Prambanan

From Ensiklopedia

Bagi kalangan pergerakan kiri, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI), nama Prambanan memiliki arti penting tersendiri. Di kawasan Prambanan, tepatnya di sebelah selatan candi, pada 25 Desember 1925 dilaksanakan Kongres PKI di bawah pimpinan Eksekutif Pusat PKI, Sardjono. Pemilihan Prambanan merupakan strategi partai mengingat lokasi tersebut berdiri candi Hindu nan megah yang menyedot perhatian pengunjung dari berbagai penjuru. Kongres yang dihadiri oleh sekitar sebelas pimpinan partai tersebut menghasilkan keputusan bahwa dalam waktu enam bulan akan dilakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda (McVey 2010: 428).  Sardjono menambahkan bahwa aksi dimulai dengan pemogokan, kemudian meningkat menjadi kekerasan senjata sebagai upaya menarik simpati kaum tani. Kongres juga memutuskan bahwa pemberontakan pertama kali akan dilakukan di Padang, dilanjutkan di Jawa dengan tujuan menarik kekuatan Belanda dari Jawa.

Para pengurus PKI di Jawa sangat antusias menyambut hasil Konferensi Prambanan. Pada November 1926, beberapa pengurus daerah seperti Jakarta,  Jawa Barat (Banten, Priangan dan Cirebon), Jawa Tengah  (Tegal, Pemalang, Banyumas, Pekalongan, Kedu, Wonosobo, Temnggung, Purworejo, Solo), serta Jawa Timur seperti Kediri, kemudian membentuk Comite Pemberontak untuk mempersiapkan pemberontakan. Sementara pemberontakan di Padang meletus pada 1 Januari 1927, serta Sumatera Timur dan Sibolga (Lembaran Sejarah PKI 1961: 71, 116).  Sasaran Comite Pemberontak ialah berbagai fasilitas pemerintah maupun infrastruktur berupa jalur kereta api  maupun jembatan.

Keputusan penting lain yang ditetapkan dalam kongres tersebut adalah dirikannya suatu badan rahasia partai, Dubbele Organisatie atau Dictatoriale Organisatie (DO) (Mc Vey 2010: 430).  Dalam perkembangannya, hasil Kongres PKI Prambanan ini dikritik oleh Tan Malaka, yang kurang sepakat dengan beberapa poin termasuk mengenai rencana pemberontakan. Tan Malaka bahkan menolak hasil keputusan Kongres dan menegaskan bahwa PKI harus memusatkan diri bukan pada persiapan revolusi melainkan mengorganisir barisan. Ia berpendapat bahwa partai telah kehilangan disiplin, serikat buruh kacau, dan pemberontakan harus bersandar pada rakyat Indonesia serta memerlukan bantuan Moskow (Mc Vey 2010: 462). Hal ini memicu perselisilahan dengan tokoh komunis lainnya seperti Alimin maupun Sardjono (Shiraishi 2001:80). Tan Malaka kemudian mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia) pada Juli 1927 di Bangkok.  Dengan berdirinya PARI maka gerakan revolusioner yang dipelopori PKI mengalami kemunduran. PARI mengagendakan untuk membatalkan rencana pemberontakan yang dilakukan PKI di berbagai daerah (Lembaran Sejarah PKI 1961: 124).

Berbagai pemberontakan daerah tersebut tidak  berlangsung serempak dan segera ditumpas oleh pemerintah Belanda.  Secara formal, PKI dilarang oleh pemerintah Belanda sehingga pengurus PKI mendirikan organisasi illegal (McVey 2010: 459). Berbagai pengurus daerah yang melakukan pemberontakan ditangkap  dan dipenjara di Boven Digul. Tercatat sekitar 1.308 tahanan dari Jawa dan daerah lain kecuali Sumatera Barat diangkut menuju Digul (Lembaran PKI 1961: 91). Keberhasilan menumpas PKI menunjukkan sikap represif kolonial sehingga pengawasan terhadap aktivitas kaum pergerakan di Hindia Belanda semakin ketat.  Jumlah aparat keamanan politik semakin meningkat. Jumlah polisi umum pada 1925 adalah 26.796 meningkat menjadi 32.990 pada 1928 dan jumlah detektif dari 720 meningkat menjadi 1.668 pada periode yang sama (Shiraishi 2001: 79).  

Penulis: Waskito Widi Wardojo
Instansi: Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UNS Surakarta
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.


Referensi

Lembaran Sejarah PKI, 1961. Pemberontakan November 1926. Jakarta, Jajasan Pembaruan.

McVey, Ruth T., 2017.  Kemunculan Komunisme Indonesia. Jakarta, Komunitas Bambu.

Shiraishi, Takashi, 2001. Hantu Digoel, Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial, Yogyakarta, LKiS.