Jaksa Agung
Jaksa Agung adalah pejabat tinggi negara yang memimpin Kejaksaan Agung, yakni lembaga kejaksaan pusat yang menaungi lembaga kejaksaan di seluruh Indonesia. Jaksa Agung melaksanakan wewenang kejaksaan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menurut UU No. 5 Tahun 1991, yang dilanjutkan dengan UU No 16 Tahun 2004, menerangkan bahwa Kejaksaan Agung adalah lembaga pemerintahan yang berkedudukan di ibukota negara dan wilayah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda. Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung (Nazriyah 2010: 27).
Sejarah lembaga Kejaksaan di Nusantara dapat ditelusuri sejak zaman Majapahit, di mana dikenal satu jabatan di bidang hukum yang disebut sebagai Dhyaksa yang dipimpin oleh seorang Adhyaksa sebagai pejabat tertinggi. Di Kesultanan Cirebon dikenal pula posisi Jaksa Pepitu yang tidak hanya melaksanakan tugas kehakiman dan penuntutan, namun juga kadang kala bertindak sebagai pembela (Effendy 2005: 56-61).
Pada masa Hindia Belanda, peran kejaksaan dan fungsinya dikelola oleh sebuah lembaga bernama openbaar ministerie yang mengelola fungsi penegakan hukum yang dijalankan oleh Magistraat dan Officier van Justitie pada setiap persidangan tingkat Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) di bawah perintah langsung dari Residen/Asisten Residen. Pada masa Jepang, lembaga kejaksaan dikukuhkan di semua jenjang pengadilan melalui peraturan Osamu Sei Rei No.3/1942, Osamu Sei Rei No.2/1944 dan Osamu Sei Rei No.49/1944 (Tim MMaPPI-FHUI, 2015: vi). Pada masa penjajahan Jepang inilah istilah Officier van Justitie yang umum pada masa Hindia Belanda diganti menjadi istilah Jaksa (Sinulingga 2016: 105).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan kedudukan Kejaksaan dalam lingkungan Departemen Kehakiman (Effendy 2005: 68). Jaksa Agung pertama Republik Indonesia adalah Gatot Taroenamihardja yang diangkat oleh Presiden Sukarno pada tanggal 19 Oktober 1945 (Sinulingga 2016: 111).
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), Jaksa Agung RIS telah bertugas sejak bulan Januari 1950 dan memimpin Kejaksaan Agung RIS (Federal) dan Kejaksaan Agung negara-negara bagian. Kejaksaan Agung di negara-negara bagian kemudian dibubarkan pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) dengan bentuk negara kesatuan. Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), lembaga Kejaksaan Agung yang semula berada di lingkungan Departemen Kehakiman menjadi lembaga yang berdiri sendiri. Keputusan ini dilandaskan pada Putusan Kabinet Kerja Tanggal 22 Juli 1960 yang kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden No 204, tanggal 15 Agustus 1960.
Pada 1961, pemerintah dan DPR mensahkan UU Kejaksaan yang pertama dalam sejarah Indonesia, yakni UU No. 15 Tahun 1961 tentang Pokok-Pokok Kejaksaan RI yang menerangkan bahwa pengangkatan Jaksa Agung tidak lagi melalui Menteri Kehakiman melainkan langsung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Wicaksana 2013: 5). Dengan keputusan tersebut kedudukan Jaksa Agung menjadi Menteri ex Officio dalam Kabinet Kerja I dan kemudian Menteri dalam Kabinet Kerja II, III, IV, dan Kabinet Dwikora (Effendy 2005: 68-69). Pada masa ini pula terjadi lima kali pergantian Jaksa Agung yaitu R. Soeprapto (1951-1959), Gatot Taroenamihardja (1959), R. Goenawan (1959-1962), R. Kadarusman (1962-1964), dan Brigjen TNI A. Sutardhio (1964-1966). Gatot Taroenamihardja menjabat paling singkat, yakni lima bulan sedangkan A. Sutardhio adalah Jaksa Agung pertama dari kalangan militer (Effendy 2005: 69).
Pada masa Orde Baru, UU Tahun 1961 masih dijalankan, namun Jaksa Agung tidak lagi dipanggil sebagai Menteri dan Lembaga Kejaksaan Agung tidak lagi disebut sebagai Departemen Kejaksaan, meskipun begitu posisi Jaksa Agung masih tetap sejajar dengan Menteri dan secara konvensi pula Jaksa Agung mulai diangkat pada awal kabinet dan masa jabatannya berakhir dengan berakhirnya masa bakti kabinet tersebut. Kemudian pada tahun 1991, Kejaksaan tidak lagi dipandang sebagai alat negara namun sebagai lembaga negara dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1991 (Mahendra 2012: 15-16).
Penulis: Muhamad Mulki Mulyadi Noor
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Tim MMaPPI-FHUI (2015) Bunga Rampai Kejaksaan Republik Indonesia, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Effendy, Marwan (2005) Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sinulingga, Widha (2016) Kedudukan Lembaga Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia (Analisis Kewenangan Penuntutan dalam Perspektif Negara Hukum dan Pembagian Kekuasaan), Tesis Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta: Belum Diterbitkan.
Ihza Mahendra, Yusril “Kedudukan Kejaksaan Agung dan Posisi Jaksa Agung Dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945 dalam Muhammad Tahir Azhary (2012) Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana dan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group).
Wicaksana, Dio Ashar “Kedudukan Kejaksaan RI dalam Sistem Hukum Tata Negara Indonesia” dalam Tim MMaPPI-FHUI, Buletin Fiat Justitia: Editorial, Vol. 1, No. 1, Maret 2013.
Nazriyah, Riri “Pemberhentian Jaksa Agung dan Hak Prerogratif Presiden” dalam Jurnal Konstitusi Vol. 7, No. 5, Oktober 2010