Partai Republik Indonesia (PARI)

From Ensiklopedia

Partai Republik Indonesia (PARI) merupakan salah satu partai politik pertama yang menggunakan terminologi “republik” pada periode kolonial Hindia-Belanda. Secara ideologi PARI merupakan partai politik beraliran kiri, yang memiliki tujuan untuk mendirikan negara Republik berdaulat dengan prinsip gotong royong dan perjuangan rakyat. Didirikan pertama kali oleh Tan Malaka pada Juni 1927, keberadaan PARI selalu dianggap ancaman oleh pemerintah kolonial. Oleh karena itu, dalam perkembangannya PARI selalu berada dalam pengawasan Belanda, terlebih karena Tan Malaka terkenal sebagai seorang tokoh radikal golongan kiri. Meskipun demikian, sebagai sebuah partai yang bukan partai massa, PARI berhasil mempertahankan perjuangannya hingga kurang lebih sepuluh tahun, yakni dari 1927 hingga 1937.

Berdirinya PARI sebagai sebuah partai politik tidak terlepas dari kisah petualangan Tan Malaka. Dia adalah salah satu tokoh golongan kiri yang semasa karirnya aktif menjadi bagian dari pergerakan komunis baik di Tanah Air maupun di tingkat internasional. Akan tetapi, pemerintah kolonial menganggap gerakan Tan Malaka radikal dan membahayakan, maka pada 1922 Tan Malaka ditangkap dan diasingkan ke Belanda (Poeze 2014: 43). Sejak saat itulah Tan Malaka mengawali karirnya dalam dunia Komunis Internasional (Komintern). Pada 1923, Tan Malaka diberikan kepercayaan menjadi wakil Komintern untuk Asia Tenggara, yang memiliki wewenang untuk mengurusi hal-hal  berkaitan dengan partai, kelompok-kelompok, dan tokoh di kawasan itu. Selama menjadi wakil Komintern, Tan Malaka menetap sementara di China sebelum akhirnya berpindah dari negara satu ke negara lainnya (Poeze 2008: xvii).

Meskipun masih berstatus sebagai tahanan politik, Tan Malaka tidak lantas meninggalkan kewajibannya sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dari jarak jauh, Tan Malaka turut aktif dalam mengawal perkembangan partai. Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah Tan Malaka diasingkan, kekuatan PKI mulai melemah. Oleh karena itu, para pimpinan PKI yang baru, Alimin dan Muso, merasa harus melakukan perubahan arah pergerakan yang mereka sebut sebagai “revolusi” (Jarvis 1987: 45) Menanggapi hal tersebut, Tan Malaka menyampaikan ketidaksetujuannya, salah satunya melalui tulisan Naar de Republiek Indonesia, yang diterbitkan pertama kali pada April 1925 (Malaka 1987).

Selain itu, Tan Malaka juga menyampaikan ketidaksetujuannya dengan memberi tahu secara langsung kepada Alimin, yang pada saat itu berusaha untuk meminta restu secara PKI melancarkan aksinya. Menurut Tan Malaka, jalan menuju revolusi bukanlah melalui pemberontakan, tetapi dengan mengembangkan aksi massa dan pengorganisasian di dalam proletariat dan kaum tani. Pendapat dari Tan Malaka ini kemudian mendapatkan dukungan dari tokoh komunis lainnya, diantaranya Subakat dan Djamaluddin Tamin (Jarvis 1987: 46; Suriaji 2013: 5-6).

Namun, tanpa restu  Tan Malaka, pemberontakan yang dilakukan oleh PKI tidak dapat dihindarkan. Pada 12-13 November 1926 pemberontakan tersebut terjadi di Batavia dan Banten, Jawa Barat, yang kemudian disusul pada Januari 1927 dengan pemberontakan di daerah Sumatera Barat. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda kemudian berhasil menggagalkan dan memukul mundur tokoh-tokoh PKI. Akibatnya, setelah aksi tersebut terjadi ribuan orang ditangkap dan sekitar 1308 orang yang diduga Komunis diasingkan ke penjara di Digul. Setelah kegagalan pemberontakan tersebut, Tan Malaka memutuskan hubungannya dengan PKI dan Komintern, dan bermaksud memulai kembali perjuangannya sendiri. Bersama dengan Subakat dan Djamaluddin Tamim, Tan Malaka mendirikan sebuah partai baru yang diberinama Partai Republik Indonesia (PARI) pada tanggal 1 Juni 1927 di Siam, Thailand (De Nieuwsgier, edisi 11 September 1948; Faisal dan Firdaus 2015: 1576).  

Sebelum PARI dibentuk, Tan Malaka sudah terlebih dahulu menyusun Manifesto PARI yang ditulis dalam bahasa Belanda, dan kemudian diterjemahkan oleh Subakat. Dalam Manifestonya, Tan Malaka menyebutkan bahwa sifat perjuangan PARI merupakan proletaris dengan maksud untuk “…..mendirikan Republik yang berdaulat kepada Rakyat Pekerja, Murba Kerja, yakni yang dengan tangan ataupun otak, seperti yang bekerja didalam perusahaan yang ada di darat dan di laut….” (Malaka 1945: 4-5). Selain itu, mereka juga menjelaskan bahwa tujuan partai ini adalah untuk mencapai kemerdekaan Indonesia yang utuh dan sesegera mungkin mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan keadaan ekonomi, sosial dan politik negara, serta sesuai dengan kebiasaan dan watak penduduknya. Kemudan, lebih lanjut ia menjelaskan bahwa partai ini juga dibentuk dengan tujuan untuk memajukan kesejahteraan fisik dan mental masyarakat Indonesia (Malaka 1945: 3-7).  

Aksi Tan Malaka dalam mendirikan PARI dianggap sebagai tindakan makar terhadap Komintern dan berkhianat terhadap PKI. Oleh karena itu, terdapat banyak ancaman baik yang berasal dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun kekuatan imperialis lainnya yang berada di Asia. Selain itu, beroperasi dengan para pemimpinnya yang berada di luar negeri juga menjadi kelemahan lain yang dimiliki oleh PARI. Oleh karena itu, untuk tetap menjaga agar partainya tersebut tetap aman, ia memilih untuk melancarkan aksi “di bawah tanah” atau secara diam-diam. Meskipun demikian, PARI berhasil mendirikan cabangnya di beberapa wilayah seperti di Cepu, Wonogiri, Kediri, Sungai Gerong Palembang, Medan, Banjarmasin, dan Riau (Narasi Sejarah, edisi 5 Mei 2020, https://narasisejarah.id/bapak-republik-dan-partai-republik-indonesia/ , diakses pada April 2022).

Setelah mendirikan PARI di Bangkok, Tan Malaka kemudian memutuskan untuk pindah dan menetapi di Filipina. Akan tetapi, Tan Malaka dituduh sebagai imigran gelap oleh polisi Amerika, yang kemudian menyebabkan ia diusir oleh Gubernur Jenderal. Kejadian tersebut membuat ia harus bersembunyi di sebuah kota kecil di Tiongkok. Akibatnya, keberadaan PARI mulai terancam. Keadaan menjadi semakin memburuk ketika pada 1930, Soebakat ditangkap dan diserahkan oleh Thailand ke pemerintah kolonial Hindia-Belanda, hingga kemudian meninggal dunia di dalam sel penjara di Batavia. Dua tahun kemudian, pada 1932, Djamaloeddin Tamin juga ditangkap di Singapura (Poeze 2008: xvii).

Di tengah kekacauan yang terjadi pada para pemimpinnya, tanpa diketahui ternyata anggota PARI masih aktif melakukan gerakan rahasia. Akan tetapi pada 1937-1938 pergerakan mereka mulai tercium dan berakhir pada penangkapan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap para anggota terduga PARI, yang menyebabkan sekitar 1308 orang yang diduga komunis ditangkap, dan ribuan lainnya dieksekusi (Deli Courant, edisi 06 Mei 1938; The Volksdagblad, edisi 08 Juni 1937).

Penangkapan dilakukan di beberapa daerah, diantaranya yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Palembang (Tribune: Soc. Dem. Weekblad, edisi 10 April 1934). Sejak saat itu, aktivitas PARI di bawah Tan Malaka dapat dikatakan berakhir dan atas desakan Moeso, PARI beserta Tan Malaka dinyatakan sebagai renegat dan dianggap sebagai Trotskyis (Poeze, 2008: xviii). Setelah kembali ke Hindia-Belanda menjelang periode kemerdekaan, Tan Malaka kemudian melanjutkan kembali aktivitas politiknya dengan mendirikan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) pada 7 November 1948 pasca Peristiwa Madiun 1948 (De Nieuwsgier, edisi 19 Mei 1947; Historia, edisi 01 April 2015, https://historia.id/politik/articles/murba-dukung-demokrasi-terpimpin-tan-malaka-jadi-pahlawan-nasional-PzMWy/page/1).

Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Arsip Surat Kabar

De Nieuwsgier, edisi 11 September 1948

De Nieuwsgier, edisi 19 Mei 1947

Deli Courant, edisi 06 Mei 1938;

Deli Courant, edisi 06 Mei 1938; The Volksdagblad, edisi 08 Juni 1937).

The Volksdagblad, edisi 08 Juni 1937


Buku dan Artikel

Faisal dan Firdaus Syam, “Tan Malaka, Revolusi Indonesia Terkini”, dalam Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan, Vol. 11, No. 01, 2015, hlm. 1575-1578.

Historia, edisi 01 April 2015, https://historia.id/politik/articles/murba-dukung-demokrasi-  terpimpin-tan-malaka-jadi-pahlawan-nasional-PzMWy/page/1).

Jarvis, Helen, “Tan Malaka: Revolutionary or Renegade?”, dalam The Bulletin of Concerned       Asian Scholars, Vol. 19, No. 1: January-March 1987, hlm. 41-54.

Malaka, Tan. (1945) “Manifesto Jakarta”, dalam marxists.org,         https://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1945-ManifestoJakarta.htm , diakses pada April 2022.

Malaka, Tan. (1987). Naar de ‘Republik Indonesia’ (Menuju Republik Indonesia). Jakarta: Yayasan Massa.

Narasi Sejarah, edisi 5 Mei 2020, https://narasisejarah.id/bapak-republik-dan-partai-republik    -indonesia/ , diakses pada April 2022).

Poeze, Harry A. (2008). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 1. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.

Poeze, Harry A. (2014). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid IV. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.

Suriaji, Yos Rizal. (2013). Tan Malaka: Forgotten Founding Father. Jakarta: Tempo Publishing.