Prapatan 10

From Ensiklopedia

Prapatan 10 merupakan lokasi asrama  mahasiswa Ika-Daigaku atau sekolah tinggi kedokteran di Jakarta. Mahasiswa di asrama ini mendapat  penggemblengan khusus terutama mahasiswa yang baru saja memasuki perkuliahan.  Penggemblengan mahasiswa ini memiliki beberapa tujuan, yaitu  memunculkan rasa cinta tanah air, memupuk rasa tanggung jawab sebagai mahasiswa, menanamkan pentingnya pemahaman mereka terhadap keadaan lingkungan, menggembleng rasa solidaritas sebagai mahasiswa dan anggota korps.  

Pada masa pendudukan Jepang, di asrama ini diterapkan  aturan militer,  namun  memunculkan protes dari mahasiswa yang berujung pada pemogokan perkuliahan. Bagi para mahasiswa, apa yang dilakukan oleh tentara Jepang merupakan sebuah penghinaan. Mereka  menolak untuk melanjutkan perkuliahan. Kondisi ini mendorong   Sukarno dan Mohammad Hatta menyelesaikan permasalahan yang muncul. Sukarno dan Mohammad Hatta mengunjungi asrama di jalan Prapatan 10 tersebut dan berdiskusi dengan mahasiswa tentang permasalahan yang ada. Setelah Sukarno dan Hatta menjelaskan sikap perjuangan mereka terhadap penguasa pendudukan yang  kooperatif sebagai salah satu strategi perjuangan melawan Jepang,  mahasiswa akhirnya  memahami apa yang dijelaksan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta.  Mahasiswa  menghentikan aksi mogok dan kembali ke kampus untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah tinggi kedokteran.

Pada saat Perdana Menteri Koiso memberikan sebuah janji kemerdekaan bagi Indonesia, Sendenbu menyelenggarakan sebuah rapat pemuda besar-besaran di Lapangan Deca Park. Salah satu perwakilan mahasiswa Ika Daigaku yang juga merupakan penghuni asrama Prapatan 10, Nasrun Iskandar, dengan lantang menyampaikan keinginannya mengenai Indonesia harus merdeka saat itu juga dan bukan atas hadiah dari Jepang kemudian hari. Pidatonya mendapat sambutan dari pemuda yang hadir sekaligus menggagalkan upaya Sendenbu membuat sebuah film propaganda. Para pemuda mulai meniggalkan lapangan tersebut usai Nasrun selesai menyampaikan pidatonya.

Menyikapi kondisi tersebut,  Sendenbu kemudian memprakarsai sebuah kongres yang dihadiri oleh para pemuda. Kongres tersebut dipimpin oleh Chaerul Saleh dan  dihadiri juga oleh beberapa mahasiswa Ika-Daigaku seperti Zus Ratulangi, Kurnia, dan Satmoko. Melalui kongres ini, Angkatan Muda menganjurkan agar para pemuda di Jawa bersatu guna mempersiapkan diri untuk pelaksanaan proklamasi kemerdekaan.

Setelah berlangsungnya kongres yaitu pada tanggal 7 Juni 1945, mahasiswa Ika Daigaku, Yukugaku, dan Kenkoku Gakuin kembali mengadakan sebuah rapat yang memiliki mosi Indonesia merdeka sekarang juga dan agar para mahasiswa Ika Daigaku mendapatkan Latihan militer. Hasil dari rapat ini kemudian disampaikan kepada Sukarno. Permohonan untuk pelatihan militer tersebut dikabulkan oleh Sukarno dan mahasiswa Ika Daigaku mendapatkan pelatihan militer penuh dari Daidan I Jakarta yang dipimpin oleh Mr. Kasman Singodimedjo.

Pada 1 Agustus 1945, Soejono selaku ketua asrama Prapatan 10 mengumpulkan seluruh penghuni asrama guna menjelaskan situasi yang ada pada saat itu. Beberapa mahasiswa berpendapat bahwa Indonesia sudah harus bersiap untuk memproklamasikan kemerdekaannya sendiri dan bukan sebagai hadiah dari Jepang. Setelah tersiar kabar menyerahnya Jepang, para mahasiswa mendesak agar proklamasi kemerdekaan segera dilaksanakan tanpa campur tangan Jepang. Sebelum sekutu mengambil tindakan, para mahasiswa penghuni asrama Prapatan 10 mengadakan rapat yang menghasilkan lima buah poin  yang diantaranya yaitu pemilihan Sukarno dan Hatta sebagai pimpinan Indonesia, Proklamasi dilakukan atas nama Sukarno, dan proklamasi dilakukan secepat mungkin sebelum Sekutu kembali ke Indonesia. Asrama Prapatan 10 menjadi pusat komando dari berabagai gerakan pemuda di Jakarta. Tidak jarang terjadi selisih pendapat antara organisasi pemuda yang ada hingga puncaknya perwakilan asrama prapatan 10 menolak terlibat dalam rencana pemberontakan yang dipersiapkan oleh Komite van Aksi.

Asrama Prapatan 10, akhirnya diduduki oleh NICA pada bulan November 1945 dan tidak ada perlawanan berarti dari mahasiswa yang masih tersisa di dalam asrama tersebut.

Penulis: Abdurakhman
Instansi: Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum


Referensi

A.M Hanafi, Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan, Jakarta: Sinar Harapan

https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-7/20466697-S-Muhammad%20Aldio.pdf

https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20157042-S-Nana%20Nurliana.pdf