Kabinet Ampera
Kabinet Ampera merupakan kabinet peralihan dari masa kepemimpinan Sukarno menuju masa kepemimpinan Soeharto. Pada 25 Juli 1966, Presiden Sukarno membubarkan kabinet Dwikora. Kemudian Presiden bersama Jenderal Soeharto yang telah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) bersama-sama membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera. Kabinet ini tetap dipimpin oleh Presiden Sukarno dengan dibantu sebuah presidium. Presidium kabinet dipimpin oleh ketua presidium dan terdiri atas empat orang menteri utama, atau yang sering dikenal dengan istilah Menutama (Dipodisastro 1997:118; Djamhari 2012:22).
Presidium kabinet dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Dalam kabinet ini juga, Soeharto bertindak sebagai Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan (Menutama Hankam). Anggota presidium terdiri atas Adam Malik sebagai Menutama Bidang Politik, KH Idam Chalid sebagai Menutama Bidang Kesejahteraan Sosial, Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Menutama Bidang Ekonomi dan Keuangan dan Sanusi Hardjadinata sebagai Menutama Bidang Industri dan Pembangunan. Pemilihan anggota presidium ini diambil dari berbagai kalangan untuk menunjukkan bahwa Kabinet Ampera disusun oleh Sukarno dan Soeharto. Walau pada kenyataannya, Presiden Sukarno tidak dapat ambil andil lagi dalam kabinet ini selayaknya kabinet-kabinet sebelumnya (Djamhari 2012:22).
Kabinet Ampera berjalan dalam dualitas kepemimpinan antara Presiden Sukarno dan Jenderal Soeharto. Melalui posisi barunya ini, Soeharto mulai membenahi TNI. Konfrontasi dengan Malaysia dihentikan, kepemimpinan Sukarno melalui Komando Operasi Tertinggi (Koti) dipotong, sehingga Sukarno tidak dapat lagi memberikan perintah langsung kepada para Panglima. Para Perwira tinggi menengah yang mendukung Sukarno diberhentikan atau dialihtugaskan. Terjadi mutasi besar-besaran setelah reorgansiasi tahun 1966. Tjakrabirawa yang menjadi pengawal kepresidenan dibubarkan tanpa meminta izin kepada Presiden Sukarno terlebih dahulu. Pengawal presiden kemudian dikembalikan kepada Polisi Militer (Djamhari 2012:24).
Pada tahun baru 1967, Ketua Presidium Kabinet Ampera Jenderal Soeharto memberikan pidatonya. Pada pidato ini ia mengumumkan kebijakan Dwi Dharma atau dua kewajiban dan Catur Karya atau empat tugas kabinet. Keempat tugas tersebut adalah: 1) memperbaiki taraf hidup rakyat terutama yang menyangkut sandang dan papan, 2) mengadakan pemilihan umum, 3) meneruskan politik luar negeri yang bebas dan aktif, dan 4) meneruskan perjuangan menentang imperialisme dalam segala bentuk manifestasinya. Pada pidato ini pun Soeharto mulai memfokuskan diri pada ekonomi negara yang sedang buruk (Dipodisastro 1997:120).
Dualisme kepemimpinan dalam Kabinet Ampera semakin memanas di tahun 1967. Citra Sukarno semakin buruk di mata publik akibat keputusannya yang tidak mau membubarkan PKI. Hal ini kontras dengan citra Soeharto yang semakin membaik dan mendapat dukungan banyak kalangan. Setelah Pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPRS, sidang istimewa MPRS kemudian menarik mandat presiden dari Sukarno hingga diadakan pemilihan umum. Sebagai gantinya, Soeharto diangkat sebagai pejabat Presiden hingga pemilihan presiden baru dilakukan. Pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai presiden penuh sebelum pemilu tahun 1971 dituangkan dalam Tap No. XLIII/MPRS/1968. Tap MPRS ini juga memberikan mandat kepada Soeharto untuk: 1) mengambil setiap tindakan yang dianggap perlu guna mencegah kembalinya Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia, 2) mengambil tindakan untuk membersihkan alat-alat negara dari setiap penyelewengan, 3) melindungi politik kembali ke Undang-undang Dasar 1945 dan 4) memelihara persatuan bangsa dan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Dipodisastro 1997:120-124).
Penulis: Afriadi
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Dipodisastro, Soemarno. 1997. Tritura dan Hanura: Perjuangan Menumbangkan Orde Lama dan Menegakkan Orde Baru. Jakarta: Yanense Mitra Sejati
Djamhari, Saleh Ashad. 2012. Lahirnya Orde Baru. Dalam Indonesia dalam Arus Sejarah. Jilid 8: Orde Baru dan Reformasi.