di dalam wilayah Hindia Belanda hingga ke Belanda (Gunawan 2011: 118). Selain aturan dan informasi umum pegawai pangreh praja, majalah ini juga memuat tulisan tentang masyarakat dan kebudayaan Jawa. Juga perlu diucatat artikel-artikel pendek tentang pengetahuan praktis pertanian, pendidikan, kesehatan, dan hasil kemajuan yang dilakukan oleh kaum bumiputera (Atashendartini dkk. 2007: 68-69).
Pada majalah Pewarta Priaji pertama, Koesoemo Oetoyo menulis tentang priyayi dan mendefinisikan priyayi sebagai orang berpendidikan yang mengisi jabatan-jabatan tertentu di pemerintahan Hindia Belanda. Ia tidak memasukkan wedana dan bupati sebagai golongan priyayi. Namun, Oetoyo menambahkan adanya golongan “priyayi baru” yang lahir dari jalur pendidikan, serta mendukung mobilitas sosial kaum bumiputera. Lingkup priyayi yang diperluas ini diharapkan dapat membantu dalam kemajuan rakyat Hindia Belanda (Atashendartini dkk. 2007: 70).
Menyadari pendidikan sebagai jalan “baru” bagi mobilisasi sosial penduduk pribumi, selain melalui garis keturunan, majalah Pewarta Priaji tahun 4 nomor 5 yang terbit pada 1903 memuat tulisan tentang pentingnya beasiswa bagi kaum bumiputera. Hal ini ditulis oleh priyayi Sosrodiprojo dengan menghimbau penghapusan adat yang dinilai usang atau kolot. Harapannya adalah bahwa beasiswa dapat memperbanyak jumlah orang Jawa untuk sekolah dan kursus. Oleh karena mahalnya biaya pendidikan, Sosrodiprojo menyarankan pemerintah agar membuat beasiswa sebagaimana yang terjadi di Negeri Belanda (Kusumandoko 2008: 39).
Kiprah Pewarta Priaji juga menyajikan terjemahan bagi peraturan pemerintah, undang-undang, dan ringkasan lembaran negara yang penting bagi pejabat priyayi khususnya di Jawa dan Madura. Namun, media ini berhenti terbit pada paruh kedua 1902 karena Koesoemo Oetojo diangkat sebagai bupati di Ngawi dan di Jepara pada 1905. Meski demikian, Koesoemo Oetojo saat menjadi editor mengkampanyekan pendirian gotong royong di kalangan priyayi (Raditya [ed] 2008: 12). Meskipun telah berhenti terbit, para pembaca Pewarta Prijaji membentuk kelompok tersendiri pada 1903 di 17 ibukota karesidenan di Jawa dan Madura. Anggota ini berasal dari kalangan priyayi lapisan bawah, seperti pejabat juru tulis kontrolir kolonial, juru tulis asisten residen dan pejabat pengadilan, atau dalam tingkat wedana, asisten wedana, jaksa, dan polisi. Organisasi ini dibentuk sebagai sarana untuk memudahkan komunikasi di antara anggota (Komandoko 2008: 23).
Penulisan: Syarah Nurul
Referensi
Atashendartini, Habsjah, dkk. 2007. Perjalanan Panjang Anak Bumi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (Anggota IKAPI).
Fachrurozi, Miftahul Habib. 2019. Politik Etis dan Bangkitnya Kesadaran Baru Pers Bumiputra. Jurnal Bihari: Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sejarah, 2 (1), 2019.
Gunawan, Restu. 2011. Modern Elite Society and National Movement. International Journal of History Education, Vol. XII. No 1 (June 2011).
Komandoko, Gamal. 2008. Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa. Yogyakarta: Medpress: Anggota IKAPI.
Raditya, Iswara N, dkk (editor). 2008. Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers, Pergerakan, dan Kebangsaan. Jakarta: I-Boekoe.