Pidato Nawaksara

From Ensiklopedia

Pidato Nawaksara disampaikan Presiden Sukarno di hadapan Sidang Umum ke-IV MPRS pada  22 Juni 1966. Sebelumnya, MPRS meminta Sukarno, sebagai mandataris MPRS, untuk menyampaikan pertanggungjawabannya atas berbagai masalah yang terjadi di Indonesia, terutama terkait peristiwa berdarah yang dilakukan Gerakan 30 September. Pidato Nawaksara ini merupakan pidato Sukarno untuk merespon permintaan MPRS tersebut. Pidato Nawaksara ini dianggap sebagai salah satu pidato kebijakan Sukarno yang paling pendek sekaligus yang paling berapi-api (Van der kroef 1971: 29).

Istilah ‘Nawaksara’ diambil dari bahasa Sanskerta (nawa-aksara), yang berarti sembilan huruf, sembilan persoalan, atau sembilan prinsip. Pidato Nawaksara ditolak oleh MPRS karena isinya lebih banyak menyampaikan amanat dari sang presiden serta tidak membahas tentang persoalan Gerakan 30 September. Pimpinan MPRS kemudian meminta agar Sukarno melengkapi pertanggungjawabannya (Poesponegoro & Notosusanto 2019: 558-559).

Bagi Presiden Sukarno, pidato tersebut merupakan suatu hal yang umum dalam konteks kenegaraan. Ia menyampaikan pidato Nawaksara sebagai bentuk pertanggungjawaban sukarela. Tak hanya itu, baginya apa yang ia sampaikan juga tidak lebih dari suatu laporan perkembangan tentang situasi mutakhir kala itu (Djamhari & Tim Editor 2013: 110-111).

Dalam pidatonya, Sukarno menyebut bahwa konsep Pemimpin Besar Revolusi yang telah diberikan oleh MPRS kepada dirinya sama artinya dengan Pemimpin Revolusi Rakyat. Ia juga membahas tentang pengangkatannya sebagai Presiden Seumur Hidup, yang menurutnya pada mulanya ia tolak. Penolakan ini sempat ia utarakan dalam pidato pada Sidang II MPRS pada Mei 1963, ketika ia pada akhirnya menerima pengangkatan tersebut. Ia memandang akan lebih baik bila keputusan pengangkatan tersebut diambil oleh MPRS yang dihasilkan oleh proses Pemilu (Djamhari & Tim Editor 2013: 111).

Pada bagian lain pidato Nawaksara, Presiden Sukarno mengutip pidato yang pernah ia sampaikan dalam Sidang Ketiga MPRS tanggal 11 April 1963. Di sana ia menyebut soal konsep Amber Parama Arta. Menurut Sukarno, ada tiga elemen penting dalam konsep ini, yakni: 1) ‘Revolusi untuk mengejar ide besar yaitu amanat penderitaan rakyat seluruhnya’, 2) Revolusi dalam ‘persatuan dan kesatuan yang bulat menyeluruh’, dan 3) ‘Bertolak atas landasan trisakti,’ yang terdiri atas ‘berdaulat dan bebas dalam politik’, ‘berkepribadian dalam kebudayaan’, dan ‘berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dalam ekonomi’.

Bagian-bagian selanjutnya dari pidato Sukarno mengulas perihal relasi antara politik dan ekonomi, kedudukan DPR,  konsep Demokrasi Terpimpin, usaha menuju pemurnian pelaksanaan UUD 1945, wewenang MPR dan MPRS, dan hal yang berkaitan dengan kedudukan Presiden dan Wakil Presiden. Ia menutup pidatonya dengan menunjukkan keyakinannya tentang berjalannya kerja sama untuk melaksanakan UUD 1945. Sukarno menyerukan perlu dibukanya ‘lembaran baru dalam sejarah kelanjutan Revolusi Pancasila kita’ dan cita-cita tentang adanya keberlanjutan terhadap kepemimpinannya, sesuai dengan UUD 1945 (Djamhari & Tim Editor 2013: 111-112).

Komisi A MPRS menganggap bahwa Presiden Sukarno justru tidak secara serius membahas hal-hal yang krusial dan perlu klarifikasi sang presiden, di antaranya soal berbagai peristiwa yang berkaitan dengan kejadian pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965. Pada 5 Juli 1966 MPRS menyatakan bahwa mereka secara resmi menolak pidato Nawaksara tersebut.

Walaupun demikian, posisi Sukarno sebagai Presiden RI masih bertahan, sebagaimana tampak dalam keterlibatannya dalam membentuk Kabinet Ampera pada 6 Juli 1966. Kabinet ini dipimpin oleh Presidium yang diisi oleh Soeharto, Sultan Hamengku Buwono IX dan Adam Malik. Dalam pidato pelantikan kabinet baru itu presiden menggarisbawahi bahwa ia masih merupakan presiden dan panglima tertinggi angkatan bersenjata serta bahwa Supersemar bukanlah suatu transfer kekuasaan (Djamhari & Tim Editor 2013: 111-112).

MPRS menolak pidato Nawaksara Presiden Sukarno melalui Keputusan MPRS No. 5/MPRS/1966 tertanggal 5 Juli 1966. Untuk merespon penolakan tersebut dan agar kedudukan politiknya kembali pulih, Sukarno menyerahkan laporan tertulis bertajuk Pelengkap Nawaksara (Pel Nawaksara) kepada MPRS. Pel Nawaksara mendapat kritikan dari berbagai pihak karena dianggap membuat situasi semakin genting (Poesponegoro & Notosusanto 2019: 559).

Judul lengkap pelengkap tersebut ialah “Pelengkap Laporan Pertanggungjawab Presiden Sukarno”. Di dalam Pel Nawaksara ini ia mengulangi kecaman dan kutukan yang ia sampaikan pada pidato memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1966. Saat itu ia menyebut adanya gerakan bernama Gestok (Gerakan Satu Oktober) yang berupaya untuk melakukan kudeta dan ia mengutuk gerakan tersebut. Dalam Pel Nawaksara, ia mengemukakan tentang adanya kekuatan kontra-revolusi di Indonesia dan luar negeri.

Ia juga menyampaikan analisisnya terhadap peristiwa 30 September-1 Oktober 1965. Tiga penyebab ia kemukakan, yakni: ‘a) keblingeran pimpinan PKI, b) kelihaian subversi Nekolim, c) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar’. Dengan demikian, terangnya, tidak tepat bila ia yang dimintai pertanggungjawaban atas peristiwa tersebut. Ia menyebut ada banyak pemimpin yang harus dimintai pertanggungjawabannya atas kejadian itu (Djamhari & Tim Editor 2013: 114-115).

MPRS kembali menunjukkan ketidakpuasannya pada Pelnawaksara ini. Mereka menilai bahwa presiden masih belum dapat menerima bahwa dirinya patut dimintai pertanggungjawaban dan bahwa ada kemungkinan bahwa surat Pel Nawaksara dari presiden tidak dibuat oleh sang presiden sendiri. Pimpinan MPRS pada 21 Januari 1966 menyebut bahwa Pel Nawaksara ini menunjukkan bahwa ‘Presiden alpa memenuhi ketentuan konstitusional’. Penolakan terhadap Nawaksara dan Pel Nawaksara ini memperlihatkan bahwa kekuasaan Presiden Sukarno telah semakin melemah (Djamhari & Tim Editor 2013: 115-117).

Pimpinan ABRI meminta agar presiden berkenan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto sebagai Pengemban TAP IX/MPRS/1966, sebelum diadakannya Sidang Umum MPRS. Dengan demikian, perpecahan di tengah masyarakat dapat dihindari sementara lembaga kepresidenan dan marwah presiden dapat dilindungi (Poesponegoro & Notosusanto 2019: 559).  Pada tanggal 9 Februari 1967 sebuah resolusi dan memorandum diterima secara aklamasi oleh DPR-GR. Isinya ialah permintaan agar MPRS bersidang selekas-lekasnya untuk memakzulkan presiden, menunjuk pejabat presiden untuk menggantikannya dan kemudian mengadili Presiden Sukarno (Herlina 2012: 65).

Sukarno sendiri akhirnya memilih untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya di bidang pemerintahan kepada Soeharto pada 20 Februari 1967. Pengadilan atas Sukarno pun urung dilakukan. Lantaran Sukarno dianggap sudah tidak sanggup lagi menjalankan tugasnya sebagai presiden, maka pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat secara aklamasi oleh MPRS sebagai pejabat presiden (Herlina 2012: 67). Dengan demikian, usai sudah jabatan Sukarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia dan Indonesia memasuki era kepemimpinan Soeharto yang dikenal luas sebagai era Orde Baru.

Penulis: Muhammad Yuanda Zara
Instansi: Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Herlina, Nina. 2012. ‘”Tatar Sunda” Digoncang Konflik Sosial Politik’ dalam: Taufik Abdullah, Sukri Abdurrachman & Retsu Gunawan (ed.). Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional: Bagian II Konflik Lokal. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Djamhari, Saleh As’ad & Tim Editor. 2013. ‘De-sukarnoisasi dan Akhir Demokrasi Terpimpin’, dalam: Taufik Abdullah, Sukri Abdurrachman, & Restu Gunawan (ed.), Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional. Bagian 3: Berakhir dan Bermula. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho Notosusanto (ed.). 2019 [Edisi Pemutakhiran]. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (±1942-1998). Jakarta: Balai Pustaka.

Van der Kroef, Justus Maria (1971). Indonesia After Sukarno. Vancouver, BC: University of British Columbia Press.