Tan Malaka

From Ensiklopedia

Tan Malaka adalah salah satu pemuda terbaik yang pernah dimiliki bangsa dan negara Indonesia. Beliau dikenal sebagai tokoh progresif golongan kiri yang ikut dalam berbagai upaya memerdekakan bangsa Indonesia. Pergerakan dan pemikiran beliau sangat berpengaruh pada upaya-upaya membangun bangsa Indonesia yang merdeka. Salah satu tokoh yang merasa terpengaruh oleh pemikiran beliau tidak lain adalah Ir. Sukarno. Ia mengakui Tan Malaka sebagai guru politiknya (Poeze, 2013: 56).

Tan Malaka dilahirkan pada tahun 1897 di desa Pandan Gadang di Limopuluh Koto, Payakumbuh, Sumatra Barat (Suseno, 2003: 206). Pria ini lahir dengan nama lengkap Sultan Ibrahim Datuk Tan Malaka, dari pasangan Rasad dan ibu bernama Rangkayo Sinah yang merupakan salah satu putri orang yang disegani di kampungnya. Tan tumbuh besar dalam suasana beragama yang kuat. Dia mempelajari agama Islam dengan baik, bahkan belajar tafsir Al-Quran dan setelahnya menjadi seorang guru muda. Selain itu Tan kecil, sebagai bagian dari  masyarakat Minangkabau, ikut dalam menjalankan tradisinya yaitu belajar silat (Poniri dan Silaban, 2019: 61). Tan juga mempunyai kegemaran bermain sepak bola dan bermusik. Kegemarannya terhadap sepak bola kadang memakan waktunya untuk mengaji sehingga dia sering dimarahi oleh guru mengaji dan ibunya sendiri (Malaka, 2008: 35).

Selain pendidikan informal, Tan Malaka juga mengenyam pendidikan formal. Dia pernah bersekolah dasar atau dulu disebut dengan Sekolah Rendah (SR) di Seuliki. Setelah merampungkan sekolah dasar, atas saran dari gurunya, Tan melanjutkan sekolah ke Sekolah Guru Negeri atau Kweekschool Fort de Kock (Bukit Tinggi). Tan bersekolah dengan 76 siswa lainnya dan dari sinilah dia mulai belajar bahasa Belanda dan ikut bergabung dalam orkes sekolah. Pada tahun 1913, dia lulus dan mendapatkan saran dari guru Belandanya untuk melanjutkan sekolah ke Belanda, ke Rijkskwekschool (Susilo, 2017: 12).

Pada 10 Januari 1914, Tan Malaka tiba di Belanda untuk melanjutkan studi. Namun dia tidak merasa kerasan dengan kehidupan di Belanda. Kesehatannya juga menurun karena ketidakmampuan fisiknya untuk beradaptasi dalam lingkungan tersebut. Selain itu harga kos membuatnya kesulitan biaya hidup sehingga akhirnya dia hanya bertahan selama 3 bulan di tempat itu. Dia pindah ke tempat yang lebih murah dan dari sinilah perjalanan barunya dimulai (Malaka, t.t.: 34; Arif, 2018: 41).

Selama melanjutkan studi di Belanda inilah Tan Malaka mulai mengenal paham sosialisme-komunisme dan kapitalisme-demokrasi. Dia membaca beberapa surat kabar seperti De Telegraaf yang merupakan surat kabar berpaham kapitalisme-demokrasi yang banyak mengecam Jerman. Di sisi lain, Tan juga membaca surat kabar dari Partai Sosial Demokrat Belanda yaitu Het Volk yang berhaluan sosialisme-komunisme. Dari bacaan artikel-artikel inilah dia seakan dipaksa untuk mengenal ketidakadilan yang terjadi di masyarakat hingga akhirnya membuatnya tertarik pada pemikiran sosialisme-komunisme (Rahman, t.t.: 41). Setelah lulus, dia lalu melanjutkan studi untuk mendapatkan Akta Guru Kepala hingga lulus pada tahun 1919 dan pulang ke Indonesia pada tahun yang sama (Malaka, t.t.: 31).

Dengan berbekal akta pengajar, Tan menerima tawaran untuk mengajar dari Dr. CW Janseen di mana dia mengajar anak-anak dari kuli perkebunan teh Sanembah Maatschappij di Tanjung Morawa, Deli, Sumatra Utara. Dia mulai bermukim di sana sejak akhir tahun 1919 dan mengajar bahasa Melayu pada anak-anak kuli pada awal tahun 1920. Pekerjaannya bertahan sekitar setahun di sana. Selama mengajar, dia bisa merasakan banyaknya ketimpangan yang diterima oleh bangsanya. Dia kemudian memutuskan untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu sosialisme-komunisme yang didapatnya untuk mengentaskan rakyat dari penindasan dan penghisapan penjajah. Akhirnya, dia tidak mau lagi untuk menerima gaji dari korporasi di Tanjung Morawa (Malaka, t.t.: 71).

Pada tahun 1921, Tan Malaka memutuskan untuk pergi dari Sumatra dan menuju ke pulau Jawa. Di Jawa inilah dia bertemu dengan beberapa tokoh penggerak rakyat dari SI seperti Tjokroaminoto, Semaun, dan Darsono. Setelah bertemu dengan tokoh-tokoh itulah Tan mulai banyak melakukan gerak untuk membela dan mengangkat martabat bangsanya yang tertindas. Perpindahannya ke Jawa inilah yang menjadi momen dari kebangkitan Tan Malaka sebagai salah satu tokoh komunis Hindia-Belanda. Di Semarang, dia bergabung dengan Sarekat Islam cabang tersebut. Sebagai seorang guru, dia mencoba mendorong orang-orang untuk mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu, pada tahun 1920-an dia membangun sebuah sekolah untuk anak-anak anggota Sarekat Islam. Ruang rapat Sarekat Islam disulapnya menjadi sebuah sekolah alternatif yang ramai didatangi untuk aktivitas belajar mengajar. Baru dibuka beberapa hari, murid Tan Malaka di sekolah tersebut mencapai 50 orang anak (Matanasi, 2021).

Dia bersama Semaun mempersatukan Partai Komunis Hindia (PKH) dengan SI di daerah Jawa Tengah. Selanjutnya, Tan Malaka menjadi propagandis dalam aksi-aksi pemogokan buruh di mana-mana. Pada tahun 1921 ini, dia bahkan diangkat menjadi ketua PKH menggantikan Semaun yang lebih dulu diasingkan ke Belanda pada tahun 1922 (Susilo, t.t.: 26). Namun, geraknya ini membuat pemerintah Hindia-Belanda mengkhawatirkannya sebagai ancaman baru yang berbahaya. Itulah sebabnya dia akhirnya ditangkap dan dibuang ke luar negeri (Poze, 1988: 218-262).

Masa pembuangan di Belanda itu dimanfaatkan Tan untuk mengunjungi berbagai wilayah di dunia. Dia pergi ke Berlin, Jerman. Bahkan dia mengikuti pendidikan Partai Komunis di Moskow. Lalu pada tahun 1922, dia pergi ke Rusia dan menjadi penulis buku di sana. Pada tahun 1923, dia berpindah ke Cina dan sempat bertemu dengan salah satu revolusioner besar Asia, Sun Yat Sen. Pada tahun 1936, dia mendirikan sekolah dan menjadi pengajar di Cina. Selama penjelajahannya di berbagai negara, Tan Malaka sempat membentuk sebuah partai bernama Partai Repoeblik Indonesia (PARI) pada tahun 1927 yang berpusat di Bangkok Thailand. Namun karena PARI sangat menerapkan paham dan nilai-nilai komunis, Tan Malaka akhirnya ditangkap di Hongkong dan kemudian PARI dibubarkan agar tidak menjadi biang pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di wilayah kolonial. Bukan hanya Cina, dia juga berkesempatan mengunjungi banyak tempat seperti Filipina, Amoy, Birma, Singapura, hingga terakhir Penang. Pada tahun 1942, Tan Malaka berlayar lagi ke Indonesia (Rahman, t.t.: 196-198).

Setelah Belanda kalah dari Jepang, barulah Tan Malaka bisa merasakan angin yang lebih segar dan bisa pulang ke Indonesia. Dia melakukan pelayaran dari jazirah Malaya lalu menyebrang ke Sumatra. Sesampainya di Lampung, Tan Malaka langsung pergi lagi menuju ke Jawa. Daerah Jawa pertama yang dia temui adalah Banten. Dari Banten dia lalu pergi ke Jakarta. Dia menginap di daerah Rawa dekat Pabrik Sepatu Kalibata. Akan tetapi ketika di sana Tan Malaka tidak banyak melakukan kegiatan. Sejak tahun 1942 hingga 1943, dia menghabiskan waktunya untuk menyelami kehidupan rakyat jelata yang menjadi buruh atau pedagang makanan di pinggiran Jakarta. Dari situlah Tan Malaka menulis karya besar yang kini dikenal orang dengan judul MADILOG: Materialisme, Dialektika, dan Logika di tempat tinggalnya di daerah Rawa Jati, Kalibata, Jakarta (Malaka 1974). Buku ini merupakan pokok-pokok pikiran yang dapat dia pahami dan menjadi intisari paham sosialisme-komunisme yang dianutnya. Setelah itu dia memilih bekerja pada sebuah kantor yang mengurusi urusan romusha.

Setelah mendapatkan saran dari Purbacaraka, Tan mendatangi Kantor Urusan Sosial di Tanah Abang. Di sana dia mendapatkan pekerjaan dengan nama samaran Ilyas Husein. Di sana dia menjadi seorang juru tulis di sebuah tambang batu bara di daerah Bayah Kozan atau Banten (Fakih, 2015: 108). Karena melihat keadaan para pekerja yang bekerja romusha sangat mengenaskan, Tan sering menyisihkan sebagian gajinya untuk membeli makanan lalu memberikannya kepada para pekerja yang hanya mendapatkan gaji kecil. Selain itu, dia juga membuka lahan sayur untuk para romusha agar mereka tidak lagi kekurangan makanan. Oleh karena kebaikan hatinya itu, masyarakat Bayah menerimanya dan memperhitungkannya. Sebelum proklamasi, Tan Malaka menjadi utusan dari Banten untuk mewakili pemuda Banten ke Jakarta dalam menghadiri pertemuan untuk merancang kemerdekaan Indonesia. Di Jakarta, Tan Malaka bertemu dengan beberapa tokoh muda progresif seperti Soekarni, B.M. Diah, dan Chairul Saleh. Selain itu, dia juga bertemu banyak pemuda lain seperti Wikana yang mengawal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di rumah Achmad Subarjo, yang ketika masa pendudukan Jepang menjadi kantor pengurus Asrama Indonesia Merdeka (Matanasi, 2021).

Pada setiap kesempatan itulah Tan menyemangati para pemuda untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah seperti Jepang; kemerdekaan haruslah dijemput bukan ditunggu atau diberikan oleh penjajah Jepang. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Tan Malaka bermaksud untuk kembali bertemu dengan Soekarni dan Chairul Saleh untuk mendorong mereka guna merebut kemerdekaan. Sayangnya ketika didatangi mereka tidak ada. Dua hari berikutnya, terdengar Proklamasi Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Tan Malaka merasa bahagia mendengar hal tersebut. Meskipun tidak ada campur tangan langsung darinya, kemerdekaan telah dijiwai oleh Tan Malaka dan diwujudkan lewat tangan para pemuda-pemuda Indonesia (Poeze, 2008: 13-17).

Tan Malaka menjadi tokoh yang hadir pada peristiwa Lapangan Ikada pada tanggal 19 Agustus 1945. Terjadi rapat besar-besaran yang diadakan oleh para pemuda bangsa yang terpengaruh oleh Tan Malaka. Tujuan rapat tersebut tentunya adalah mempersiapkan para pemuda untuk mengawal kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 (Matanasi, t.t.: 2021). Pasca proklamasi kemerdekaan, kebebasannya lebih jelas dan dia akhirnya berani menggunakan nama asli Tan Malaka secara terang-terangan di depan umum. Di masa awal-awal kemerdekaan Indonesia, dia banyak bertemu dengan tokoh-tokoh penting Indonesia di antaranya adalah Ahmad Soebardjo, Sutan Sjahrir, hingga Presiden Sukarno dan ikut dalam diskusi menentukan arah bangsa Indonesia. Bung Karno terpana pada pemikiran dan ide-ide Tan Malaka bahkan Sukarno pernah menulis testamen politik yang menunjuk Tan Malaka sebagai kandidat penggantinya (Poeze, 2013: 156).

Perjuangan revolusi bersenjata dilakukan Indonesia sejak memproklamasikan kemerdekaannya. Merasa memiliki tanggungjawab untuk mengobarkan semangat kebebasan, Tan Malaka mengkoordinir banyak pihak dan mengorganisir perjuangan-perjuangan tersebut ke dalam sebuah wadah dengan nama Persatuan Perjuangan (Rahman, 2018: 183-239). Pada tahun 1947, dilakukan perundingan antara Sjahrir, sebagai wakil Indonesia, dengan Belanda. Namun untuk memuluskan perundingan tersebut, tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan harus dibungkam dan saat itulah Tan Malaka ikut dijadikan sebagai tahanan politik pemerintah (Malaka, 2008: 254).

Dua tahun setelah dijadikan tahanan politik, pada September 1948, Tan Malaka dibebaskan. Dia lalu mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948. Bersama partainya ini dia mencoba mengingatkan pemerintah akan kemungkinan adanya serangan umum. Pada tahun 1949, muncul serangan umum yang semakin membuat Tan Malaka dan pendukungnya merasa yakin bahwa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan haruslah dilakukan dengan mengangkat senjata. Pada tahun 1949, ketika Belanda menyerang Kediri, beliau bersama dengan banyak gerilyawan yang lainnya berjuang di daerah sungai Brantas di desa Gringging. Di Kediri, pada 21 Februari 1949, itulah beliau harus meregang nyawa setelah berjuang dengan sekuat tenaga di tangan militer (Rahman, 2018: 274).

Dia wafat dengan meninggalkan banyak karya-karya besar. Karya-karya ini yang menjadi banyak rujukan masyarakat luas untuk belajar arti perjuangan. Paling tidak, dari tangan Tan Malaka terlahir beberapa buku yang saat ini kerap kali menjadi cuplikan semangat perjuangan untuk mengentaskan permasalahan masyarakat. Tiga di antaranya dianggap paling memberikan sentuhan bagi perjuangan bangsa, yakni: Madilog (yang dia tulis sejak tahun 1942), Menuju Merdeka 100 PersenGerpolek, dan Dari Penjara ke Penjara yang merupakan autobiografinya sendiri (Puspitarani, 2021).

Penulis: Indriyanto


Referensi

Johari, Hendi. “Tan Malaka Menyamar”. (https://historia.id/politik/articles/tan-malaka-menyamar-vQzaB/page/2, diakses pada 5 November 2021).

Malaka, Tan, Dari Penjara Ke Penjara (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008).

Malaka, Tan, GERPOLEK (Jakarta: Penerbit Jendela, 2000).

Malaka, Tan, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat, 1974).

Malaka, Tan, Merdeka 100 % (Tangerang: Penerbit Marjin Kiri, 2011).

Matanasi, Petrik, “Tan Malaka: Sejarah Petualangan dan Kosmopolitanisme Anak Sulika” https://tirto.id/tan-malaka-sejarah-petualangan-dan-kosmopolitanisme-anak-suliki-cjlR, diakses pada 5 November 2021).

Poeze, Harry A., Memuliakan, Mengutuk, dan Mengangkat Kembali Pahlawan Nasional: Kasus Tan Malaka, dalam editor Henk Schulte Nordholt, dkk, Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013).

Poeze, Harry A., Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008).

Poniri, Silaban, Agum Patria, “Pemikiran Politik Tan Malaka Tentang Konsep Negara Indonesia”, Puteri Hijau, Vol. 4, No. 1, 2019.

Pooze, Harry A., Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1988).

Puspitarani, Mei, “Kisah Perjuangan Tan Malaka dan Karya-karya Terbaiknya” (https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/11/11/kisah-perjuangan-tan-malaka-dan-karya-karya-terbaiknya, diakses pada 3 November 2021).

Rahman, Masykur Arif, Tan Malaka: Sebuah Biografi Lengkap (Yogyakarta: Penerbit Laksana, 2018).

Suseno, Franz Magnis, Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003).

Susilo, Taufik Adi, Tan Malaka: Biografi Singkat 1897-1949 (Yogyakarta: Penerbit Garasi, 2017).